Suara.com - Pada 5 Juni 2001, dataran tinggi Gayo membara. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyerbu kampung Pondok Kresek - kini bernama Sedie Jadi - mengusir warga dan membakar rumah mereka. Lima orang tewas, termasuk anak berusia dua tahun. Apakah rekonsiliasi kali ini dapat menjembatani kedua pihak?
Terik matahari membakar punggung warga Desa Sedie Jadi yang berjalan mendaki dengan berkelompok.
Rombongan hendak menuju sebuah tenda yang telah didirikan di atas bukit. Dari dalam tenda, suara seruling mengalun mistis dan menyayat hati, mengiringi kepak kain para penari.
Selasa, 29 Maret 2022, sesuatu yang berharga hendak terjadi di sini. Ini adalah momen pertama rekonsiliasi antara warga Sedie Jadi, desa yang dulu bernama Pondok Kresek, dengan perwakilan eks kelompok GAM.
Baca Juga: Kilas Balik Kisah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Selama 44 Tahun
Saat itu, Pondok Kresek masih berada di dalam wilayah administrasi Takengon sebelum pemekaran, yang melahirkan kabupaten baru bernama Bener Meriah.
Baca juga:
- 'Ada yang ditembak dan dipukul gara-gara pohon durian' - Kesaksian korban di Aceh yang gugat ExxonMobil di Amerika
- 'Saya masih simpan parang untuk potong leher' — Kesaksian 'Algojo 1965' di Aceh
- 'Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon' - Jejak kekerasan 1965 di Tanah Gayo dan ikhtiar penyembuhan
Dua pihak ini dulu pernah berseteru dalam konflik antaretnis yang mematikan dan mencapai puncaknya pada 5 Juni 2001. Bertahun-tahun setelahnya, rasa waswas dan saling curiga antara penduduk asli dengan pendatang dari Jawa, masih terus melingkupi.
Rekonsiliasi yang digelar hari itu menjadi pertaruhan, bila benih-benih perdamaian yang hari ini ditanam akan terus dapat dijaga di Tanah Gayo.
Serangan 5 Juni 2001
"Keluar! Rumah ini mau kami bakar!" bentak satu dari sekelompok pria bersenjata yang baru mendobrak masuk ke rumah Yusmar pada malam 5 Juni 2001 itu.
Baca Juga: Milad ke-43 Gerakan Aceh Merdeka, Massa Kibarkan Bendera Bulan Bintang
Mereka memberondong rumah itu dengan peluru sebelum masuk lewat jendela dan menyuruh semua orang keluar.
Yusmar kehilangan putri dan ayah mertuanya dalam penyerangan pada malam itu, sementara ibu mertuanya menjadi cacat seumur hidup setelah kaki kanannya tertembak oleh para penyerang.
Saat para penyerang mendobrak rumahnya, sang ibu mertua sedang menggendong Erma Juni Prastika, anak Yusmar. Saat itu, kata Yusmar, tak ada yang menyadari bahwa Erma telah tertembak.
"Kupikir kena serpihan kaca," tutur Yusmar kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, pada Sabtu (19/03).
Menghindari hujan peluru, perempuan itu mengaku sempat lari menyeberangi ruang tamu menuju kamar di mana ibu mertuanya berada.
"Di kamar Mamak, mau tiarap," kata Yusmar, yang masih ingat benar melihat Erma menangis. "[Erma] duduk, tapi sudah di posisi digendong. Di situ kenanya."
Setelah diusir keluar oleh para penyerang, Yusmar menuntun keluarganya menuju areal perkebunan kopi yang berada di dataran lebih tinggi. Namun, dengan kaki yang diseret-seret, ibu mertua Yusmar memohon untuk berhenti.
"Kamu lari terus, aku di sini saja," kata Yusmar menirukan sang ibu mertua.
Yusmar menuruti ibu mertuanya. Sambil berlari menjauh, perempuan Gayo itu menoleh ke belakang, ke arah kampungnya. Pondok Kresek berlokasi di kaki gunung sehingga rumah-rumah penduduk berdiri di atas bidang tanah yang miring.
Di bawah sana, cahaya bulan purnama kalah terang dengan nyala api yang membakar rumah-rumah penduduk. Angin berembus tak menentu dari arah pegunungan.
