Suara.com - Isolasi internasional terhadap Rusia menempatkan negara-negara BRICS dalam posisi terjepit. Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan ingin memetik keuntungan, tetapi khawatir akan dampak sanksi negara Barat.
Kelompok negara BRICS (Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan) semakin didesak untuk memperjelas sikap terhadap invasi Rusia di Ukraina.
Persekutuan dagang negara-negara ekonomi menengah itu merupakan pemasok bahan baku terbesar bagi Rusia dan sebabnya berperan penting dalam menegakkan sanksi internasional.
Salah satunya adalah kredit dagang melalui Bank Pembangunan Baru (NDB), lembaga kredit yang dibentuk kelima negara.
Baca Juga: Harga Emas Naik Imbas Keraguan Gencatan Senjata Rusia-Ukraina
NDB meminjam duit di pasar internasional dengan bunga rendah untuk kemudian dikucurkan dalam bentuk kredit kepada negara-negara BRICS.
"Saat ini posisi BRICS cenderung menahan diri dan tidak ada koordinasi politik yang kuat untuk bereaksi terhadap sanksi oleh Amerika Serikat dan Eropa,” kata Roberto Goulart dari Universitas Brasilia kepada DW.
"Di tengah ketidakpastian yang besar, BRICS cenderung tidak ingin mendeklarasikan keberpihakan politik,” imbuhnya. "Mereka belum punya strategi yang jelas,” timpal Ignacio Bartesaghi, Direktur Institut Perdagangan Internasional di Universitas Katholik, Uruguay.
"Namun, yang jelas kita akan segera memiliki aliansi, koalisi, dan kemitraan geostrategis yang baru.”
Kocok ulang kemitraan dagang Larry Fink, Direktur Blackrock, sebuah perusahaan manajemen keuangan, meyakini perceraian jangka panjang antara Rusia dan perekonomian dunia akan memorak-porandakan jaringan kemitraan dagang yang ada, tulisnya dalam sebuah surat kepada para pemegang saham.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melesat 3 Persen Usai Barat Berencana Beri Sanksi Baru ke Rusia
Menurutnya, negara-negara di dunia akan mengkaji ulang dan mengurangi kebergantungannya terhadap negara lain.
Hal ini bisa memicu penarikan dana investasi dari sejumlah negara dan terbentuknya persekutuan dagang baru dengan negara lain.
Kegaduhan akibat invasi Ukraina sebabnya dilihat sebagai peluang bagi negara sentra produksi lain seperti Meksiko, Brasil, atau Asia Tenggara.
Ketika Arab Saudi menolak desakan AS menambah produksi minyak, Brasil berinisiatif meningkatkan kapasitas produksi sebanyak 10 persen hingga akhir tahun.
Keputusan itu, demikian kata Menteri Energi dan Pertambangan Bento Albuquerque, "merupakan sumbangsih Brasil bagi stabilitas pasar energi global.”
Kepentingan nasional di atas aliansi geopolitik
Sikap bimbang sebaliknya ditunjukkan Afrika Selatan yang butuh menggandakan kapasitas penyimpanan minyak untuk menghadapi fluktuasi harga bahan bakar.
Menurut jejaring investigatif Amabhungane, pemerintah sedang akan memutuskan tender pembelian gas alam cair, dengan dua kandidat terkuat berasal dari Azerbaijan dan Rusia.
India memilih sikap lebih pragmatis dan membeli minyak murah dari Rusia dengan diskon 20 persen.
Menurut lembaga analisa perdagangan Kpler, sebanyak lima kapal tanker Rusia dengan enam juta barel minyak mentah berangkat ke India pada awal Maret dan dijadwalkan tiba pada April mendatang, lapor CNBC.
Sementara Cina berusaha keras menepis isu keberpihakan kepada Rusia dengan menegaskan sikap netralnya dalam konflik di Ukraina.
Upaya Beijing dalam menghindari tekanan dagang dari AS dan Eropa akan dicatat dengan seksama oleh Afsel, India, dan Brasil.
Beberapa hari silam, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, menerima duta besar negara-negara BRICS di kantornya di Moskow, Selasa (22/03).
Pertemuan itu menguatkan BRICS sebagai forum "dialog di antara kelima negara anggota” untuk membahas isu geopolitik dan ekonomi di dunia, tulis Kementerian Luar Negeri seperti dilansir kantor berita TASS.
Dalam pertemuan tersebut, Lavrov mendemonstrasikan betapa negara-negara BRICS semata digerakkan oleh kepentingan nasionalnya sendiri dan bahwa Rusia tidak berdiri sendirian dalam menghadapi "perang ekonomi” yang dilancarkan negara Barat. rzn/ha