Suara.com - Partai Solidaritas Indonesia mengusulkan empat aspek dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sekarang sedang dibahas DPR.
Dengan empat usulan itu diharapkan RUU TPKS menjadi UU yang dapat menghadirkan rasa aman dan keadilan serta kepastian hukum dalam pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan, penanganan, serta pemulihan korban.
Pertama, jenis tindak pidana kekerasan seksual.
PSI mengusulkan agar RUU TPKS mengatur tindak pidana: (i) perkosaan; (ii) eksploitasi seksual; (iii) pemaksaan perkawinan, termasuk pemaksaan perkawinan terhadap korban dengan alasan menutup aib yang makin memperburuk kondisi psikis korban; (iv) pemaksaan aborsi; dan (v) kekerasan seksual berbasis gender secara online, seperti revenge porn.
Baca Juga: Kejar Target Pleno Awal April, DPR-Pemerintah Kebut Bahas RUU TPKS di Akhir Pekan
"Kami mendorong agar pidana perkosaan tetap masuk, meskipun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga menyertakan hal ini. Agar jangan sampai hak-hak korban jadi terhambat tarik menarik politik dalam RKUHP yang akan terjadi," kata Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie dalam pernyataan tertulis, Sabtu (2/4/2022).
Kedua, pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan diusulkan agar menjadi tanggung jawab pemerintah dan dapat diakses melalui BPJS Kesehatan.
Grace mengatakan harus ditetapkan standar minimum layanan pemulihan korban dan sejauhmana korban berhak mendapatkan layanan pemulihan jika pelaku telah dihukum namun korban masih mengalami trauma yang mendalam, dan layanan pemulihan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.
Kemudian penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten). Korban revenge porn mengalami penderitaan mental yang berkepanjangan dan berat akibat pencemaran nama baik dan stigma negatif, kata Grace.
Restitusi sebagai pidana wajib dan negara memberikan ganti kerugian yang adil, layak, dan komprehensif dalam hal pelaku dan pihak ketiga tidak mampu membayar restitusi. Restitusi seharusnya wajib dibayarkan dan bukan hanya sebagai pidana tambahan, kata Grace.
Ketiga, sanksi pidana. PSI mengusulkan pidana denda atas pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 ayat (1) RUU TPKS agar diperberat menjadi maksimal Rp750 juta.
PSI juga menyarankan pidana tambahan dalam Pasal 11 ayat (1) RUU TPKS. Yaitu, ditambahkan dengan kastrasi/kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Keempat, akses hukum. Agar adil dan memastikan perlindungan terhadap korban serta membuka akses terhadap hukum seluas-luasnya, maka pengecualian terhadap kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tentang penanganan korban yang berperspektif korban dan hak asasi manusia, kata Grace.
"Dengan demikian dimungkinkan bagi advokat maupun paralegal yang berpengalaman menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk memberikan pendampingan terhadap korban," kata Grace.
Panitia Kerja RUU TPKS menyatakan target pleno pengambilan keputusan untuk pengesahan RUU TPKS 5 April 2022.
Saat ini, tapat pembahasan terus dilakukan.
"Insyaallah sesuai dengan target jadwal yang sudah kita tetapkan, bisa selesai," kata Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya di DPR, Jumat (1/4/2022).
Panja sudah menyelenggarakan rapat pembahasan RUU TPKS bersama pemerintah. Namun rapat dibatasi hingga sore hari dan dilanjutkan pada hari Sabtu.
"Jadi sebenarnya mau dilanjut selesai malam ini, tapi teman-teman ada yang mau berpuasa, tarawih pertama dan kita harus menghormati itu dan sesuai agenda itu memang sampai sore. Besok akan kita lanjut mulai jam 10, dan saya sebagai ketua panja menargetkan sebelum siang sudah selesai untuk pembahasan DIM," kata Willy.
Willy menyampaikan dalam rapat hari ini, Panja lebih berfokus pada pembahasan terhadap hak-hak korban, keluarga korban dan pemberdayaan terpadu perempuan dan anak serta beberapa hal terkait koordinasi di UPTD di wilayah.
Panja sudah melakukan pembahasan sampai sekitar 491 daftar inventarisasi masalah bersama pemerintah.