Presiden Baru Korsel Yoon Suk-yeol Ingin Pidahkan Ibu Kota Seoul ke Sejong

Selasa, 22 Maret 2022 | 18:05 WIB
Presiden Baru Korsel Yoon Suk-yeol Ingin Pidahkan Ibu Kota Seoul ke Sejong
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Telah ada rencana lama untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Seoul ke kota yang direncanakan, Sejong. Namun, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan pemerintahan yang akan datang untuk memindahkan ibu kota.

Presiden terpilih Korea Selatan Yoon Suk-yeol selama kampanye pemilu berjanji untuk terus maju dengan rencana pemindahan ibu kota Korea Selatan dari Seoul ke Sejong.

Ketika Yoon akan mulai menjabat pada bulan Mei mendatang, pemerintahannya diperkirakan akan menindaklanjuti rencana untuk berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur budaya, pendidikan, dan medis yang baru di sana.

Terletak 125 kilometer di selatan kota Seoul, konstruksi di lokasi yang direncanakan menjadi ibu kota Korea Selatan yang baru dimulai pada tahun 2007.

Baca Juga: Siapa Yoon Suk-yeol, Seorang Antifeminis yang Jadi Presiden Baru Korsel?

Sejong diberikan status hukum sebagai Kota Khusus Otonom pada tahun 2012.

Sebagai presiden, Yoon telah berjanji untuk memindahkan Majelis Nasional ke ibu kota baru, mendukung pembangunan zona ekonomi khusus di daerah sekitarnya untuk menarik investasi asing dan menghadirkan teknologi canggih dan lembaga penelitian untuk menarik ilmuwan-ilmuwan top.

Yoon juga mengharapkan peluang bisnis bagi pengusaha dan organisasi media dan kantor kepresidenan kedua untuk beroperasi secara paralel dengan pemerintahan saat ini, sebelum Sejong menjadi secara utuh menjadi pusat administrasi negara masa depan.

Penghormatan untuk Raja Sejong

Nama Sejong diambil dari nama Raja Sejong yang Agung, yang memerintah Dinasti Joseon selama 53 tahun sejak tahun 1397.

Baca Juga: Pergeseran Tren Politik Korea Selatan saat Yoon Suk-yeol Jadi Presiden

Ide pemindahan ibu kota dari Seoul pertama kali diusulkan oleh mantan Presiden Roh Moo-hyun pada tahun 2003.

Roh berusaha untuk membagi kemakmuran dan pengaruh yang telah terkonsentrasi di Seoul dengan bagian lain negara itu, mendorong pembangunan regional dan mengurangi kepadatan penduduk yang kronis di Seoul.

Namun, rencana tersebut mendapat serangkaian hambatan. Suksesor Roh kurang antusias dengan proyek tersebut dan para pebisnis juga menolak gagasan itu.

Bahkan ada tantangan hukum yang sampai ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

Namun demikian, telah terjadi migrasi bertahap lembaga dan badan pemerintah ke kota yang memiliki populasi lebih dari 360 ribu jiwa ini, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kementerian Lingkungan Hidup.

"Diskusi tentang pemindahan pemerintah ke Sejong telah berlangsung selama beberapa waktu dan tampaknya itu ide yang bagus karena negara-negara lain telah melakukan hal serupa di masa lalu," kata Dan Pinkston, profesor hubungan internasional Universitas Troy di Seoul.

Pinkston mengutip pembentukan kota baru Brasilia sebagai ibu kota Brasil dan Canberra di Australia.

"Kekhawatirannya adalah terlalu banyak terkonsentrasi di daerah kecil di sekitar Seoul - pemerintah, birokrasi, bisnis, keuangan, budaya, hiburan - dan itu telah menyebabkan kepadatan berlebih, lalu lintas, polusi, dan tidak menguntungkan sebagian besar penduduk negara," katanya kepada DW.

Masalah keamanan negara

Lebih lanjut, Pinkston mengatakan bahwa masalah keamanan jadi pertimbangan utama lainnya, di mana pinggiran utara Seoul hanya berjarak 30 kilometer dari Zona Demiliterisasi yang memisahkan Korea Selatan dari Utara.

Kekhawatiran telah lama muncul bahwa serangan tiba-tiba di perbatasan akan sangat cepat memungkinkan pasukan Korea Utara yang menyerang untuk mencapai kota. Seoul juga berada dalam jangkauan artileri Korea Utara dan memindahkan ibu kota ke Sejong akan menawarkan perlindungan yang lebih baik di balik serangkaian penghalang alami, termasuk sungai dan pegunungan.

Seoul ibu kota yang ideal?

"Di atas kertas, semuanya masuk akal, tetapi ada banyak tekanan balik di berbagai sektor," tambah Pinkston.

"Birokrat di kementerian pemerintah tidak ingin meninggalkan Seoul karena anak-anak mereka bersekolah di sekolah terbaik di sini dan mereka takut pindah ke Sejong akan merugikan mereka untuk masuk ke universitas dan pekerjaan yang tepat."

"Sejong juga dianggap sebagai gurun budaya, tidak ada museum, teater, restoran, dan sebagainya yang dekat yang dapat mereka nikmati di sini seperti di Seoul," lanjut Pinkston.

"Seoul juga secara harfiah berarti 'ibu kota', jadi ada juga pertentangan pada tingkat historis dan simbolis itu karena kota itu berada di tengah semenanjung dan bisa menjadi ibu kota Korea bersatu di masa depan.

Orang-orang tidak ingin mengubah posisi mereka. membela identitas itu," ungkapnya.

Seorang kepala sebuah LSM yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah yang enggan disebutkan namanya, mengatakan kepada DW, bahwa dia mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah lembaga pemerintah ketika dia diberitahu bahwa seluruh departemennya akan dipindahkan ke Sejong.

"Ada beberapa orang lain yang melakukan hal yang sama seperti saya," katanya.

"Saya dari Seoul, keluarga saya tinggal di dekatnya dan saya punya teman dan jaringan kolega dan kontak di seluruh kota," katanya.

"Ada banyak hal yang harus saya lakukan di sini. Saya suka tinggal di Seoul. Hidup saya tidak hanya tentang pekerjaan saya dan saya memutuskan bahwa pindah kerja tidak dapat diterima. Jadi saya berhenti. Dan saya tidak menyesali keputusan itu. Seoul adalah tempat yang saya inginkan," pungkasnya. Ed: rap/hp

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI