Suara.com - Selain polemik tentang pengeras suara masjid yang sesekali ramai, masalah kebisingan jarang menarik perhatian masyarakat Indonesia. Padahal, kebisingan dapat mengakibatkan stres level tinggi dan bahkan, dalam beberapa kasus, berujung pada tindak pidana. Mengapa kita perlu sadar akan 'hak sonik'?
Pada 11 September 2019, Ricky Mendoza dihukum empat bulan penjara karena melempar bom molotov ke fasilitas milik PT Semen Padang. Tindak pidana itu adalah klimaks dari perselisihan tentang kebisingan yang telah berlangsung selama hampir dua tahun.
Sejak pertengahan 2017, pria berusia 45 tahun itu terganggu oleh suara bising dari conveyor belt pabrik yang terletak sekitar 50 meter dari rumahnya. Kebisingan itu juga membuat ayahnya yang menderita stroke tidak bisa beristirahat.
Ditemui oleh BBC News Indonesia di rumahnya baru-baru ini, Ricky berkata ia menggunakan kekerasan setelah berbagai cara damai yang ditempuhnya gagal.
"Seperti orang bilang, cara berteman sudah dipakai, cara badunsanak sudah dipakai, cara orang terpelajar dengan surat-menyurat sudah dilakukan juga, cara adat juga dipakai tapi tidak ditanggapi juga, maka akhirnya cara preman yang keluar," ujarnya.
Masalah itu mencapai puncaknya pada 15 Februari 2019. Sekitar pukul 01:30 WIB, Ricky dibangunkan oleh bunyi seperti gemuruh dari konveyor. Ia merekam bunyi itu dengan ponselnya kemudian mengirimkannya kepada beberapa petinggi PT Semen Padang. Ia tidak bisa tidur lagi sepanjang sisa malam.
Menjelang subuh, Ricky ditelepon oleh seorang komandan petugas keamanan di PT Semen Padang, yang mengatakan bahwa keluhannya akan ditindaklanjuti. Ricky meminta operasi konveyor dihentikan sementara. Namun suara bising itu masih terdengar sampai pukul 06:30 WIB.
Akhirnya Ricky mengancam bahwa kalau sampai ia kembali mengantarkan anaknya sekolah, bunyi itu masih ada, ia akan membeli bensin.
Baca juga:
Baca Juga: Ribut-ribut Seorang Warga Pekanbaru dengan Pengurus Musala Gegara Suara Toa
- Mengapa Saudi dukung kebijakan pembatasan volume pengeras suara di masjid?
- Pengeras suara propaganda Korea Selatan: Apa yang disampaikan ke Korea Utara dan mengapa kini dimatikan?
- Keluhkan suara azan, perempuan Tanjung Balai dijerat pasal penodaan agama
"Kalau kalian bisa mengirimkan kebisingan ke rumah saya, mengirim abu ke rumah saya, saya juga bisa mengirim apapun yang saya inginkan untuk bisa menghentikan bunyi itu," kata Ricky, mengingat isi pesan yang ia kirimkan kepada petugas keamanan PT Semen Padang.
Dokumen pengadilan mengatakan bahwa pada pukul 09:00 WIB, Ricky melakukan panggilan video kepada si petugas keamanan, mengatakan "Om, lan ndak sabar lai wak baka se lai Om" (Om, sudah tidak sabar lagi saya bakar saja lagi) sambil merakit bom molotov.
Ricky kemudian melempar molotov tersebut ke conveyor belt, menyebabkan kebakaran hebat sehingga operasional PT Semen Padang berhenti sementara. Akibat perbuatannya, pabrik itu disebut mengalami kerugian sebesar lebih dari Rp30 juta. Ricky dihukum penjara empat bulan namun hukuman itu tidak perlu dijalani kecuali ia melakukan tindak pidana selama masa percobaan 10 bulan.
Ayah Ricky, Samsuel Bahri Yahya, mengatakan gangguan kebisingan dari conveyor belt yang mengangkut bahan baku semen dari tambang itu sudah ia rasakan sejak 1983. Dahulu, katanya, konveyor itu tidak ditutup sehingga bunyinya keras sekali.
Baru sekitar 2013 atau 2014 PT Semen Padang memasang tembok pembatas yang meredam bunyinya. "Tapi saya juga tidak bisa tidur karena bunyi dari konveyor ini," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Juru bicara PT Semen Padang, Nur Anita Rahmawati, mengatakan kepada BBC Indonesia bahwa sejak kasus tersebut perusahaannya sudah melakukan berbagai perbaikan termasuk mengganti peralatan yang menyebabkan kebisingan serta mempekerjakan petugas yang berjaga 24 jam untuk melakukan patroli dan menanggapi keluhan masyarakat.
"Kita berupaya maksimal agar operasi kita ini tidak mengganggu masyarakat sekitar," kata Anita.
Pengalaman Ricky hanyalah salah satu kejadian ketika perkara kebisingan berujung pada kekerasan dan pidana. Kasus serupa terjadi baru-baru ini di Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan kasus-kasus lainnya dapat ditemukan di direktori putusan Mahkamah Agung. Umumnya, kekerasan terjadi ketika keluhan kebisingan tidak bisa ditangani secara baik-baik atau melalui jalur formal.
Selain perdebatan tentang pengeras suara masjid dan sesekali keluhan tentang knalpot motor, kebisingan jarang dipersoalkan oleh masyarakat Indonesia. Ada kecenderungan untuk menerima kebisingan sebagai konsekuensi dari hidup bertetangga.
Padahal, banyak studi ilmiah telah mengidentifikasi kebisingan sebagai salah satu penyebab konflik sosial serta ancaman bagi kesehatan fisiologi dan psikologi yang diakibatkan oleh stres.
