Suara.com - Deputi Bappilu Partai Demokrat Kamhar Lakumani meminta Presiden Jokowi tegas terhadap para pembisik di sekitarnya yang mewacanakan penundaan Pemilu 2024.
Jokowi diminta untuk bersikap menolak atas wacana penundaan Pemilu, terlebih penambahan masa jabatan sampai tiga periode.
Menurut Kamhar, bahwa agenda untuk menunda Pemilu 2024 merupakan inkonstitusional, lantaran kontra terhadap demokrasi dan mencederai semangat reformasi.
"Karenanya Pak Jokowi mesti bersikap dan bertindak tegas terhadap orang-orang terdekatnya," kata Kamhar kepada wartawan, Minggu (3/4/2022).
Baca Juga: Tegas Soal Isu Presiden 3 Periode, Anwar Abbas: Praktik Korupsi dan Nepotisme Sudah Menggurita
Kamhar meminta Jokowi tidak membiarkan para orang di lingkaran Istana untuk terus menerus mewacanakan penundan Pemilu.
"Jangan terus menerus membiarkan berjalannya agenda makar atau terorisme konstitusi ini. Apalagi menggunakan tafsir yang keliru terhadap demokrasi sebagai argumentasi pembenaran. Jangan membawa Indonesia pada jurang kehancuran demokrasi," ujar Kamhar.
Sebaliknya, Jokowi dinilai perlu melakukan edukasi kepada publik tentang orde lama dan orde baru. Di mana kata Kamhar tidak adanya pembatasan masa jabatan presiden justru berakaibat buruk terhadap pembentukan pemerintah yang diktator.
"Dulu terjadi atas nama konstitusi karena pada UUD ‘45 sebelum di amandemen tak ada pembatasan masa jabatan presiden. Sehingga penguasa pada saat itu terus melanggengkan kekuasaannya yang berujung pada pemerintahan yang totaliter dan diktator. Kita tak ingin konstitusi kita kembali pada masa kegelapan demokrasi seperti itu," tutur Kamhar.
Cuma 5 Persen Dukung Jokowi 3 Periode
Baca Juga: Amien Rais: Jokowi - Luhut Baiknya Tanya ke Psikolog, Apa Menderita Narsistik dan Megalomania?
Lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) kembali merilis hasil survei terbarunya mengenai isu masa jabatan presiden tiga periode. Hasilnya, hanya lima persen publik Indonesia yang mendukung gagasan tersebut.
Direktur Riset SMRC Deni Irvani, dalam paparannya, menjelaskan, mayoritas warga atau 73 persen dari jumlah responden meminta agar ketentuan masa jabatan presiden dua periode harus dipertahankan.
Menurutnya, dalam survei disebutkan hanya ada 15 persen publik yang menginginkan agar aturan masa jabatan presiden dua periode diubah.
"Yang ingin diubah sangat sediikit hanya 15 persen, sementara ada 11 persen yang tidak punya sikap," kata Deni dalam paparannya secara daring, Jumat (1/4/2022).
Ia menjelaskan, dari 15 persen yang menilai masa jabatan presiden harus diubah, 61 persen atau sekitar 9 persen dari total populasi ingin masa jabatan presiden hanya satu kali.
"Mayoritas 61 persen yang ingin diubah itu inginnya presiden satu periode aja, ada yang ingin lima tahun ada yang ingin delapan tahun," tuturnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, publik yang ingin ketentuan masa jabatan presiden diubah menjadi tiga periode atau lebih hanya ada lima persen saja.
"Kalau dari total populasi yang ingin tiga periode atau lebih itu hanya sekitar lima persen saja," katanya.
"Karena itu gagasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden dari dua periode seperti sekarang menjadi tiga periode itu bukan lah gagasan yang umum di masyarakat. Hanya lima persen. Mayoritas publik inginnya presiden itu ya tetap dua periode seperti sekarang masing-masing lima tahun," sambungnya.
Survei tersebut dilakukan pada 13-20 Maret 2022 dengan jumlah 1.220 responden dipilih secara acak.
Metode survei yang dilakukan menggunakan stratified multistage random sampling terhadap keseluruhan populasi atau warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah memiliki hak pilih, yakni mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah.
Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,12% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling).