Suara.com - Akibat harga nikel meroket imbas invasi Rusia ke Ukraina, produsen nikel terbesar di dunia Tsingshan Holding Group terjerat hutang miliaran dolar. Produsen mobil listrik juga kesulitan mendapatkan bahan baku baterai.
Memanfaatkan pengaruhnya di pasar dalam posisi "short", menunggu harga turun, kemudian kembali mengambil keuntungan ketika harga melonjak kembali, adalah mekanisme spekulasi yang dimainkan oleh "Raja Nikel Cina," Xiang Guangda.
Namun, invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina, membuat banyak hal berubah menjadi rumit dalam sekejap.
Rusia adalah salah satu produsen bijih nikel terbesar di dunia, sebuah komponen kunci dalam memproduksi baterai untuk kendaraan listrik.
Baca Juga: Bangun Industri Nikel di Halmahera, PP Presisi Klaim 34 Persen Pekerja Dari Warga Lokal
Sebagai imbas dari sanksi yang dijatuhkan Barat ke Rusia atas invasi yang mereka lakukan ke Ukraina, harga nikel sontak meroket di atas US$100.000 (Rp1,4 miliar) per ton.
Angka tersebut tentu saja terlalu tinggi untuk Xiang Guangda dan seluruh pemain lainnya.
Naiknya harga secara gila-gilaan ini memaksa bursa metal terpenting London Metals Exchange (LME) menangguhkan perdagangan saham logam selama sepekan dan membuat para produsen yang bergantung pada nikel terpaksa berjuang mengatasi bengkaknya biaya.
Terjebak dalam posisinya, perusahaan Xiang, Tsingshan Holding Group, tiba-tiba terjerat hutang miliaran dolar.
Tsingshan, produsen nikel terbesar di dunia, telah dipaksa untuk membeli kembali sejumlah besar kontrak nikel dengan harga yang lebih tinggi untuk mengurangi risiko keuangan.
Baca Juga: Pemerintah Klaim Bakal Mati-matian Lawan Tuntutan Uni Eropa hingga Menang soal Ekspor Nikel
Dilansir kantor berita AFP, diperkirakan pembelian kembali telah berkontribusi pada kerugian US$8 miliar (Rp112 triliun), menunjukkan perusahaan mungkin membutuhkan dana talangan oleh otoritas Cina.
"Xiang adalah seorang pemain yang cerdik, tetapi dia lengah dengan masalah Rusia, kata Li Bin, seorang pedagang nikel di Shanghai.
Ketika perdagangan nikel kembali dibuka, harga nikel sudah turun ke angka sekitar US$37.200 (Rp520,8 juta) per ton, 50 persen lebih tinggi dibandingkan haraga di bulan Februari.
"Setelah tekanan bersejarah, nikel masih berjuang untuk menemukan harganya,” kata Susan Zou, analis logam senior di Rystad Energy.
Pemerintah Cina turun tangan?
Laporan media lokal, Yicai, menulis bahwa pemerintah Cina dianggap dapat turun tangan menyelamatkan Tsingshan.
Ada banyak diskusi yang memungkinkan perusahaan untuk menukar produk nikel bermutu rendah yang tidak memenuhi standar kualitas LME dengan bentuk yang lebih murni dari logam yang dipegang dalam persediaan negara untuk menyelesaikan klaimnya, demikian lapor Yicai.
Cina pun diperkirakan akan menahan sekitar 100.000 ton nikel cadangan negara. Hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Tsingshan atau pun dari pemerintah di Beijing.
Sebelumnya pada tahun 2018, Xiang juga pernah memengaruhi pasar ketika dia melepaskan volume besar feronikel (nikel berkadar rendah) yang dapat digunakan untuk membuat baja tahan karat.
"Xiang selalu percaya bahwa karena dia adalah salah satu pemain terbesar di dunia dengan biaya yang sangat rendah, dia bisa menjaga harga nikel di bawah jempolnya," kata seorang mantan karyawan Tsingshan yang enggan disebutkan namanya, dikutip dari kantor berita AFP.
"Dia selalu bertaruh pada harga nikel, karena biaya produksinya di Indonesia sama rendahnya dengan US$10.000 (Rp140 juta) per ton," lanjutnya.
Siapakah Xiang Guangda?
Xiang Guangda adalah taipan yang terkenal di antara para pedagang Nikel di Cina dengan julukan "Raja Nikel" dan "Big Shot".
Merintis karier sebagai mekanik di perusahaan perikanan negara, Xiang sekarang telah memiliki dua smelter nikel di Indonesia.
Salah satunya yang berada di taman industri Morowali yang membentang seluas 2.000 hektare dengan 44.000 pekerja dan bandara miliknya sendiri, serta dilihat sebagai jaminan pasokan bijih murah untuk Tsingshan.
Tsingshan sekarang harus membayar utangnya atau membuktikan bahwa mereka dapat mengirim nikel yang cukup untuk membayar kembali.
"Kami sedang mengamati dengan cermat langkahnya selanjutnya karena itu bisa tetap mengguncang pasar," kata Li.
Biaya yang meningkat tersebut sudah dirasakan oleh pembuat kendaraan listrik termasuk Tesla dan 20 pesaing lainnya di Cina seperti Xpeng dan BYD, yang telah menaikkan semua harga kendaraan selama dua minggu yang lalu dengan alasan kenaikan harga bahan mentah.
"Harga dan gangguan telah mendorong produsen utama baterai untuk mencari alternatif logam sebagai sumber energi kendaraan," kata analis Zou.
Sebelumnya pada 14 Maret, Tsingshan mengatakan bahwa telah mencapai kesepakatan dengan bank untuk mempertahankan posisi nikel perusahaan, menandakan bahwa Xiang sedang berusaha untuk keluar dari krisis.
Langkah ini dinilai bisa membuat harga nikel semakin tidak pasti dan membuat para produsen baterai mobil listrik makin kesulitan. rap/hp (AFP, AP)