Yusmar adalah perempuan asli Gayo. Keluarga suaminya, Karyanto, berasal dari etnis Jawa. Mereka datang ke Aceh melalui program transmigrasi di tahun 1980-an, meski Karyanto sendiri lahir di Aceh.
Saat rumahnya didobrak penyerang itu, Karyanto sedang melakukan ronda bersama penduduk Pondok Kresek lainnya. Keluarganya baru pindah kembali ke kampung ini dari Desa Lewa Jadi dua hari sebelumnya.
Ia mengaku mencari rasa aman di Pondok Kresek, karena di rumah sebelumnya, gelombang penolakan terhadap etnis Jawa mulai ditunjukkan terang-terangan sejak tahun 2000 - tidak lama setelah wacana referendum di Aceh kandas setahun sebelumnya.
"Hei, Jawa! Kenapa enggak cepat pulang, tunggu mati dulu, ya!" ia mengulang ucapan orang kepadanya di Desa Lewa Jadi, dalam wawancara pada Sabtu (19/03).
Malam itu, Karyanto berkata ia maupun penduduk Pondok Kresek mengaku tidak tahu bahwa desa mereka akan menjadi target serangan GAM, kendati kabar mengenai penyerangan ke desa-desa yang dihuni oleh etnis Jawa semakin sering terdengar.
Di desa-desa lain pada 2001 itu, ujar Karyanto, warga etnis Jawa telah mengungsi ke tempat-tempat lain karena takut Rekonsiliasi pascakonflik di Bener Meriah - 'Cukup sudah, jangan sampai terulang lagi' penyerangan.
Karyanto sedang mengambil jaket di rumahnya ketika mendengar suara tembakan. Lelaki itu melompat keluar melalui pintu belakang rumahnya lalu bersembunyi di pemakaman, sambil memperhatikan apa yang terjadi di bawah sana.
Pikiran Karyanto yang kacau balau melihat rumah-rumah penduduk terbakar sejenak terganggu oleh suara tangisan anak kecil disertai bunyi langkah kaki yang mendekat. Yusmar, istrinya, berlari menggendong putri mereka.
"Pak, Erma tertembak..." Karyanto mengulang kalimat yang pertama kali diucapkan oleh Yusmar ketika mereka bertemu.
"Di kepala ini, pecah... Kusenter sama korek, otak itu sudah bercampur sama darah," Karyanto menunjuk dahi sebelah kanannya dengan jari telunjuk, mendeskripsikan apa yang dialami oleh putrinya.
Erma dinyatakan meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit, di atas ambulans yang turut mengangkut neneknya, beberapa jam setelah penyerangan. Bocah dua tahun itu mengembuskan napas terakhir saat suara azan subuh berkumandang.
Melawan dengan senjata rakitan
Serangan yang dipastikan dilakukan oleh kelompok yang berasal dari organisasi GAM ke Pondok Kresek itu tak berlangsung lama.
Namun penyerangan tersebut kelak menjadi tanda bahwa konflik di Aceh bukan cuma tentang gerakan separatis GAM dengan angkatan bersenjata Indonesia yang dikirim ke sana.
Di dataran tinggi Gayo, spektrum kekerasan jauh lebih luas. Perang melibatkan organisasi sipil bersenjata yang menyatakan diri sebagai pertahanan rakyat atau anti-GAM.
Baca juga:
- Kaum muda Aceh menafsir sejarah
- PPelajaran damai dari Aceh dan 'pentingnya' dialog dengan kelompok pro referendum
Gerakan perlawanan ini lahir setelah muncul berbagai tindak kekerasan berbasis prasangka rasial yang menyasar etnis Jawa. Kejadian pada malam 5 Juni itu adalah puncak dari konflik antaretnis yang telah berkepanjangan.
Saat isu kekerasan berbasis prasangka rasial mulai merebak di dataran tinggi Gayo pada 2001, penduduk Pondok Kresek telah bersiap-siap mempertahankan diri.
Warga bergiliran jaga setiap malam dan mendirikan gardu penjagaan di titik-titik yang dianggap strategis. Mereka tidak berpatroli dengan tangan kosong, namun sambil menenteng senapan api rakitan.
