Suara.com - Sebuah laporan terbaru temukan, Facebook gagal deteksi ujaran kebencian terhadap minoritas muslim Rohingya selama bertahun-tahun. Perilaku ini berperan penting dalam tindakan genosida terhadap mereka.
Laporan yang dibagikan secara eksklusif kepada The Associated Press menunjukkan percobaan kelompok hak asasi Global Witness yang mengirimkan delapan iklan berbayar ke Facebook, dengan beragam versi yang berisi ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingya.
Kedelapan iklan tersebut disetujui oleh Facebook untuk dipublikasikan. Meski Global Witness menarik kembali iklan tersebut sebelum dirilis atau dibayar, terbukti kontrol Facebook masih gagal mendeteksi ujaran kebencian dan seruan kekerasan di platformnya.
Fakta bahwa Facebook menyetujui kedelapan iklan itu dinilai sangat mengkhawatirkan. Karena perusahaan media sosial tersebut mengklaim memiliki standar yang "lebih ketat" dibanding postingan biasa yang tidak dibayar, demikan menurut laman utama untuk iklan berbayar.
Baca Juga: AS: Myanmar Lakukan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan ke Rohingya
"Saya menerima poin, delapan bukanlah angka yang terlalu besar. Namun, saya pikir temuannya sangat mencolok, bahwa kedelapan iklan tersebut diterima untuk diterbitkan,” kata Rosie Sharpe, juru kampanye Global Witness.
"Saya pikir Anda dapat menyimpulkan dari situ bahwa sebagian besar (iklan) ujaran kebencian kemungkinan besar akan lolos.”
Ahli menilai iklan semacam itu terus muncul Meskipun telah berjanji untuk melakukan yang lebih baik dan berupaya mencegah genosida dengan serius, Facebook gagal dalam melewati tes yang paling sederhana — memastikan bahwa iklan berbayar di situsnya tidak mengandung ujaran kebencian yang menyerukan pembunuhan muslim Rohingya.
"Pembunuhan Kalar saat ini tidak cukup, kita perlu membunuh lebih banyak!" bunyi salah satu postingan berbayar yang diusulkan dari Global Witness, menggunakan cercaan yang sering digunakan di Myanmar untuk merujuk pada orang India timur atau orang yang beragama Islam.
"Mereka sangat kotor. Wanita Bengali/Rohingya memiliki standar hidup yang sangat rendah dan kebersihan yang buruk. Mereka tidak menarik,” bunyi tulisan yang lain.
Baca Juga: Ratusan Pengungsi Rohingya di Aceh Bakal Dipindah ke Pekanbaru
"Postingan ini mengejutkan ... ini jelas bahwa Facebook tidak mengubah atau melakukan apa yang mereka katakan kepada publik: mengatur diri mereka sendiri dengan benar,” kata Ronan Lee, seorang peneliti di Institute for Media and Creative Industry di Universitas Loughborough, London.
Pendukung kebijakan internet lokal berulang kali melaporkan, ujaran kebencian menyebar di seluruh platform dan sering kali menargetkan minoritas muslim Rohingya di negara mayoritas Buddha tersebut.
"Selama bertahun-tahun, Facebook gagal berinvestasi dalam moderator konten yang berbicara bahasa lokal atau pemeriksa fakta dengan pemahaman tentang situasi politik di Myanmar, atau untuk menutup akun tertentu, atau menghapus halaman yang digunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap Rohingya," kata Tun Khin, Presiden Rohingya Burma Organization UK, sebuah organisasi advokasi Rohingya yang berbasis di London.
Marzuki Darusman, Ketua Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar, kepada wartawan mengatakan, media sosial telah "secara substansial berkontribusi pada tingkat kepahitan, pertikaian, dan konflik di tatanan publik.” "Ujaran kebencian tentu saja merupakan bagian dari itu,” ujar Darusman.
Tanggapan dari Facebook Perusahaan induk Facebook, Meta Platforms Inc. mengatakan, telah berinvestasi dalam meningkatkan kontrol keselamatan dan keamanannya di Myanmar, termasuk melarang akun militer, setelah Tatmadaw, sebutan untuk angkatan bersenjata setempat, merebut kekuasaan dan memenjarakan para pemimpin terpilih dalam kudeta 2021.
"Kami telah membangun tim khusus, melarang Tatmadaw, mengganggu jaringan yang memanipulasi debat publik, dan mengambil tindakan atas kesalahan informasi yang berbahaya untuk membantu menjaga orang tetap aman. Kami juga telah berinvestasi dalam teknologi berbahasa Burma untuk mengurangi prevalensi konten yang melanggar,” Rafael Frankel, tulis Direktur Kebijakan Publik Meta Asia Pasifik dalam sebuah pernyataan email kepada AP pada 17 Maret 2022.
"Pekerjaan ini dipandu oleh umpan balik dari para ahli, organisasi masyarakat sipil, dan laporan independen, termasuk Misi Pencari Fakta PBB tentang temuan Myanmar dan Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia independen yang kami tugaskan dan rilis pada tahun 2018.”
Ditanya tentang Myanmar, CEO Meta Mark Zuckerberg mengatakan, Facebook berencana untuk mempekerjakan "puluhan” pembicara Burma untuk memoderasi konten dan akan bekerja dengan kelompok masyarakat sipil untuk mengidentifikasi tokoh penyebar kebencian dan mengembangkan teknologi baru untuk memerangi ujaran kebencian.
"Sulit untuk melakukannya tanpa orang yang berbicara bahasa lokal dan kami perlu meningkatkan upaya kami di sana secara dramatis, ”kata Zuckerberg. Namun, dalam file internal yang dibocorkan oleh pelapor Frances Haugen tahun lalu, AP menemukan pelanggaran tetap ada. Perusahaan meningkatkan upaya untuk memerangi ujaran kebencian, tetapi tidak pernah sepenuhnya mengembangkan alat dan strategi yang diperlukan untuk melakukannya.
Gugatan gantirugi pengungsi Rohingya Pengungsi Rohingya telah menggugat Facebook lebih dari $150 miliar dan menuduh perusahaan raksasa itu gagal menghentikan ujaran kebencian yang menghasut kekerasan terhadap kelompok etnis muslim oleh penguasa militer dan pendukung mereka di Myanmar.
Kelompok pemuda Rohingya yang berbasis di kamp-kamp pengungsi Bangladesh juga telah mengajukan keluhan terpisah di Irlandia kepada 38 negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, yang menyerukan Facebook untuk menyediakan beberapa program perbaikan di kamp-kamp tersebut.
"Para penyintas genosida Rohingya terus tinggal di kamp-kamp hingga hari ini dan Facebook terus mengecewakan mereka. Facebook perlu berbuat lebih banyak”, pungkas Tun Khin, Presiden Rohingya Burma Organization UK. ha/as (AP)