Suara.com - Arab Saudi dan Cina kian mendekat seiring mendinginnya hubungan Pangeran Mohammed bin Salman dan Presiden AS, Joe Biden. Seberapa serius keretakan antara kedua sekutu lama itu? Berikut analisa oleh Cathrin Schaer.
Menyusul laporan Wall Street Journal bahwa Presiden Cina, Xi Jinping, akan menerima undangan untuk melawat ke Arab Saudi pada Mei mendatang, Riyadh mengindikasikan bakal menerima mata uang Yuan sebagai alat pembayaran minyak, ketimbang Dollar AS.
Arab Saudi menjual sepertiga ekspor minyaknya ke Cina dan sejak awal tahun menggeser Rusia sebagai sumber minyak terbesar.
Transaksi minyak menggunakan Yuan akan membantu menciptakan sistem tandingan dalam pembayaran internasional, di mana mata uang Cina akan sama pentingnya seperti Dollar AS.
Kesepakatan dengan Arab Saudi menjadi relevan di tengah invasi Rusia terhadap Ukraina. Pasalnya, Moskow bisa menghindari sanksi AS, jika mengadopsi Yuan untuk transaksi luar negeri.
Cina selama ini bersikeras netral. Namun, AS dan Eropa mencurigai Beijing secara diam-diam membantu Rusia.
Namun begitu, analis meyakini pengumuman Saudi untuk mengadopsi Yuan adalah peringatan terhadap negara barat. Lembaga penelitian kebijakan luar negeri Eropa, EFCR, mencatat cara serupa pernah digunakan Saudi pada 2019 silam.
Cina sering digunakan sebagai "alat tawar” dalam hubungannya dengan Amerika Serikat, tulis EFCR.
"Contohnya, hanya beberapa bulan setelah pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi, putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menggunakan lawatannya di Asia untuk mempengaruhi perdebatan di AS dan Eropa soal penjualan senjata ke negaranya.”
Baca Juga: Arab Saudi Buka Ibadah Haji Tahun 2022, Wakil Ketua MPR Minta Perjuangkan Penambahan Kuota
Keretakan dua sekutu lama Relasi antara Saudi dan Amerika Serikat banyak mendingin sejak pemerintahan Joe Biden, terutama perihal kejahatan HAM di Yaman.