Suara.com - Presiden AS Joe Biden mengatakan Rusia harus dikeluarkan dari kelompok ekonomi 20 negara (G20) karena invasinya ke Ukraina. Ini setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin, dikabarkan ingin menghadiri KTT G20 di Bali, Indonesia, yang tahun ini memimpin forum tersebut.
Topik itu diangkat Biden selama pertemuannya dengan sejumlah pemimpin dunia di Brussels, Belgia, Kamis waktu setempat (24/3).
"Jawaban saya adalah ya, tergantung pada G20," kata Biden, ketika ditanya apakah Rusia harus dikeluarkan dari grup tersebut, seperti dikutip Reuters.
Biden juga mengatakan jika negara-negara seperti Indonesia dan lainnya tidak setuju dengan dikeluarkannya Rusia, maka dalam pandangannya, Ukraina harus diizinkan untuk menghadiri pertemuan G20 tersebut.
Baca Juga: PM Morrison Sudah Bicara dengan Jokowi Soal Rencana Putin Hadiri G20
Baca juga:
- Rusia invasi Ukraina, mayoritas publik Indonesia kagumi Putin, pakar khawatir 'bangsa kita dicap hipokrit'
- Antara kekecewaan dan harapan pada Indonesia - Wawancara Dubes Ukraina dan Rusia
- 'Merdeka atau mati' - anak-anak muda Ukraina terinspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia
Sebelumnya, pada hari yang sama, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa membiarkan Presiden Putin duduk satu meja dengan para pemimpin dunia lain adalah "satu langkah yang terlalu jauh".
Mantan Perdana Menteri Inggris menyerukan kepada pemimpin negara-negara Barat untuk memboikot KTT G20 seandainya Presiden Putin hadir.
Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya dikabarkan sedang menimbang-nimbang apakah Rusia tetap bisa berada dalam kelompok 20 negara terkemuka itu setelah invasi Moskow ke Ukraina, ungkap sumber yang terlibat dalam pembicaraan itu kepada kantor berita Reuters.
Amerika Serikat beragumen dengan adanya serbuan ke Ukraina, maka lembaga-lembaga internasional tidak bisa bertindak sebagaimana biasanya.
Baca Juga: Soal Keputusan Undang Putin Di KTT G20 Bali, Legislator PDIP: Harus Ada Kesepakatan Dulu
Tetapi setiap upaya untuk mengeluarkan Rusia kemungkinan akan diveto oleh sesama anggota lain dalam kelompok tersebut, dan ini justru berisiko membuat beberapa negara tidak mau mengikuti rangkaian pertemuan G20, ungkap sumber itu lagi.
Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 'tidak memihak'
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, menegaskan bahwa Indonesia sebagai ketua G20 tahun ini tidak memihak, di tengah seruan agar Presiden Rusia Vladimir Putin tidak diundang dan agar Rusia dikeluarkan dari forum itu menyusul invasi ke Ukraina.
Namun dalam jumpa pers pada Kamis (24/03), Indonesia menegaskan sikap netral.
"Sebagai presidensi tentunya dan sesuai dengan presidensi-presidensi sebelumnya adalah mengundang semua anggota G20," kata Duta Besar RI sekaligus Staf Khusus Program Prioritas Kemenlu dan Co-Sherpa G20 Indonesia, Dian Triansyah Djani.
Ditambahkan, Indonesia dalam mengetuai berbagai konferensi suatu forum dan organisasi berpegang pada aturan yang berlaku, dan tidak terkecuali di G20.
"Oleh karena itu memang kewajiban untuk presiden G20 untuk mengundang semua anggotanya," katanya.
KTT20, lanjutnya, akan dipusatkan pada pemulihan ekonomi global yang menjadi prioritas penduduk dunia saat ini.
Penegasan ini dikeluarkan sesudah muncul konfirmasi bahwa Rusia telah menerima undangan dari Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 di Bali November mendatang dan Presiden Vladimir Putin ingin menghadirinya, sebagaimana diungkap duta besar Rusia di Jakarta.
Indonesia diminta jangan sentuh konflik Rusia-Ukraina
Sikap pemerintah RI sejalan dengan pandangan para politikus di Indonesia, di antaranya Dave Laksono.
Menurut anggota DPR Komisi I yang antara lain membidangi urusan luar negeri itu, sudah selayaknya Indonesia tidak menyentuh konflik Rusia-Ukraina dalam G20 ini.
Pasalnya, G20 dibentuk untuk membahas hal-hak yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempermudah akses ke permodalan atau juga meningkatkan kemampuan bisnis masyarakat secara global.
"Permasalahan Ukraina dengan Rusia adalah konflik yang berawal dari kebijakan luar negeri sejumlah negara Barat yang dianggap bertentangan ataupun membahayakan permasalahan dalam negeri Rusia.
"Oleh karena itu fokus G20 jangan dibawa ke arah sana, walaupun apa yang terjadi di sana dianggap suatu pelanggaran kedaulatan negara. Itu seharusnya diselesaikan di forum-forum yang ada, bukan di G20," kata politikus partai Golkar menjawab pertanyaan BBC News Indonesia.
Dukungan tentang pentingnya Rusia di G20 juga disuarakan oleh China, salah satu anggotanya, dengan mengatakan Rusia memegang peran penting.
G20 adalah forum kerja sama multilateral, yang terdiri dari 19 negara dan satu kawasan ekonomi - Uni Eropa.
Indonesia menduduki presiden G20 tahun ini.
Respons Rusia soal isu terancam dikeluarkan dari G20
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, dalam konferensi pers di Jakarta Rabu (23/3) mengungkapkan keinginan Putin untuk menghadiri KTT G20 di Bali. "Itu akan tergantung pada banyak, banyak hal, termasuk situasi COVID, yang semakin baik. Sejauh ini, niatnya adalah ... dia ingin [hadir]."
Ditanya tentang isu Rusia dapat dikeluarkan dari G20 akibat invasi ke Ukraina, Vorobieva mengatakan itu adalah forum untuk membahas masalah ekonomi dan bukan krisis seperti Ukraina.
"Tentu saja pengusiran Rusia dari forum semacam ini akan tidak membantu mengatasi masalah-masalah ekonomi. Sebaliknya, tanpa Rusia akan sulit untuk melakukannya."
Vorobieva mendesak Indonesia, yang tahun ini memimpin G20, untuk tidak terombang-ambing oleh tekanan dari negara-negara Barat.
"Kami sangat berharap pemerintah Indonesia tidak menyerah pada tekanan mengerikan yang tidak hanya diterapkan pada Indonesia tetapi begitu banyak negara lain di dunia oleh Barat," kata Vorobieva, yang juga mengatakan Rusia secara aktif mengambil bagian dalam semua pertemuan G20.
Ukraina serukan boikot kunjungan Putin
Sementara itu, Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, menyerukan penolakan atas rencana kedatangan Putin ke KTT G20 di Bali akhir tahun ini.
Menurut Haminanin, kehadiran Putin di forum-forum internasional merupakan penghinaan atas demokrasi, martabat manusia, dan supremasi hukum.
"Boikot Rusia dan Putin dalam semua kemungkinan pertemuan, platform internasional, konferensi tingkat tinggi. Ini akan menjadi langkah nyata untuk mengakhiri situasi di Ukraina," kata Hamianin seperti dikutip Tempo.co Rabu (23/3).