Suara.com - Pagi-pagi sekali pada hari Rabu (23/03), di sebuah rumah di kota Kabul, Marzia mengemas buku-buku dan alat tulisnya di dalam tas sebelum pergi sekolah untuk pertama kalinya sejak Taliban menguasai Afghanistan pada Agustus tahun lalu.
"Saya sangat, sangat senang ketika saya dengar sekolah akan dimulai kembali," kata remaja putri berusia 15 tahun itu kepada BBC. "Itu membuat saya berharap lagi tentang masa depan."
Sekitar 200 murid perempuan lainnya juga berangkat ke sekolah menengah Sayed ul Syuhada. Jumlahnya lebih sedikit dari biasanya, karena banyak siswa dan keluarga mereka belum yakin akan benar-benar ada kegiatan belajar-mengajar. Mereka juga masih memperdebatkan apakah itu aman.
Sejak Agustus, di sebagian besar wilayah Afghanistan, hanya sekolah dasar untuk anak perempuan yang tetap buka, serta sekolah untuk anak laki-laki.
Hari ini, awal tahun ajaran baru, sekolah menengah perempuan diharapkan akan kembali dibuka beserta institusi-institusi lainnya.
Baca juga:
- Karena perkara seragam, Taliban batalkan izin bersekolah bagi para anak perempuan
- Sekolah rahasia untuk perempuan Afghanistan, mengapa terpaksa sembunyi-sembunyi untuk belajar?
- Pakai busana warna warni, aksi protes perempuan Afghanistan jadi viral
Momen ini terasa mengharukan terutama bagi para siswa di Sayed ul Syuhada. Tahun lalu, lebih dari 90 siswa dan staf sekolah tewas dalam serangan oleh kelompok lokal yang berafiliasi dengan ISIS.
"Bom bunuh diri pertama terjadi sangat dekat dengan saya," kata Sakina, sambil berurai air mata. "Ada banyak orang mati di depan saya... Saya pikir saya juga akan mati."
Ia berhenti bicara sejenak, dikuasai oleh emosi, sebelum melanjutkan, "Pembalasan kami kepada orang-orang yang melakukan ini, adalah dengan meneruskan pendidikan kami. Kami ingin sukses dalam hidup, sehingga kami dapat mewujudkan mimpi kawan-kawan kami yang mati syahid."
Baca Juga: Pemerintah Afghanistan Larang Perempuan Sekolah, Ketum PBNU Gus Yahya Bereaksi
Namun sementara para murid masuk ke dalam kelas dan membersihkan debu dari meja-meja mereka; beberapa guru bergumam bahwa, tak dinyana, sekolah harus tutup kembali.
Pejabat dinas pendidikan Taliban setempat, yang memberi kami izin untuk mengambil gambar di sekolah awal pekan ini, meneruskan sebuah pesan WhatsApp kepada kepala sekolah, yang mengatakan bahwa sekolah menengah perempuan akan tetap tutup sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Para siswi merasa syok dan ngeri. Beberapa mulai menangis. "Kami hanya ingin belajar dan melayani masyarakat," kata Fatima. "Negara macam apa ini? Apa dosa kami?"
Remaja perempuan itu tampak putus asa. Ia pun bertanya, kepada Taliban, "Kalian selalu bicara tentang Islam, apakah Islam mengajarkan untuk menyakiti perempuan seperti ini?"
Sulit untuk memahami alasan Taliban. Upacara Kementerian Pendidikan yang menandai awal tahun ajaran baru tetap berlangsung kendati perkembangan terbaru ini.
Aziz-ur-Rahman Rayan, juru bicara kementerian, mengatakan semua persiapan sudah dilakukan untuk pembukaan kembali sekolah, namun kepemimpinan sentral Taliban memerintahkan sekolah tetap ditutup sampai, "rencana yang komprehensif sudah disiapkan berdasarkan Syariah dan budaya Afghanistan".
Namun, bahkan sebelum Taliban berkuasa, sekolah-sekolah menengah di Afghanistan sudah dipisahkan berdasarkan gender, dengan seragam perempuan terdiri dari pakaian hitam panjang dan kerudung putih.
Lebih dari itu, di beberapa provinsi pemerintahan lokal Taliban sudah mengizinkan sekolah menengah untuk perempuan dibuka kembali sejak tahun lalu, meskipun belum ada kebijakan dari pusat.
Secara pribadi, tokoh-tokoh Taliban mengakui bahwa pendidikan perempuan adalah perkara kontroversial di antara elemen-elemennya yang berpaham paling keras.
Kekacauan putar balik kebijakan ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan pusat Taliban memutuskan, pada menit-menit terakhir, untuk membatalkan kebijakan Kementerian Pendidikan mereka sendiri, khawatir akan mengasingkan anggota-anggota ultra-konservatif mereka.
https://twitter.com/BBCYaldaHakim/status/1506592231666368523
Perbedaan pandangan di dalam Taliban sendiri kadang-kadang berkorelasi dengan lokasi geografis mereka.
Di satu daerah yang lebih kosmopolitan, di bagian utara Afghanistan, bahkan di bawah "pemerintahan bayangan" yang didirikan Taliban selama pemberontakan mereka, seorang pemimpin lokal pernah dengan bangga menunjukkan kepada saya sekolah anak perempuan yang masih berfungsi dalam suatu kunjungan.
Sebaliknya, di daerah pedesaan di provinsi Helmand yang lebih konservatif di selatan, seorang kombatan Taliban yang saya tanya mengenai pandangannya tentang pendidikan perempuan, menjawab sambil tersenyum, "kalau anak perempuan ingin belajar, saudara-saudara laki-laki mereka bisa pergi sekolah dan kemudian mengajari mereka di rumah".
Tetapi bahkan di wilayah-wilayah paling konservatif, kebanyakan keluarga Afghanistan sekarang tampaknya mendukung pendidikan perempuan.
Sudah lama banyak yang bertanya apakah Taliban sudah berubah sejak terakhir kali mereka berkuasa pada tahun 90-an, ketika semua perempuan dipaksa mengenakan burka yang menutupi seluruh tubuh, dan bahkan sekolah dasar bagi anak-anak perempuan ditutup?
Hari ini, gambarannya lebih bernuansa.
Studi terbaru dari Bank Dunia menemukan bahwa malah ada peningkatan jumlah murid di sekolah dasar perempuan sejak Taliban mengambil alih, seiring Afghanistan menjadi semakin aman. Sementara itu, Taliban telah mengizinkan perempuan untuk belajar di universitas selama kelasnya dipisah.
Namun keputusan hari ini untuk tetap menutup sekolah menengah perempuan, tampaknya menunjukkan adanya jurang yang masih memisahkan kepemimpinan Taliban dan masyarakat Afghanistan kontemporer.