Tegas! Perludem Sebut Penundaan Pemilu Adalah Upaya Merebut Kekuasaan

Rabu, 23 Maret 2022 | 23:37 WIB
Tegas! Perludem Sebut Penundaan Pemilu Adalah Upaya Merebut Kekuasaan
Ilustrasi pemilu (Unsplash/5Element)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan penundaan pemilu dalam jangka waktu yang lama merupakan upaya perebutan kekuasaan.

Meski begitu, ia mengakui bahwa ada tahapan pemilu yang tak bisa terlaksana. Tahapan tersebut disebut dengan konsep pemilu lanjutan yang disebabkan karena adanya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam atau gangguan lainnya.

"Kalau hanya sebagian tahapan yang terganggu itu disebut dengan pemilu lanjutan, tapi ketika tahapan sudah ditetapkan, lalu terjadi bencana misalnya di seluruh Indonesia kerusuhan gangguan keamanan atau gangguan lainnya," ujar Titi dalam kuliah umum bertajuk "Diskursus Penundaan Pemilu: Antara Realitas Politik dan Supremasi Konstitusi" secara virtual, Rabu (23/3/2022).

Sementara kata Titi, yang menyebabkan seluruh tahapan tidak bisa terlaksana, disebut dengan konsep pemilu susulan.

Baca Juga: Ajakan Pemprov Kaltim ke FPK, Jaga Situasi Kondusif Jelang Pemilu 2024 Nanti

Namun tahapannnya harus ada dan juga disebabkan karena adanya gangguan-gangguan.

"Tahapannya harus ada dulu, penyebabnya hanya satu, gangguan keamanan, dua kerusuhan, tiga, bencana alam dan keempat, gangguan lainnya," ucap dia.

Titi menuturkan, adanya penundaan pemilu karena alasan kedaruratan atau kemanusiaan bencana alam termasuk pandemi covid 19.

Namun penundaannya kata Titi tidak dilakukan dalam waktu yang lama, tetapi dalam waktu yang pendek.

Sementara jika penundaan pemilu dalam waktu yang panjang, ia menyebut hal tersebut merupakan upaya merebut kekuasaan.

Baca Juga: Usai Dilantik AHY, Demokrat DKI Jakarta Targetkan Menangi Pemilu 2024

"Kalau dalam waktu yang panjang itu bukan penundaan, tapi canselation atau pembatalan. Jadi merupakan upaya merebut kekuasaan dengan cara membatalkan pemilu," kata Titi.

Ia menjelaskan bahwa proses penundaan Pemilu itu melalu tahapan -tahapan yang diusulkan dari tingkat kecamatan, kabupaten hingga ke provinsi dan diusulkan ke KPU pusat.

"Biasanya kalau sebagian tahapan atau sebagian wilayah itu yang disebut dengan pemilu lanjutkan itu bertingkat, PPS, PPK mengusulkan ke KPU kabupaten kita atau kan kota usul ke provinsi dan seterusnya.
Kalau misal sampai 50 persen pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya," ucap Titi.

Sehingga yang menetapkan penundaan Pemilu adalah Presiden atas usul KPU dengan alasan gangguan keamanan, bencana alam dan lainnya.

"Tapi KPUnya dulu yang harus usul karena 40 persen jumlah provinsi di Indonesia tidak bisa menyelenggarakan pemilu karena kerusuhan, gangguan keamanan dan bencana alam dan 50% jumlah pemilih terdaftar jadi pemilih yang sudah terdaftar dulu itu tidak dapat menggunakan hak pilih untuk memilih," papar Titi.

"Nah prosedurnya KPU yang harus menyatakan dan itu kemudian ditetapkan oleh presiden. Tapi alasannya adalah alasan yang terbatas, gangguan keamanan, bencana alam kerusuhan dan gangguan lainnya lainnya," sambungnya.

Namun jika penundaan Pemilu dikarena anggraran, Titi menyinggung pembangunan IKN dan penyelenggaran MotoGP di Mandalika yang terus berjalan.

"Kalau di Pilkada itu biasanya disebabkan oleh ketiadaan anggaraan. Tapi kalau ketiadaan anggaran pembangunan IKN bisa berjalan, MotoGP jalan, berati bisa saling diakselerasikan," kata dia.

Selain itu kata Titi, Pemilu bisa ditunda jika ada konvensi ketatanegaraan. Dalam hal ini, konvensi ketatanegaraan harus ada konsensus politik yang mendapat dukungan publik.

Sedangkan faktanya, mayoritas masyarakat tidak mendukung wacana penundaan Pemilu.

"Konvensi ketatanegaraan itu kan harus ada konsensus politik yang didukung oleh dukungan publik legitimasi dari publik. Ternyata responden yang disurvei oleh lembaga survei Indonesia, semua responden menyatakan, menginginkan pemilu tetap pada tahun 2024 dan tidak menginginkan penundaan pemilu," papar Titi.

Kata Titi, mayoritas masyarakat tidak menginginkan penundaan pemilu walaupun alasan pandemi belum berakhir, pemulihan ekonomi dan memastikan pembangunan ibu kota berjalan dengan baik.

"Semuanya ternyata tidak setuju, mayoritas di atas 60% itu menolak penundaan pemilu dan menginginkan pemilu tetapi 2024. Hal itu juga konsisten dengan hasil dari survei Litbang Kompas respon 62,3 persem menginginkan pemilu 2004 dan tidak ada penundaan pemilu," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI