Suara.com - Pengamat militer menilai keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang mengizinkan keturunan orang-orang yang dicap sebagai kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia mengikuti rekrutmen prajurit merupakan "terobosan yang penting" untuk mengakhiri diskriminasi. Keluarga penyintas peristiwa 1965 pun menyambut baik keputusan itu.
Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan selama ini TNI masih memberlakukan ketentuan bersih lingkungan sebagai syarat untuk menjadi prajurit. Akibatnya, banyak pihak mempertanyakan soal keadilan.
"Sejak reformasi itu kan salah satu concern kita ini soal penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Kita tahu negara ini memang punya keputusan politik yang melarang ajaran komunisme, tapi kan mestinya itu tidak boleh diterapkan secara membabi buta. Apalagi hukum positif kita tidak mengenal dosa warisan," kata Khairul kepada BBC News Indonesia, Kamis (31/3).
Keluarga penyintas peristiwa 1965, Pipit Ambarmirah, mengaku senang mendengar keputusan Panglima yang sedang ramai dibicarakan itu.
"Kalau saya sendiri, saya ikut senang berarti ada kemajuan sedikit untuk kami, keluarga 65," kata Pipit.
Keputusan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa itu muncul dalam sebuah video di akun Youtube miliknya pada Rabu (30/3).
"Zaman saya, tidak ada lagi, keturunan dari apa, tidak. Karena apa? Saya gunakan dasar hukum," kata Andika menegaskan.
Baca juga:
- 'Dosa turunan' dicap PKI, keluarga penyintas 65 masih mengalami diskriminasi: 'Jangan bedakan kami'
- Cucu 'Pahlawan Revolusi' 1965 dan 'elite PKI': 'Kami tak mau warisi konflik untuk membenci'
- Gatot Nurmantyo sebut TNI 'disusupi PKI': Perdebatan usang yang harus ditertibkan, kata pengamat
Patuh terhadap konstitusi
Dalam rapat penerimaan prajurit TNI (Taruna Akademi TNI, Perwira Prajurit Karier TNI, Bintara Prajurit Karier TNI, dan Tamtama Prajurit Karier TNI) Tahun Anggaran 2022, Andika mendebat salah satu anggotanya terkait pertanyaan yang tertera di layar.
Baca Juga: Keturunan PKI Boleh Daftar Tentara, LBH Medan: Bentuk Mengedepankan HAM
Pertanyaan itu berbunyi, "Bagaimana pendapat Sdr/i terhadap keturunan pelaku pemberontakan komunis yang menjadi anggota TNI/PNS TNI?"
"Oke nomor 4, yang mau dinilai apa? Kalau dia ada keturunan dari apa?" kata Andika.
"Pelaku kejadian tahun 65-66," jawab salah satu anggotanya, yang dari TNI Angkatan Udara.
"Itu berarti gagal? Bentuknya apa? Dasar hukumnya apa?" ujar Andika menimpali.
Personel TNI AU itu kemudian membahas TAP MPRS 25 Tahun 1966. Dia menjelaskan ketetapan itu melarang "komunisme, ajaran komunisme, organisasi komunis, maupun organisasi underbow dari komunis tahun 65".
Pernyataan itu kemudian dibantah oleh Andika.
"Yang lain saya kasih tahu nih, TAP MPRS Nomor 25 tahun 66; satu, menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang, tidak ada kata-kata underbow segala macam; menyatakan Komunisme, Leninisme, Marxisme sebagai ajaran terlarang. Itu isinya," kata Andika.
Dia kemudian mempertanyakan mengapa kemudian pertanyaan yang sedang dibahas itu melarang PKI dan bahkan keturunannya.
"Keturunan ini apa dasar hukum, apa yang dilanggar sama dia? Jadi jangan kita mengada-ngada. Saya orang yang patuh peraturan perundangan. Ingat ini," kata dia menegaskan.
"Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum."
TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 menetapkan ketetapan tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
Mengakhiri diskriminasi
Khairul Fahmi menyebut keputusan Andika menghapus pedoman teknis tersebut dalam rekrutmen anggotanya sebagai langkah yang berani dan layak diapresiasi.
"Ini butuh keberanian sebenarnya karena pasti akan menjadi polemik, akan menjadi pro-kontra. Tapi, saya kira ini penting. Kita harus mengakhiri diskriminasi terhadap para keturunan PKI ini," kata Khairul.
Dia menambahkan, langkah panglima TNI ini sebagai hal yang positif, yang sesuai dengan mandat konstitusi yang menyatakan bahwa semua warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam membela negara.
"Dengan kebijakan baru dari panglima TNI ini artinya semua anak bangsa perlu menjadi tentara."
Khairul menilai kewaspadaan menyangkut ideologi dalam tubuh TNI memang penting, tapi hal itu harus dibedakan dengan kekhawatiran atau paranoia.
Menurut dia, TNI pasti punya banyak cara untuk mencegah penyusupan ideologi dan melakukan indoktrinasi.
"Kita tidak perlu khawatir, tidak perlu meragukan kemampuan TNI. TNI sendiri juga enggak perlu mengkhawatirkan ini, karena kalau mereka khawatir artinya mereka tidak percaya diri bahwa mereka mampu melakukan 'pembersihan' istilahnya, memastikan prajurit mereka setelah keluar dari lembaga pendidikan sudah jelas ideologinya, pedomannya," ujar Khairul.
TNI sudah berubah
Pipit mengaku kaget saat pertama kali mendengar berita soal panglima TNI yang mengizinkan keturunan orang-orang yang diberi label PKI boleh mengikuti seleksi rekrutmen prajurit. Namun, dia tidak mau ambil pusing dan memilih untuk berpikir positif terhadap keputusan itu.
"Ini beneran nih? Enggak cuma karena ada sesuatu atau karena mau, enggak tahu, dekat Pemilu, atau bagaimana, jadi ada yang berubah? Tapi positive thinking saja. Berarti baik lah kalau dia seperti itu," kata Pipit kepada BBC News Indonesia.
Lebih jauh lagi, dia berharap keputusan panglima TNI bisa "mengakhiri diskriminasi terhadap anak-anak korban 65".
Pipit juga mengapresiasi perubahan dalam tubuh TNI ini. Pasalnya selama ini pandangan TNI terhadap keturunan penyintas peristiwa 65 tidak kunjung berubah, berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya.
"Pernah ada cerita seorang TNI yang ingin menikah dengan anak korban (peristiwa 65), itu kemudian juga dilarang. Mereka memang punya aturan yang sangat ketat dan orang lain di luar TNI tidak tahu," ujar Pipit.