Suara.com - Peraturan Daerah Kota Bogor tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) yang ditetapkan akhir tahun lalu membuat kelompok minoritas khawatir akan meningkatnya persekusi terhadap mereka. Wali Kota Bogor Bima Arya menyebut 'tak ada ranah privat yang dilanggar'.
Mahendra, bukan nama sebenarnya, masih mengingat jelas diskriminasi yang dialami kelompok LGBT di Kota Bogor, sekitar empat tahun lalu.
Di berbagai tempat umum saat itu, kata dia, stiker dan tulisan ditempelkan oleh pemilik usaha: 'LGBT dilarang makan di sini' atau 'LGBT dilarang kos di sini'.
"Bahkan di taman, yang notabene bisa diakses semua orang ada spanduk, 'Waria tidak boleh ngamen di sini'," kata Mahendra yang menjadi bagian dari komunitas minoritas seksual dan gender ini.
Itu sebabnya, penetapan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) pada Desember tahun lalu, membuatnya khawatir.
Dalam Pasal 6 perda itu, kelompok gay, lesbian, biseksual, dan transgender diidentifikasi 'perilaku atau aktivitas seksual menyimpang', bersama dengan sejumlah kategori lainnya - di antaranya pamer alat vital (ekshibionisme), pecinta mayat (nekrofilia), dan seks dengan hewan (bestialitas).
"Sebelum ada perda ini, sudah banyak terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap kawan-kawan LGBT, persekusi terhadap teman waria," lanjut Mahendra lagi. Ia takut perda ini akan menjadi legitimasi melakukan tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitasnya.
Wacana diterbitkannya aturan ini sudah muncul sejak beberapa tahun terakhir di Kota Bogor. Selama kurang lebih satu tahun, anggota DPRD Kota Bogor menggodok perda yang kemudian diterbitkan menjelang 2022.
"[Ada] keresahan masyarakat atas perilaku-perilaku penyimpangan seksual di Kota Bogor. Kota Bogor kan merupakan kota agamis ya," kata Ketua Pansus Raperda P4S DPRD Kota Bogor, Devie Prihartini Sultani, saat dihubungi wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Devie juga menyebut perda ini juga digodog sebagai "penanggulangan terhadap penyimpangan seksual", dan "respons atas meningkatnya angka kasus penularan HIV di Kota Bogor", yang menurut Devie disumbang oleh pelaku penyimpangan seksual.
"Kan mereka bagian dari penyumbang pasien HIV, selain dari narkoba," kata politisi Partai Nasional Demokrat ini.
Baca juga:
- Marak perda anti-LGBT 'demi moral publik', bagaimana nalar hukumnya?
- Komunitas LGBT: 'Tak ada yang memperjuangkan aspirasi kami di Pemilu 2019'
- Langkah wali kota Depok razia LGBT untuk cegah kasus seperti Reynhard Sinaga, 'langgar privasi'
'Transgender bisa lebih dulu terkena imbas'
Ketakutan kelompok LGBT di Kota Bogor ini bukannya tak beralasan. Beberapa tahun lalu, seperti yang telah diceritakan oleh Mahendra, persekusi terhadap komunitas transpuan terjadi di daerah Empang, Kota Bogor, kata seorang aktivis.
"Setelah ada demo di balai kota oleh ulama anti-LGBT, beberapa hari kemudian ada pengusiran dan pembubaran paksa kelompok waria," ujar Deta, aktivis kelompok LGBT. Sebelumnya, di Empang ada banyak waria yang tinggal ngekos atau mengontrak.
Preseden ini membuat mereka harus ekstra hati-hati setelah Perda P4S ditetapkan. Terlebih Deta yang bekerja sebagai paralegal mengaku baru-baru ini mendapat laporan telah muncul lagi spanduk-spanduk bernada penolakan terhadap komunitas LGBT di wilayah Kota Bogor.
Meski belum ada laporan terjadi persekusi, ujar Deta, "Kita sarankan pada teman-teman untuk lebih waspada."
Bunga, seorang transpuan dari Komunitas Srikandi Pakuan, mengaku takut keberadaan perda ini akan menyulut kebencian terhadap kelompoknya. Ia menuduh aturan itu kental dengan diskriminasi dan merupakan "pelanggaran HAM berat".
"Jadi saya menginginkan perda yang dibuat Pemkot dan DPRD Kota Bogor ini dicabut. Dampak untuk komunitas ke depannya akan sangat tidak baik," kata dia.
Terhadap perilaku-perilaku yang disebutkan dalam Pasal 6, perda ini mengatur sejumlah langkah pencegahan - termasuk konseling dan rehabilitasi. Penanggulangan, dalam peraturan ini, juga dilakukan dengan cara edukasi, perlindungan, dan rehabilitasi.
Perlindungan, menurut perda itu, akan diberikan kepada masyarakat dari dampak perilaku yang diklasifikasikan sebagai penyimpangan seksual. Salah satunya, "menerima dan memeriksa aduan dari masyarakat yang mengganggu ketertiban masyarakat".
