Akankah Invasi Rusia ke Ukraina Dorong Jepang Kuasai Senjata Nuklir?

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 28 Maret 2022 | 12:40 WIB
Akankah Invasi Rusia ke Ukraina Dorong Jepang Kuasai Senjata Nuklir?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bagaimana mungkin Jepang pernah mempertimbangkan memiliki senjata nuklir? Itu gagasan yang tidak masuk akal. Mereka adalah satu-satunya negara di dunia yang mengalami serangan nuklir. Dua kali.

Jepang yang menguasai senjata nuklir adalah sesuatu yang tidak terpikirkan. Warganya mungkin tidak akan pernah menerimanya. Tapi benarkah demikian?

Benar. Setidaknya begitulah pandangan umum di Jepang selama 77 tahun terakhir.

Namun dalam beberapa minggu terakhir seorang politisi Jepang mulai menyarankan hal sebaliknya. Dia adalah Shinzo Abe, perdana menteri terlama di Jepang pascaperang.

Baca Juga: Perjuangan Anak-anak Kanker Ukraina: Kemo, Serangan Udara, dan Stres

Abe mulai secara lantang dan terbuka mendesak Jepang untuk mempertimbangkan serius kepemilikan senjata nuklir.

Usulan Abe berpotensi melanggar komitmen fundamental pascaperang Jepang terhadap pasifisme. Sikap antiperang itu tertuang dalam konstitusi yang mereka bentuk usai Perang Dunia II.

Walau begitu, bukan suatu kebetulan bahwa seruan Abe ini muncul tepat saat Rusia menduduki Ukraina.

Bagi orang-orang seperti Abe, yang sejak lama mendambakan Jepang sepenuhnya memperkuat persenjataan militer, invasi Rusia ke Ukraina merupakan contoh yang perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, pendudukan serupa dapat terjadi pada negara-negara yang tidak mempertahankan diri secara mumpuni terhadap ancaman negara tetangga yang memiliki persenjataan lebih besar dan lebih agresif.

Baca Juga: Mengamankan Data-data Digital Cagar Budaya Ukraina

Richard McGregor, peneliti Lowy Institute sekaligus penulis Asia's Reckoning, menilai Abe yakin bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk memperdebatkan kembali isu itu di Jepang.

Abe, kata dia, berusaha membujuk publik Jepang untuk mempertimbangkan ulang sikap pascaperang mereka.

"Saya pikir itulah yang sedang dia kejar. Dia mencoba menggerakkan opini publik, yang sejujurnya cukup keras dan mendarah daging," kata McGregor kepada BBC.

'Cukup keras' adalah pernyataan yang diambil dengan sebelah mata. Sebuah survei tahun lalu menemukan tren bahwa 75% orang Jepang ingin negara mereka menandatangani Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir.

Seruan Abe untuk debat nuklir disambut dengan kemarahan dari kelompok-kelompok penyintas bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Perdana Menteri Jepang saat ini, Fumio Kishida, yang berasal dari Hiroshima, dengan cepat membantah pendahulunya. Dia menyebut saran Abe "tidak dapat diterima".

Namun Abe adalah politisi yang cerdik. Dia tahu Ukraina telah menjadi kejutan besar, dan dia tahu publik Jepang mencemaskan Korea Utara yang memiliki senjata nuklir tak terduga dan China yang semakin agresif.

Profesor Yoichi Shimada adalah akademisi konservatif, teman lama, serta penasihat Shinzo Abe.

"Menurut Abe, penting bagi Jepang untuk memiliki semacam kekuatan penyerang mandiri terhadap China atau Korea Utara," ujar Shimada.

"Itu termasuk kemungkinan memiliki senjata nuklir. Tapi dia juga tahu bahwa mendorong Jepang memiliki senjata nuklir adalah sebuah upaya bunuh diri bagi politisi Jepang mana pun, jadi dia ingin memicu perdebatan.

"Posisi resmi pemerintah Jepang sekarang adalah mengandalkan penangkal nuklir Amerika Serikat yang diperluas. Tetapi Jepang tidak mengizinkan mereka menempatkan senjata nuklir di Jepang. Sejujurnya, itu sikap yang egois," kata Shimada.

Jadi, Abe tidak menyarankan Jepang membangun senjata nuklirnya sendiri. Dia mendorong Jepang meminjam beberapa senjata itu dari Amerika.

Sebagian besar fakta yang terlupakan pascaperang dingin adalah fakta bahwa Jerman, Belgia, Italia dan Belanda menyimpan senjata nuklir AS di wilayah mereka.

Lebih dari itu, jika terjadi perang nuklir, negara-negara yang memiliki senjata non-nuklir ini dapat menjatuhkan senjata itu ke sasaran dengan pesawat mereka. Dan mereka bisa melakukan itu atas nama AS.

Inilah yang sekarang diusulkan Abe untuk Jepang.

Semuanya masih terasa sangat mengada-ada. Undang-undang Jepang telah secara eksplisit melarang senjata nuklir apa pun dari wilayahnya sejak 1971. Namun Abe tidak sendirian dalam menyerukan larangan itu untuk sekarang diperdebatkan.

Ryozo Kato merupakan duta besar Jepang pascaperang terlama untuk AS dan mungkin merupakan pendukung aliansi Jepang-AS yang paling bersemangat. Karena Korea Utara menyimpan senjata nuklir, kata dia, Jepang tidak bisa lagi hanya mengandalkan payung nuklir AS.

"Mungkin bukan China," katanya.

"Beberapa pemimpin gila mungkin memutuskan untuk menembakkan senjata nuklir ke Jepang. Atau mereka bisa menggunakannya untuk intimidasi politik.

"Jepang cukup rentan terhadap intimidasi. Kami harus berbuat lebih banyak dalam hal pertahanan," ujar Kato.

Pasifisme Jepang didorong oleh pendudukan AS setelah Perang Dunia II. Mengabaikan sikap antiperang selalu tampak tidak masuk akal.

Meski begitu, itu adalah sesuatu yang sekarang didukung oleh pemerintah AS dan sebagian besar elite politik Jepang.

"Banyak orang AS berharap mereka tidak mengikat Jepang dengan konstitusi perdamaian," kata Richard McGregor dari Lowy Institute.

"Kita tidak boleh lupa bahwa orang-orang seperti Abe juga sangat membenci AS yang memaksakan konstitusi ini pada mereka. Mereka jelas menahan kekesalan karena mereka menginginkan aliansi dengan AS.

"Mereka tahu mereka tidak bisa menangani China sendiri. Ada semacam penyesalan pada konstitusi antiperang perdamaian di kedua sisi Pasifik," ujar McGregor.

Faktanya, Jepang sudah jauh dari negara pasifis sejati, apa pun yang dinyatakan oleh konstitusinya.

Angkatan lautnya sekarang termasuk yang paling kuat di dunia, sedikit lebih besar dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Yang tidak dimiliki Jepang adalah kemampuan serangan jarak jauh.

Profesor Yoichi Shimada mengatakan bahwa konsensusnya adalah Jepang sekarang harus berubah.

"Menurut saya, di Partai Demokrat Liberal yang berkuasa, sebagian besar politisi berpikir Jepang perlu memiliki kemampuan menghantam wilayah musuh," ujarnya.

Shimada menyebut ancaman Rusia terhadap Ukraina hanya membuat situasi di Jepang lebih terdesak.

"Presiden Vladimir Putin sebenarnya mengacu pada penggunaan senjata nuklir terhadap negara non-nuklir. Itu mengubah situasi bagi banyak politisi di Jepang.

"Rusia adalah salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kita semua tahu bahwa Putin brutal. Tapi itu sangat mengejutkan, bahkan untuknya."

Tidak seperti Ukraina, Jepang memiliki aliansi penuh dengan AS. Ada pula komitmen dari AS untuk membalas negara mana pun yang menyerang Jepang, termasuk dengan senjata nuklir.

Kesepakatan itu berhasil jika AS masih memiliki posisi sentral dalam politik global. Namun di Asia, China sekarang dengan cepat mendekati paritas militer dengan AS.

Kepemimpinan Donald Trump juga turut mengubah lanskap ini.

"Trump mengatakan bahwa Anda harus menjamin keamanan Anda sendiri," kata Hiromi Murakami, penulis The Abe Legacy.

"Dia mengatakannya secara eksplisit. Tapi saya pikir tren keseluruhan AS pada dasarnya sama dengan Trump. Anda tidak bisa sepenuhnya mengandalkan AS lagi."

Bagi sebagian orang, seperti Duta Besar Kato, jawabannya adalah memperkuat aliansi AS-Jepang serta mengambil lebih banyak beban dalam mempertahankan lingkungannya sendiri.

Bagi Profesor Shimada itu bisa berarti suatu hari Jepang harus mengembangkan penangkal nuklirnya sendiri.

Satu hal yang disetujui semua orang yang saya ajak bicara adalah bahwa Jepang entah bagaimana harus melupakan tabu berbicara tentang pertahanannya sendiri.

"Ini telah dihindari selama bertahun-tahun." kata Murakami.

"Tetapi para petinggi Jepang benar-benar perlu membahas ini secara resmi dan menunjukkannya kepada publik. Kami tidak bisa lagi hidup di dunia palsu ini.

"Situasi Ukraina ini benar-benar mengejutkan. Saya berharap itu akan memicu kepemimpinan dan masyarakat umum untuk benar-benar berpikir."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI