Ukraina Diserang: Kisah Jurnalis BBC di Garis Depan Pertempuran

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 23 Maret 2022 | 14:09 WIB
Ukraina Diserang: Kisah Jurnalis BBC di Garis Depan Pertempuran
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kota terbesar kedua Ukraina, Kharkiv, digempur Rusia bertubi-tubi selama tiga pekan terakhir. Reporter BBC Quentin Sommerville dan juru kamera Darren Conway melaporkan dari medan perang, tempat pasukan Ukraina terus menghalau serangan lawan.


Kami masuk ke dalam rumah lewat belakang. Di tempat yang dulunya terpasang pintu, kini hanya ada sehelai selimut yang berkibar-kibar ditiup angin. Si pemilik rumah, yang sudah lama pergi entah ke mana, akan bisa melihat pemandangan lahan perkebunan hijau di utara Kharkiv, tapi sebagian besar dari itu juga sudah tidak bisa dikenali lagi.

Di dalam garasi, di sebelah sebuah skateboard yang ditinggalkan pemiliknya, ada sekitar selusin kotak kemasan beberapa senjata anti-tank terbaik di dunia, yang sudah kosong. Mayat seorang tentara Rusia tergeletak di halaman depan.


Rusia menyerang Ukraina:

Baca Juga: Ukraina Tolak Menyerahkan Kota Mariupol yang Terkepung kepada Rusia


Rumah ini menjadi salah satu pangkalan di garis depan, dan kotak-kotak kemasan yang kosong adalah pertanda bahwa para prajurit di sini bertempur mati-matian - perjuangan untuk kemerdekaan Ukraina.

Kami mendapat akses ke pasukan Ukraina, yang setelah tiga pekan pertempuran mati-matian, masih bertahan teguh di pinggiran Kharkiv, mencegah pasukan Rusia menguasai kota terbesar kedua di Ukraina.

"Anda mau pergi lebih jauh?" tanya Yuri, seorang komandan di Batalyon Infanteri Bermotor 22 Ukraina, sambil menunjuk ke arah puing-puing kendaraan lapis baja serta potongan dua tank milik Rusia yang sudah hancur. Batalyon itu dibentuk kembali pada 2014 setelah Rusia menginvasi Krimea dan mendukung kelompok separatis di Donbas.

"Mereka pakai drone, pesawat, helikopter tempur, semuanya," kata Yuri, seiring artileri Rusia berterbangan di atas kepala kami, menghantam jalanan dan blok apartemen terdekat.

Tentara Rusia terus menyerang meski telah dihalau berkali-kali. Merasa frustasi karena tidak bisa masuk, mereka mengebom kota ini, yang pernah menjadi tempat tinggal bagi 1,4 juta orang, siang dan malam.

Baca Juga: Presiden Ukraina: Perundingan Dengan Rusia Berat Dan Penuh Konfrontasi

Tanah seperti diaduk dan lumpur tebal mengisap sepatu bot saya. Menoleh ke belakang, saya melihat rumah yang baru saja kami lewati kini rata dengan tanah. Taman suburban berubah menjadi medan perang dari masa lalu Eropa.

"Tiga hari pertama adalah yang terburuk. Waktu itu hujan, badan kami berlumuran lumpur, kami kelihatan kayak babi," kata Olexander, 44 tahun, yang berdiri di dekat saya.

Di sebelah salah satu kendaraan lapis baja yang hancur ada sebuah kawah besar, lebarnya enam meter. Pada hari pertama invasi, 24 Februari, serangan Rusia menewaskan enam tentara Ukraina tepat di tempat ini. Sejak itu sudah lebih banyak lagi yang mati, namun jumlah resminya tidak diungkap ke publik.

Sebuah sepatu bot tentara berwarna hijau bertengger di pinggir kawah, di depannya ada mayat seorang tentara Rusia. Seekor gagak hitam hinggap di dekatnya, tak acuh dengan deru artileri dan roket Grad yang ditembakkan Rusia.

Semua laki-laki di sini dapat memberi tahu Anda tanggal dan waktu tepatnya mereka datang ke garis depan - implikasinya adalah kalau Anda tidak di sini selama tiga hari pertama, Anda tidak tahu pertempuran yang sebenarnya.

"Lompat ke kawah kalau ada gempuran lagi," kata Uri.

Constantine, 58 tahun, adalah pilot di angkatan udara Ukraina sebelum ia pensiun dan menjadi jurnalis. Sekarang, ia kembali ke garis depan, berjalan dengan pincang dan menggunakan gagang sapu yang patah untuk membantunya. Pecahan peluru Rusia melukai kakinya, tetapi ia tidak mau meninggalkan medan perang.

"Ini garis pertahanan terakhir kota, jika mereka menembus ini, mereka akan masuk ke Kharkiv. Jalan ini membawa Anda dari Rusia ke pusat kota," ujarnya.