Sahidi, 68 tahun, adalah warga Pondok Kresek yang bertugas merakit semua senjata itu. Ia berkata, warga merasa perlu melengkapi diri dengan senjata, terutama setelah ada isu kelompok GAM merazia dan membunuh penduduk beretnis Jawa.
"Lima orang di-sweeping itu, [semua] orang Jawa. Dari lima orang itu, yang hidup cuma satu, empat orang meninggal," tutur Sahidi, saat diwawancarai pada Minggu (20/03).
Merasa situasi semakin mengancam, Sahidi mengusulkan kepada para tetua kampung untuk mempersiapkan senjata, agar warga desa "tidak mati konyol".
"Kita bukan untuk bunuh orang, [tapi] untuk menjaga diri. Saya bilang, kita buat saja [senjata] rakitan," saran Sahidi di dalam pertemuan tersebut.
Setelah disetujui oleh sebagian besar penduduk, Sahidi pun mulai merakit senjata yang nantinya akan dibagikan kepada setiap laki-laki dewasa di desa itu.
Butuh tujuh bulan bagi Sahidi untuk merakit semua senjata itu, kata dia. Komponen utamanya adalah shockbreaker depan sepeda motor sementara untuk larasnya disuplai dari Medan, Sumatera Utara.
Pelurunya, tukas Sahidi, awalnya dibeli dari prajurit berstatus Bawah Kendali Operasi (BKO) yang saat itu bertugas di sana dengan harga dan jumlah yang bervariasi.
"Satu butir pada masa itu, ada yang Rp5000, ada Rp10.000," ungkap Sahidi, yang mengaku jumlah peluru yang boleh dibawa pulang hanya 5 sampai 10 butir saja untuk setiap kali transaksi.
Kesempatan untuk mendapat pasokan peluru yang jauh lebih banyak didapat dari oknum militer yang, menurut Sahidi, berada di bawah Divisi Siliwangi.
Selain yang menggunakan peluru pabrikan, Sahidi juga membuat senjata lain yang menurutnya lebih mematikan, yakni 'kecepek'.
Kecepek menggunakan pipa besi tebal sebagai laras utama, dengan peluru yang terdiri dari potongan besi tajam seperti paku berukuran 5 inci atau pecahan kaca, yang dilontarkan dengan memanfaatkan korek api kayu serta sabut kelapa.
Kendati jarak jangkau kecepek tidak jauh, sebut Sahidi, namun peluru yang diterbangkannya mampu menyebar ke segala arah.
"Kalau ada sepuluh orang di situ, semua sekali kena," katanya.
Penduduk Pondok Kresek, saat itu juga menggali parit untuk dijadikan bungker sedalam dua meter untuk bersembunyi, yang diutamakan untuk perempuan dan anak-anak.
Di malam penyerangan itu, Sahidi mengungkap, ia berhadapan dengan musuh yang bersembunyi hanya beberapa meter di depan mereka. Bersamanya, adalah seorang warga desa lain bernama Pirin.
Demi melihat api membubung tinggi dari rumahnya, kata Sahidi, Pirin mulai mengkhawatirkan nasib istri serta cucunya, dan berniat kembali ke rumah.
"Kakek jangan bergerak, saya bilang, jangan bergerak," tutur Sahidi, namun Pirin tetap bersikeras pulang.
Saat Pirin beranjak keluar dari tempat persembunyiannya, sebuah tembakan menyambut. Pirin roboh ke tanah.
"Begitu dia jatuh, lari orang itu. Didatangi lagi, diembat lagi sama parang, sininya," Sahidi menyilangkan telapak tangannya ke wajah, memperagakan gerakan parang menebas.
Sahidi mengaku tidak bisa berbuat apa-apa sebab pelurunya telah habis. Ketika dirinya melangkah mundur, Sahidi tidak sadar bahwa seseorang telah melepaskan tembakan ke arahnya.
Seketika dadanya terasa seperti dihantam batu. Namun ia mengaku berhasil kabur dari sergapan dengan cara melompati tebing setinggi belasan meter.
Hingga kini, Sahidi masih menyimpan jaket musim dingin yang dikatakannya telah menyelamatkan nyawanya dari terjangan peluru bertahun lalu.
