Suara.com - Kasus temuan kerangkeng manusia di Rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin benar-benar menguras emosi publik. Betapa tidak, berdasarkan data yang diungkap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), telah terjadi penyiksaan yang dilakukan orang-orang dekat sang bupati.
Hingga akhirnya polisi menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus kerangkeng manusia itu. Uniknya, sang pemilik rumah yakni Terbit Rencana Perangin Angin tak ditetapkan menjadi tersangka. Untuk alasannya bisa dibaca di sini.
Benar saja, delapan orang tersangka itu adalah orang dekat bupati. Salah satunya adalah anaknya sendiri yakni Dewa Perangin Angin atau akrab dipanggil Cana.
Selain Dewa, tujuh tersangka lainnya adalah HS, IS, TS, RG, JS, HG dan SP.
Tujuh tersangka dijerat dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO dengan ancaman 15 Tahun Penjara.
Sedangkan dua tersangka lainnya selaku penampung dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO dengan ancaman 15 tahun penjara. Mereka yakni SP dan TS.
Pada Jumat (25/3) lalu, delapan tersangka menjalani pemeriksaan. Tujuh tersangka datang lebih dulu sejak siang. Sedangkan, Dewa Perangin Angin datang diam-diam saat malam hari tiba.
Belakangan, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Utara Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, bahwa penyidik memutuskan untuk tidak menahan para tersangka. Alasannya, para pelaku penyiksaan terhadap anak kerangkeng hingga menewaskan korban jiwa dan cacat, trauma hingga stress itu dinilai kooperatif.
"Penyidik mempertimbangkan untuk tidak melakukan penahanan," kata Tatan di Polda Sumatera Utara, Sabtu (26/3/2022) sore.
Keputusan Polda Sumut tak menahan para tersangka kasus kerangkeng manusia ini memicu reaksi miring. Salah satunya dari Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar yang menilai keputusan penyidik itu patut dicurigai.
"Jika sikap kepolisian seperti ini, wajar jika publik menduga kalau ada dugaan patgulipat di luar alasan kooperatifnya tersangka. Polisi mesti sadar bahwa kooperatifnya tersangka bukan berarti mengabaikan atas pelanggarannya sekian puluh tahun," kata Rivanlee kepada Suara.com, Minggu (27/3/2022).
Kontras Curigai Keputusan Polisi
Menurut KontraS, sejak awal penanganan kasus pelanggaran HAM terkait kerangkeng manusia di rumah Cana ini memang terkesan tidak serius.
Padahal, kejahatan kemanusiaan yang terjadi di dalam kerangkeng ini semestinya perlu pendapat perhatian serius agar tak kembali terulang.
"TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) atau jenis kekerasan yang lain terjadi di kerangkeng mestinya jadi tamparan betul bahwa ada warga sipil yang bertindak melampauo hukum. Sehingga tindakannya perlu mendapatkan sanksi yang serius dengan harapan kejadian serupa tidak terjadi lagi," papar Rivanlee.
Atas hal itu, KontraS menyarankan Mabes Polri turut serta dengan serius memantau dan mengawasi penanganan kasus ini di Polda Sumatera Utara. Sehingga dapat dipastikan tidak ada kewenangan-wenangan yang dilakukan oleh oknum demi kepentingannya.
"Sudah semestinya Mabes Polri memantau penanganan kasus ini secara serius. Tidak membiarkan kesewenang-wenangan ini terus terjadi," pintanya.