Saya mendengar dentuman dan suara 'wuuush'. Sebuah rudal terbang di atas kepala kami. Kami bergegas lari ke kawah. Rudal itu menghantam pinggiran jalan. Sebuah pipa gas hancur terbakar.

Saat kami berlindung, seorang prajurit berbadan tinggi dengan selotip biru di helmnya menyuruh kami tetap telungkup. Roman berusia 34 tahun, meskipun ia bercanda bahwa ia masih 24 tahun ketika perang dimulai tiga minggu lalu.

Ia berkata Rusia tidak mau menghadapi mereka secara langsung sekarang. "Mereka pengecut. Kami akan menyambut mereka dengan baik dan benar." Ia kemudian berhenti bicara dan mengajak saya berswafoto.

Belakangan, kami mengetahui bahwa ia mengangkut mayat rekan-rekannya yang tewas dengan kendaraannya sendiri - yang baru berumur satu bulan - dari medan perang ke kamar mayat kota.

Saat kami berangkat, Constantine menangkap sesuatu di udara - kawat tembaga tipis, yang membentang bermil-mil jauhnya. Itu digunakan untuk memandu rudal Rusia yang terbang di atas kepala kami.

Kami ditunggu Olexander, 44 tahun, dari wilayah Poltava yang dekat dari Kharkiv. Ia sudah bergabung dengan unit tersebut sejak didirikan dan bertempur di Donbas. "Ini jauh lebih buruk," imbuhnya.

"Selama tiga hari pertama, kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami tersesat dan tidak percaya ini terjadi. Tetapi setelah itu kami jadi lebih baik dan bertahan dan tidak akan meninggalkan posisi kami."

Saya bertanya kepadanya kenapa ia ikut bertempur. Ia tertawa dan menjawab, "Untuk Ukraina yang bebas, untuk keluarga saya, dan untuk kalian juga. Untuk kemerdekaan kita dan untuk perdamaian."

Yuri, sang komandan, mengantar kami kembali ke kumpulan blok apartemen dari era Soviet, yang masih berpenghuni. Rusia berkata mereka menginvasi Ukraina untuk mendemiliterisasi negara tersebut, tetapi di sini kita melihat apa artinya itu bagi warga sipil. Sebuah blok apartemen 20 lantai masih berasap habis diserang Rusia - itu terjadi dua hari yang lalu, menurut Yuri.

Angka resmi kematian warga sipil di Kharkiv mencapai 234 orang, termasuk 14 anak-anak, pada 16 Maret. Beberapa hari terakhir ini pertempuran begitu intens - tembakan roket Grad Rusia mengingatkan kami dalam sekejap.

Roket menghujani lingkungan apartemen, mendarat hanya beberapa meter dari gedung. Para prajurit di sekitar kami telah berlindung dan tidak terluka.

Di kompleks perumahan yang sama tinggal suami-istri Svitlana dan Sasha. Svitlana berusia 72 tahun, dan menyambut kami di rumahnya. Ia berkata sudah berminggu-minggu mereka tidak bicara dengan siapa pun. "Kami senang Anda datang," katanya.

Rumah mereka sudah dihantam roket, jendela belakang sudah tidak ada lagi, dan mereka tidur di ruang tengah di atas sofa. Mereka hanya bisa tidur dua jam setiap malam, karena penggempuran tidak pernah berhenti. "Ketika berhenti, rasanya seperti ketika salju mencair di musim semi," katanya.

Saya tanya apakah ia punya pesan untuk Vladimir Putin. "Tidak," jawabnya tegas.

"Tidak, buat saya orang ini tampaknya sudah tidak waras dan tidak berpikir jernih. Karena manusia yang waras tidak akan bisa melakukan hal seperti ini - mengebom orang tua, anak-anak, taman kanak-kanak, sekolah, rumah sakit. Ia tidak akan mengerti. apa yang saya katakan."

Tapi kemudian, ketika saya bertanya tentang para prajurit yang mempertahankan kota tidak jauh dari rumahnya, ia menangis.

Ia berkata, "Ya, saya sangat berterima kasih kepada mereka karena sudah melindungi tanah air mereka. Bertahanlah, kawan-kawan. Kami akan selalu mendukung Anda. Mereka sangat berani, baik laki-laki maupun perempuan."

Masih ada ratusan ribu orang tinggal di Kharkiv, walaupun kota itu digempur terus-menerus. Kalau Rusia dan Ukraina adalah saudara, seperti yang dikatakan Kremlin, maka ini adalah pembantaian saudara sendiri.

Saat kami meninggalkan kompleks apartemen, langit sudah mulai gelap. Kemarahan Rusia pada kota ini masih jelas terlihat dan terdengar. Menjelang malam, seluruh Kharkiv diselimuti awan asap, deru senjata terus berlanjut, tetapi para penjaga Kharkiv masih mengusir musuh dari gerbang kota.

Ikuti Quentin di Twitter, @sommervilletv

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI