Said Didu blak-blakan mengungkap analisisnya mengenai alasan mafia minyak goreng sulit untuk ditangkap. Dalam akun Twitternya @msaid_didu, ia menerangkan pendapatnya terkait dengan hal tersebut.
Dalam cuitan Twitter, pria asal Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan ini mengatakan ia hendak menepati janji kepada warganet. Janji ini adalah membuat utas yang menganalisis mengapa mafia minyak goreng, termasuk mafia CPO sulit ditangkap oleh para penguasa, meski sudah jelas rakyat dirugikan.
Menurut Said Didu, mafia adalah sekelompok orang yang bergerak secara rahasia untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan definisi tersebut, maka jelas terlihat bahwa mereka adalah penjahat yang sudah melanggar hukum.
Lalu, jika memang demikian, mengapa kejahatan dari mafia migor ini sulit untuk bisa diungkap? Said Didu kemudian menjelaskan hasil analisanya terkait dengan hal tersebut. Ia mulai menjelaskan analisanya, dibuka dengan beberapa pertanyaan yang akan ia kupas pada utas selanjutnya.
Baca Juga: PKS Minta Pemprov DKI Terobos Aturan Kemendag Larangan Operasi Pasar untuk Minyak Goreng
"Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada mafia migor sebagaimana dimaksud pada pengertian butir 2? Ataukah yang ada adalah pengusaha yang memanfaatkan celah aturan yang ada untuk mendapatkan keuntungan, tapi sebenarnya mereka tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum,” cuitnya seperti dikutip Suara.com, Selasa (22/03/2022).
Said berpendapat bahwa tingkat kesulitan dalam mengungkap adanya mafia migor diurutkan berdasarkan beberapa hal, diantaranya:
- Mafia ada - sudah menguasai penguasa
- Mafia ada - sudah bagian oligarki
- Mafia ada - dijadikan sapi perah penguasa
- Mafia tidak ada - hanya oligopoli
- Mafia tidak ada - hanya memanfaatkan celah aturan cari untung
Dalam upaya untuk bisa melihat di posisi mana mafia migor, Said berpendapat perlu dilakukan analisis kebijakan pemerintah terkait adanya perdagangan CPO dan minyak goreng. Hal ini dilakukan agar mengetahui apakah mafia migor tersebut memang ada, dan bagaimana cara mafia migor tersebut melakukan kejahatan.
Penyebab Kenaikan Harga Minyak Goreng
Menurutnya, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi disebabkan oleh kenaikan harga CPO. Kenaikan harga CPO sendiri disebabkan karena kenaikan harga minyak bumi dan gaga; panen penghasil kedelai. Harga CPO saat ini selalu berkaitan dengan harga minyak bumi, karena di dunia tidak sedikit CPO digunakan sebagai bahan bakar.
Baca Juga: Minyak Goreng di Cipanas Cianjur Masih Langka
Masih berkaitan dengan naiknya harga minyak goreng tersebut, Said menambahkan faktor pendorong naiknya harga migor dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah karena standar harga CPO dunia adalah Dollar AS. Harga normal CPO sekitar $750/ton atau setara dengan Rp 9.000 per kilogram.
Harga saat ini sekitar $1.200 ton atau setara dengan Rp 15.000 per kilogram. Said yang sempat menjadi Sekretaris Kementerian BUMN tersebut pun menjelaskan bagaimana cara untuk memperkirakan harga minyak goreng curah di pasar.
Cara sederhana yang diberikan oleh Said yaitu dengan cara menghitung harga CPO per kilogram ditambahkan Rp 4.000 untuk harga per liter. Jika harga CPO Rp 15.000/kg, maka minyak goreng curah sekitar Rp 19.000 per liter. Untuk harga migor kemasan sekitar Rp 20.000 - 21.000 per liternya.
Sejak tahun 2015, pemerintah telah mengatur perdagangan CPO, minyak goreng, dan biodiesel dengan memberlakukan pungutan ekspor dan memberikan subsidi biodiesel. Tetapi sayangnya memang belum ada program memberikan subsidi pada minyak goreng.
Aturan Jual-Beli Minyak Goreng
Selanjutnya, diterangkan oleh Said, besaran pungutan ekspor CPO, migor, dan biodiesel yang terakhir pada tahun 2022 adalah sebagai berikut:
- CPO : harga $750 per ton pungutan $55. Pada setiap kenaikan $50 pungutan nai $20. Jika harga $1.200 maka pungutan $195
- Minyak goreng : harga $750 per ton, pungutan $20
- Pungutan ekspor biodiesel : harga $750 per ton, pungutan $25
- Pungutan tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BLU BPDPKS) dan sudah terkumpul Rp 139 triliun. Dana tersebut sudah digunakan untuk subsidi biodiesel sebesar Rp 110 triliun.
Said berpendapat bahwa kelangkaan minyak goreng terjadi setelah pemerintah menetapkan kebijakan kewajiban produsen yang harus menjual CPO dengan harga Rp 9.300/kg dan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan Rp 14.000/liter.
Tetapi, setelah kebijakan tersebut dicabut, minyak goreng kembali melimpah dan mengalami kenaikan harga, apakah hal tersebut merupakan ulah mafia?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Said menerangkan terkait dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Kewajiban untuk menjual CPO di dalam negeri dan kebijakan HET menyebabkan terjadinya disparitas harga yang sangat besar antara pasar domestik untuk rakyat dan UMKM dengan ekspor dan pasar domestik industri.
Pada saat itu, perbedaan harga CPO antara CPO-DMO dengan CPO non DMO adalah sekitar Rp 6.000/kg atau sekitar 70%. Perbedaan minyak goreng pun sekitar Rp 6.000/liter atau sekitar 42%.
Bagaimana tidak tergoda untuk mengambil keuntungan dengan perbedaan harga yang sebesar itu. Kemudian pertanyaan selanjutnya, siapa yang memainkan peran dalam adanya kondisi tersebut?
Said memberikan pendapat bahwa ada beberapa orang yang berpotensi memainkan perannya, mulai dari produsen CPO, minyak goreng, distributor, retailer sampai pengecer. Lalu, apakah mereka bisa disebut telah melanggar hukum? Said berpendapat, bisa iya, tetapi bisa juga tidak dan sulit untuk dibuktikan.
Di waktu yang bersamaan, pemerintah pada saat itu menetapkan DMO CPO sebesar 20% atau sekitar 9 juta ton, sudah jauh melebihi kebutuhan minyak goreng sekitar 6 juta ton. Produksi minyak goreng per tahun sekitar 20 juta ton sementara konsumsi hanya sekitar 5,7 juta ton per tahunnya.
Lalu yang jadi pertanyaan, bahan baku dan produksi memiliki angka yang lebih dari konsumsi, tapi mengapa minyak goreng justru mengalami kelangkaan?
Pemicu Minyak Goreng Langka
Kemudian, Said memberikan analisisnya mengenai hal tersebut. Menurutnya, kelangkaan minyak goreng bukan karena tidak ada barang, tapi lebih baik menunda produksi, distribusi, dan penjualan CPO serta minyak goreng untuk kebutuhan DMO dan HET demi mendapatkan keuntungan antara 40-70 %. Lalu, apakah hal tersebut bisa disebut melanggar aturan?
Said menjelaskan bahwa menunda atau tidak memprioritaskan penjualan CPO ke pabrik minyak goreng yang harganya lebih murah, yaitu Rp 6.000 per kilogram, merupakan sebuah “strategi bisnis” yang belum tentu bisa dibuktikan melanggar hukum. Mengutamakan pengolahan CPO non DMO di pabrik menurut Said juga merupakan sebuah “strategi bisnis”.
Said menambahkan bahwa distributor tidak mengutamakan mengangkut minyak goreng HET, itu juga merupakan “strategi bisnis”, membatasi jumlah minyak goreng HET di etalase pengecer juga merupakan “strategi bisnis”.
Oleh karenanya, sangat sulit dibuktikan, sebuah “strategi bisnis” yang mereka (pabrik minyak goreng, produsen CPO, distributor dan pengecer) lakukan melanggar hukum. Pasalnya, kebijakan DMO, CPO, dan HET minyak goreng memang bagus didiskusikan secara materi, namun sulit diterapkan di lapangan.
Berdasarkan uraiannya tersebut, Said menyimpulkan bahwa isu kelangkaan minyak goreng yang terjadi disebabkan karena ada pengusaha yang mengutamakan mencari untung, dan mengabaikan kepentingan rakyat dengan memanfaatkan kelemahan pemerintah dalam berbagai aspek, termasuk aturan dan pengawasan.
Solusi Said Didu Atasi Masalah Minyak Goreng
Said juga memberikan beberapa solusi dalam cuitannya tersebut, antara lain :
- Buat kebijakan yang tidak menyebabkan disparitas harga yang besar
- Segera siapkan minyak goreng subsidi dengan mengalihkan subsidi solar ke subsidi minyak goren
- Tugaskan Bulog dan RNI untuk kelola minyak goreng subsidi
- Produksi minyak goreng subsidi oleh pabrik kecil atau menengah
Terlepas dari apakah memang ada mafia migor atau tidak, jelas bahwa kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng memerlukan kebijakan:
- Menghilangkan oligopoli
- Meningkatkan peran BUMN
- Berhati-hati menggunakan sumber pangan untuk energi
- Menghindari terjadinya oligarki panga
KESIMPULAN ANALISIS SAID DIDU
- Belum tentu ada mafia migor tapi faktanya ada praktek “mafia” yang memanfaatkan kelemahan aturan
- Praktek “mafia”, pokok rakyat harus dihentikan
- Pemerintah harus menjaga ketersediaan dan keterjangkauan terhadap kebutuhan pokok.
Kontributor : Syifa Khoerunnisa