"Masyarakat yang intoleran bisa menggunakan perda ini untuk [semakin] membenci komunitas LGBT," kata Bunga. "Khususnya teman-teman waria yang lebih terlihat. Mereka akan lebih dulu terkena imbasnya."
Dihubungi secara terpisah, Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan pada awalnya Pemkot Bogor menolak usulan perda inisiatif DPRD ini, lantaran "terlalu jauh masuk ke ruang privat" warga.
Namun kemudian, pembahasan tetap dilakukan. "Pemerintah Kota Bogor memastikan perda ini tidak boleh masuk wilayah privat, itu poin pertama," kata Bima.
Di juga memastikan perda "tidak diskriminatif terhadap siapapun juga". Menurut Bima, dua poin ini yang "dijaga koridornya oleh pemerintah kota bersama dengan DPRD."
Devie Prihatini lebih lanjut mengatakan Perda P4S menekankan pada edukasi, dan karena di dalam perda tidak diatur tindak hukum pidana, ia berkilah tidak ada ruang untuk kekerasan terhadap kelompok sasaran.
"Di mana letaknya [memicu kekerasan]? Kita tidak mengatur ke tindak hukum pidana, tapi lebih ke pencegahan," tukas Devie.
'Dibuat atas dasar kebencian'
Jaminan "tidak masuk ranah privasi" dari Pemkot dan DPRD Kota Bogor juga diragukan oleh peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati.
Dari aspek hukum, Maidina mengatakan, ada dua hal yang bisa dilihat dalam perda tersebut, yakni soal perlindungan privasi dan kepentingan negara terkait penganggaran.
Dalam hal perlindungan privasi, Maidina tidak melihat ada definisi yang jelas soal orientasi seksual. Di saat bersamaan, orientasi seksual bersifat perlindungan hak privasi.
"Kalau misalnya penyimpangan seksual didefinisikan perbuatan yang dilakukan tidak dengan consent [persetujuan], misalkan ada unsur kekerasan, itu bisa didefinisikan sebagai suatu perilaku penyimpangan seksual," kata dia.
"Tapi ketika dilakukan dengan consent dan di dalam ranah privat, maka sebenarnya itu adalah unsur privasi yang dilindungi oleh negara. Kita punya hak atas privasi. Ketika diatur instrumen negara, maka kita pertanyakan apa kepentingan negara untuk mengatur?" ujar Maidina.
Aspek kedua, soal anggaran yang diwujudkan dengan membentuk Komisi Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual yang dibiayai oleh publik selaku pembayar pajak.
"Dalam tataran diskursus internasional dan tataran akademik, lesbian dan homoseksual itu tidak lagi terdefinisikan sebagai penyimpangan seksual. Nah, ketika itu bukan ranah penyimpangan yang mana tidak ada implikasi masalah yang akan ditimbulkan, kenapa negara menyediakan dana untuk mengatur pembentukan komisi penanggulangannya?" ucap Maidina.
Keberadaan komisi yang memakai kacamata "perilaku penyimpangan seksual harus dihilangkan", menurut Maidina, akan memunculkan intervensi-intervensi terhadap kelompok LGBT yang akhirnya bisa menjadi legitimasi untuk persekusi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh negara. Tindakan ini juga bisa memicu diskriminasi dan pelabelan.
"Ada senjata dalam kebijakan yang akhirnya bisa melegitimasi tindakan persekusi yang diakui oleh negara," ungkap Maidina.
Istilah laki-laki penyuka laki-laki dan perempuan penyuka perempuan dalam Pasal 6, menurut Maidina, juga sangat abu-abu. Kata "suka", lanjut Maidina, bukan unsur yang objektif sehingga tidak bisa masuk ke dalam subjek bahasan hukum.
Implementasinya nanti, lanjut dia, bukan saja bias, tapi juga membuka ruang kesewenang-wenangan yang diskriminatif.
"Intinya perda ini dibuat atas dasar kebencian, ditujukan untuk menyerang kelompok tertentu. Ketika kebijakan dari awal dibuat berdasarkan kebencian, maka sebenarnya itu bentuk diskriminasi," tegasnya.
Baca juga:
Maidina menambahkan, bentuk perilaku penyimpangan seksual seperti pedofil, eksisbionisme, dan berhubungan seksual dengan mayat, sudah diatur dalam peraturan perundangan-undangan lain, yaitu KUHP dan UU Perlindungan Anak.
"Lantas kenapa perlu intervensi dalam bentuk perda tadi?" tanya Maidina.
'Alasan mengada-ada'
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) bersama 140 organisasi masyarakat sipil lainnya juga menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 ini.
Perda ini, sebut mereka, bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan, "orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan." Dalam klasifikasi International Classification of Diseases revisi ke-11, transgender juga telah dinyatakan sebagai bukan gangguan kejiwaan.
Melalui siaran persnya, koalisi menilai perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu serta berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman.
Penerapan perda ini juga berpeluang menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan.
Maka, sebut mereka, ada potensi kekerasan bernuansa terapi konversi atau upaya korektif. Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi.
"Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang.
"Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan," tertulis dalam siaran pers yang disebarkan LBH Masyarakat, Sabtu (19/3).
Koalisi juga meminta Kantor Staf Presiden untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM, karena menghasilkan perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia. November 2022, Kota Bogor rencananya akan menjadi tuan rumah Festival HAM.
Di sisi lain, alasan Pemkot dan DPRD Kota Bogor yang berdalih penerapan perda ditujukan untuk menanggulangi penularan HIV juga dikritik Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Jawa Barat.
Landry Kusmono, pengelola Program Sekretariat KPA Jawa Barat, menilai alasan tersebut mengada-ada. Menurut Landry, penerapan Perda P4S justru akan menyulitkan penanggulangan HIV/AIDS karena membuat kelompok LGBT sebagai populasi kunci lebih susah dijangkau.
"Mereka akan semakin tertutup, sulit ditemui dan diajak ke layanan kesehatan. Mereka pasti akan takut diketahui identitasnya," terang Landry.
Lagipula, imbuh Landry, temuan kasus HIV positif baru dan penambahan kasus terjadi di semua kota kabupaten di Indonesia. Akan tetapi, menurut catatannya, penularan HIV di kelompok laki-laki seks laki-laki (LSL) maupun waria tidak banyak.
"Angkanya tidak besar jika dibandingkan dengan pelanggan pekerja seks, kalau berbicara tentang penularan HIV. Jadi tidak begitu relevan bila berbicara penyimpangan seksual dengan penularan HIV," kata Landry.
Dinas Kesehatan Kota Bogor mencatat sebanyak 512 kasus HIV/AIDS dan 11 kasus kematian di 2019.
Merujuk pada data Direktorat Jenderal Pengendalian penularan penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, faktor risiko AIDS terbesar menurut orientasi seksual adalah heteroseksual (70%), homoseksual (22%), dan biseksual (2%).
Sementara jika mengacu pada hasil tes HIV di kelompok berisiko, LSL menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif (8,75%). Peringkat kedua adalah pelanggan pekerja seks (10,57%), dan peringkat pertama adalah Sero Discordant atau pasangan yang salah satunya HIV positif (92,19%).
Landry juga mengkritik pernyataan Devie yang menyebut HIV/AIDS sebagai penyakit mematikan. Menurutnya, anggapan itu salah sebab angka kematian di kasus HIV sudah berhasil ditekan dengan banyaknya pasien atau orang dengan HIV (ODHIV) yang mengakses obat ARV.
"Dengan patuhnya ODHIV minum ARV, maka angka kematian semakin bisa ditekan. Selain itu, layanan untuk pengobatan ARV juga sudah banyak di Jawa Barat," tutur Landry.
Pro dan kontra di masyarakat
Di tengah warga Kota Bogor sendiri, penerapan Perda P4S menimbulkan pro kontra. Sebagian warga mempertanyakan kebijakan tersebut, sementara sebagian lainnya mendukung penuh.
Verry Aria, mengaku menyambut baik terbitnya perda ini. Ia mengatakan, pemerintah bisa bertindak aktif dalam mengontrol dan melakukan sidak untuk menciduk orang yang dicurigai berperilaku seksual menyimpang.
"Kalau misalnya [aparat] ketemu waria atau ketemu penyuka sesama jenis, ya diciduk, diberikan edukasi, atau ada panti khusus dari dinas sosial untuk melakukan terapi atau apapun itu," tukas dia.
Warga Kota Bogor lain, Lazyra Amadea, mengaku bingung. Ia berkata bisa menangkap niat baik pemerintah kotanya untuk melakukan edukasi dan konseling. Di sisi lain, Lazyra khawatir perda itu akan mendiskriminasi kelompok LGBT.
"Pemerintah harus hadir untuk [kelompok LGBT]. Saya dukung ketika arah dan niatnya melindungi kelompok minoritas itu. Cuma yang saya takutkan, kalau yang tadinya untuk melindungi, malah jadinya mengekang," kata perempuan 28 tahun ini.
Meski telah ditetapkan pada Desember 2021 lalu, pemerintah mengaku masih terbuka untuk "berdiskusi dengan pihak yang menolak penerapan perda".
"Silakan dibaca baik-baik, pasal mana yang justru akan merugikan mereka," kata Wali Kota Bogor Bima Arya. "Saya khawatir teman-teman itu hanya membaca judulnya, terus membaca pasal awal tentang realitas sosial lelaki penyuka lelaki, tapi tidak membaca keseluruhan perda ini."
Meski begitu, jaminan dari para perumus aturan ini tak memupus kekhawatiran kelompok LGBT.
"Karena 15 pasal itu semuanya ngawur. Bukan tidak percaya, tapi lakukan dulu aksinya jangan cuma janji. Itu mau kita," ungkap Mahendra.
-
*Wartawan di Bandung, Jawa Barat, Yuli Saputra berkontribusi pada laporan ini