Di bagian dada sebelah kiri jaket berwarna biru dongker berkerah bulu itu, tampak dua buah lubang sebesar jari - bekas terjangan peluru avtomat Kalashnikov (aK) 47 yang mengenainya malam itu, kata Sahidi.
Peluru yang terhalang jaket itu, sebut Sahidi, menyisakan bekas lebam di dadanya.
"Mungkin dua bulan baru hilang itu hitam di sini. Hitam memar gitu," jelas Sahidi. Ia yang kala itu menyelipkan ujung kausnya ke dalam celana, menemukan selongsong peluru tersangkut di sela-sela baju.
Sekalipun tidak terluka, Sahidi yakin bahwa batuk yang terkadang kumat serta menyesak dadanya pada hari ini merupakan dampak dari hantaman peluru.
Beberapa jam kemudian, setelah memastikan kondisi telah aman, penduduk desa mulai turun untuk memeriksa situasi.
Jasad Pirin, yang merupakan ayah Karyanto, ditemukan penduduk dalam kondisi gosong, di antara puing-puing rumah yang terbakar.
Pagi harinya, lima korban tewas dimakamkan dalam satu barisan di pemakaman umum Pondok Kresek.
Selain Irma dan kakeknya, Pirin, korban tewas lain pada malam itu adalah Edi Suyono, Zen Kaharudin, dan Marnak. Tiga di antaranya meninggal karena luka tembak dan terbakar, sedangkan satu orang terkena serangan jantung.
Kuburan mereka sederhana, yang membedakan dari kuburan lain di kompleks pemakaman itu hanyalah beton pembatas segiempat berukuran sekitar 4x2 meter.
Kelima korban juga diabadikan dalam tugu memorial berbentuk relief yang bisa ditemui di pertigaan desa tersebut. Letaknya menghadap ke sebelah kiri desa, menantang ke jalur yang dulu dijadikan sebagai jalan masuk oleh kelompok penyerang.
Tugu Perlawanan Rakyat, begitu namanya, didirikan bukan cuma untuk mengenang peristiwa yang telah merenggut nyawa kelima warga, tapi awalnya juga jadi pembakar semangat perlawanan yang kelak membesar dan terorganisir.
Di belakangnya bagian belakang, tertulis bahwa tugu tersebut dibangun "guna mengenang pahlawan yang gugur dalam membela desa, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta."
Usaha perdamaian tanpa hasil
Selain mengambil nyawa dari pihak penduduk, penyerangan tersebut diyakini juga jadi bumerang bagi GAM.
"Saya sendiri pun, dua [anggota GAM] sudah saya kena [tembak]," demikian pengakuan Yudi Amri, 46 tahun, yang ikut bertempur dalam barisan penduduk Pondok Kresek, Selasa (19/03).
Penemuan sepatu dan celana jin penuh darah, hingga pecahan batok kepala yang terecer di halaman rumah penduduk jadi buktinya - meski tidak ada jasad anggota GAM ditemukan.
Alasannya, menurut Yudi, kemungkinan besar karena mereka yang selamat segera menarik tubuh teman mereka yang tewas untuk menghilangkan jejak.
Yudi mengingat, tiga orang polisi dari sektor setempat baru tiba setelah penduduk melakukan perlawanan selama sekitar 1,5 jam. Tak lama, menurut Yudi, sejumlah tentara dari Divisi Siliwangi datang dan melakukan ekspedisi yang tidak membuahkan hasil.
Pasukan GAM, kata Yudi, sempat mengacak-acak sebuah fasilitas kesehatan yang mereka lewati, yang menguatkan bukti bahwa mereka berusaha mencari obat yang bisa digunakan untuk anggota mereka yang sekarat setelah mendapat perlawanan dari Pondok Kresek.
Kelak, gerakan perlawanan terhadap GAM dari kalangan sipil di dataran tinggi Gayo yang lebih terorganisir dan lebih mematikan mulai terbentuk sejak 2003.
Beberapa contoh organisasi itu yakni Pembela Tanah Air (PETA), Persatuan Perlawanan Rakyat Merah Putih, dan Front Perlawanan Separatis GAM.
Status organisasi-organisasi anti-GAM itu tidak jauh berbeda dari Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa atau sipil yang legal bersenjata tajam asal bertujuan untuk kepentingan negara yang dibentuk pada masa orde baru.
Namun, kekerasan yang pecah di sana terkadang jauh melampaui isu nasionalisme, dan sewaktu-waktu bisa lebih dekat dengan kekerasan etnis yang menyasar orang tidak bersalah.
Serangan oleh kelompok milisi bahkan menyasar lembaga independen yang tengah mengawasi upaya damai pada masa itu yang diduga ikut memicu gagalnya CoHA (Cessation of Hostilities Agreement) yang difasilitasi organisasi HDC (Henry Dunant Centre).
Setelah kesepakatan damai ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan GAM pada 2005, Musara Pakat Redelong diadakan pada 28 Juli 2006 berusaha menguatkannya. Meski, kasus kekerasan yang meletus pada 2008, mengakibatkan lima orang dari pihak Komite Peralihan Aceh (KPA) tewas mengenaskan, hampir merusak segalanya.
Di lain sisi, dua puluh tahun sejak penyerangan itu, memori atas peristiwa yang terjadi di Pondok Kresek masih tertanam, menjadi residu dendam dari masa lalu yang belum lunas.
Menurut Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, kasus kekerasan horizontal semestinya tidak terjadi andai saja negara melakukan upaya-upaya preventif, alih-alih terkesan lepas tangan.
"Seharusnya negara bergerak lebih cepat sehingga tidak terjadi insiden perlawanan dari masyarakat. Fungsi-fungsi intelijen pada masa konflik sepertinya tidak berjalan dengan maksimal," kata Hendra, Rabu (30/03).
"Lemahnya negara menyebabkan kelompok-kelompok perlawanan itu semakin kuat untuk mempertahankan eksistensi dirinya," jelasnya.
Upaya meretas kebekuan di antara para pihak yang pernah berseteru itu telah dilakukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh melalui serangkaian pertemuan berkala yang cukup melelahkan sejak dua tahun yang lalu.
"Di awal-awal, bahkan aparatur desa Pondok Kresek atau kini Sedie Jadi pun tidak berkenan jika diadakan pertemuan di desa. Kami menangkap itu sebagai bentuk resistensi karena rasa percaya yang belum terbangun," kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna.
Tantangan yang dihadapi selama proses mempertemukan para pihak itu dianggap lazim ditemukan di daerah-daerah pascakonflik.
Hingga suatu ketika, jalan untuk mempertemukan para pihak yang pernah bertikai dalam atmosfer yang lebih bersahabat pun didapat, yang rencananya akan ditandai dengan rekonsiliasi diwarnai upacara adat di Pondok Kresek pada Selasa, 24 Maret 2022.
Tanggal tersebut sengaja dipilih karena bertepatan dengan Hari Hak untuk Kebenaran, namun sayang, tugas mengadakan rekonsiliasi yang seharusnya diemban oleh negara mesti diperkecil menjadi rekonsiliasi berbasis komunitas dengan KontraS Aceh sebagai fasilitator.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tiba-tiba menarik diri dari proses ini, sehingga ikrar perdamaian batal diadakan pada tanggal yang telah direncanakan.
Ketua KKR Masthur Yahya berdalih bahwa keputusan lembaganya menarik diri dari rekonsiliasi terpaksa diambil karena intervensi politis yang disebutnya sebagai "masukan" dari Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.
"Karena melibatkan pemerintah pusat, maka DPRA memandang dan meminta agar komunikasi-komunikasi teknis antarlembaga yang terkait dengan institusi seperti KPA, kemudian pangdam, agar lebih diintensifkan, dimatangkan terlebih dahulu," kata Masthur yang mengaku bahwa 'masukan' tersebut sangat mengejutkan pihaknya, dalam rapat di ruang media center Kabupaten Bener Meriah, Senin (21/03).
BBC telah berulang kali mencoba menghubungi Ketua Komisi I DPRA, Tgk. Muhammad Yunus, namun hingga laporan ini ditulis, sambungan telepon dan pesan singkat kami tidak direspons.
Mundurnya KKR ini dianggap mengecewakan banyak pihak, kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra.
"Ada tiga pihak yang paling kecewa. Pertama para pihak yang pernah terlibat konflik masa lalu. Kedua KontraS, karena sudah bertahun-tahun mengupayakan rekonsiliasi terwujud di Bener Meriah. Ketiga, di level pemerintah kabupaten sendiri karena undangan yang awalnya sampai tingkat nasional mesti diubah setelah seremoni rekonsiliasi dilakukan tanpa pendekatan negara, yang diwakili KKR," ujar Hendra.
Namun, kendati gagal digelar pada 24 Maret 2022, acara rekonsiliasi tetap dilaksanakan. Selasa, 29 Maret 2022, adalah tanggal yang dipilih. Warga Sedie Jadi berduyun-duyun datang ke tempat yang telah dipersiapkan.
Sosok yang menjadi pusat perhatian sore itu adalah seorang lelaki berbadan agak gempal, mengenakan setelan necis serba putih yang diapit oleh beberapa orang lelaki.
Dia adalah Fauzan Azima, eks Panglima GAM Wilayah Linge.
Di pintu masuk menuju lapangan futsal di mana sejumlah tenda menyambut, Fauzan ditahan seorang lelaki mengenakan kemeja garis-garis berlengan pendek serta berpeci. Pria itu, adalah Karyanto.
Mereka saling merangkul dalam suasana yang terasa kikuk, kemudian saling tertawa dalam waktu yang hampir bersamaan, lalu terdiam kembali di antara kerumunan.
Rekonsiliasi pada hari itu mempertemukan perwakilan keluarga masing-masing korban, sementara di pihak eks GAM, terdapat Fauzan dan beberapa mantan kombatan.
Saat peristiwa 5 Juni 2001 terjadi, Fauzan mengungkap bahwa dirinya masih menjabat sebagai Wakil Panglima GAM wilayah Linge serta juru bicara. Sementara panglima GAM saat itu adalah Ilham Ilyas Leube, telah meninggal dunia pada Februari 2014.
Kendati mengaku tidak tahu persis perihal peristiwa penyerangan ke Pondok Kresek, namun dalam acara rekonsiliasi Fauzan menyatakan dirinya siap disalahkan.
"Tanggung jawab itu, harus saya emban," kata Fauzan.
Rekonsiliasi dengan upacara adat itu dibarengi tangis haru, dan berlangsung di tengah hujan deras yang tiba-tiba datang, membuat tenda terasa semakin sempit karena orang-orang mencoba menghindari rembesan air.
Fauzan bersama Sutrisno, kepala desa pada malam penyerangan itu mengucapkan ikrar berisi kesepakatan menjaga perdamaian, saling memaafkan dan sama-sama menghilangkan dendam.
"Agih sibelem genap si nge munge," keduanya mengucap ikrar. "Sudah cukup, ke depan jangan sampai terulang lagi..."
Kemudian, keduanya dibenamkan dalam balutan kain "Upuh Ulen-Ulen", tenun khas dataran tinggi Gayo. Memiliki lingkaran mancawarna, bintang sebelas segi yang disulam pada kain tersebut seakan memancarkan kekuatan gaib, terutama ketika ritual "tepung tawar" sedang berlangsung yang membuat keduanya saling berpelukan.
"Ini jadi kesempatan bagi kita merajut kembali kohesi sosial, terutama bagi kita yang tali persaudaraanya pernah terputus yang barangkali karena keragu-raguan kita masing-masing beberapa waktu lalu. Hari ini, mari kita hilangkan," ujar Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, menyambut perdamaian antarpihak.
Dua bulan sebelum 29 Maret 2022, Karyanto bersama dua orang penduduk Pondok Kresek, difasilitasi oleh KontraS Aceh, bertemu dengan tiga orang mantan kombatan GAM.
Karyanto agaknya tidak terlalu fokus dalam mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang yang sedang berkumpul di meja saat itu.
Gulungan film di dalam kepalanya seakan memutar gambar-gambar dari masa lalu. Bukan memori mengenai Erma, Pirin, atau Amah, sang ibu yang kini menikmati masa tua di atas kursi roda, akan tetapi pada teman masa kecilnya.
"Saya enggak lupa dengan wajah dia," ujar Karyanto, menceritakan pertemuannya dengan Fauzan Azima untuk pertama kali, setelah puluhan tahun tidak berjumpa.
-
Wartawan di Aceh, Rino Abonita, berkontribusi untuk laporan ini.