Dalam studi pada tahun 2004, Wallenius melaporkan bahwa kebisingan permukiman (residential noise) - termasuk kebisingan dari tetangga dan lalu lintas - mengganggu aktivitas sehari-hari yang bersifat restoratif atau membutuhkan konsentrasi seperti tidur, bersantai, membaca, belajar, dan menonton televisi. Hal itu mengakibatkan stres tingkat tinggi, yang dikaitkan dengan berbagai gejala somatik dan kesehatan yang lebih buruk secara umum.
Studi lainnya, berdasarkan survei WHO pada 2002-2003 di Eropa, menunjukkan bahwa ada hubungan antara kekesalan dan stres jangka panjang akibat kebisingan penyakit kardio-pernapasan (bronkitis), arthritis, depresi, dan migraine pada orang dewasa dan anak-anak.
Studi lainnya di Belanda yang dilakukan dari tahun 2008 sampai 2013 menyimpulkan bahwa kebisingan dari tetangga berdampak lebih buruk pada kesehatan daripada kebisingan lingkungan dari jalan.
Pemerintah sudah mengatur tentang kebisingan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1996, KEP-48/MENLH/11/1996. Aturan tersebut mengatur baku tingkat kebisingan untuk berbagai lingkungan kegiatan serta metode pengukuran, perhitungan, dan evaluasinya. Menurut aturan tersebut baku tingkat kebisingan untuk kawasan permukiman adalah 55dBA dan kawasan industri 70dBA.
Peraturan lainnya, yang lebih mengatur tentang emisi suara, antara lain Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 56 Tahun 2019 tentang baku mutu kebisingan kendaraan bermotor dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 62 Tahun 2021 tentang peraturan keselamatan penerbangan sipil yang menetapkan standar kebisingan untuk sertifikasi tipe dan kelaikudaraan pesawat udara.
Namun demikian, ketika seseorang menyampaikan keluhannya lewat jalur formal, ia dapat menghadapi birokrasi yang rumit dan keluhannya tidak selalu ditanggapi dengan baik.
Hal itu dialami sendiri pada awal 2020 oleh guru besar ilmu sains bangunan dan akustika di Universitas Petra Surabaya, Christina Eviutami Mediastika.
Ketika pemerintah gagal bertindak
Pada awal masa pandemi, ketika banyak orang harus bekerja dan belajar dari rumah, suara bising dari bengkel furnitur sementara di dekat rumahnya membuat Evie dan keluarganya sulit berkonsentrasi. Bengkel itu dibuat oleh seorang tetangga Evie untuk mengisi rumah barunya.
Setelah keluhannya kepada RT, RW, Kelurahan, hingga Kecamatan tidak mendapat tanggapan berarti, Evie menyampaikan keluhannya kepada Pemerintah Kota Surabaya melalui kanal pelaporan online, sapawarga.
Sehari kemudian, Satpol-PP Kota Surabaya turun ke lokasi; namun belakangan mereka mengatakan tidak bisa menindak karena bengkel tersebut dibangun di atas lahan pribadi, bukan umum, dan untuk kepentingan pribadi.
Satpol-PP meneruskan keluhan Evie ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya. Akhirnya beberapa staf DLH turun ke lokasi untuk melakukan pengukuran kebisingan. Namun, sebagai pakar akustik, Evie menyadari bahwa metoda pengukuran mereka tidak sesuai prosedur. Misalnya, alat yang dipakai untuk mengukur tidak lengkap.
"Mereka datang itu, [bawa] boson level meter. Saya tanya 'berapa boson level meternya?' Mereka jawab 'dua'. Saya tanya lagi, 'mana tripodnya?'. Mereka jawab 'enggak bawa'. Loh boson level meter itu harus dipasang di tripod karena ketinggian pengukuran itu ada aturannya," Evie menceritakan kepada BBC News Indonesia.
Evie menambahkan bahwa ia meminjamkan tripod yang kebetulan ada di rumahnya, namun ia hanya punya satu.
Selain itu, kata Evie, petugas yang melakukan pengukuran bukan teknisi dari laboratorium, melainkan ASN biasa. Hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6 tahun 2009 tentang laboratorium lingkungan.
Merasa yakin bahwa hasil pengukuran itu tidak akurat, Evie mengirim surat kepada Kepala DLH Surabaya meminta pengukuran ulang, namun tidak ditanggapi. Ia kemudian mengirimkan somasi kepada Wali Kota Surabaya, waktu itu masih dijabat Tri Rismaharini (sekarang menjadi menteri sosial), hasilnya sama.
Evie juga sempat pergi ke Ombudsman Jawa Timur, melaporkan ada maladministrasi dalam pengukuran. Ombudsman menelisik dengan menghubungi DLH Kota Surabaya. Hasilnya sudah bisa ditebak, Ombudsman Jatim menyatakan tidak ditemukan maladministrasi.
Namun Evie belum menyerah. Pada 2021, ia mengajukan permohonan fiktif positif (FP) ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya, menuduh Pemkot gagal menanggapi keluhannya. Permohonan fiktif positif adalah upaya meminta pengadilan untuk memberikan putusan atas permohonan yang dianggap sudah dikabulkan secara hukum akibat tidak adanya keputusan atau tindakan dari badan/pejabat pemerintahan.
Baca juga:
- Pengeras suara masjid di berbagai negara: Praktik yang memerlukan 'saling pengertian'
- Warga desa di Inggris 'tersiksa' akibat suara misterius, dari mana sumbernya?
- Misteri radio hantu dari Rusia, siapa yang menyiarkannya?
Di persidangan, Evie menghadirkan seorang pakar akustik dan getaran dari Prodi Teknik Fisika di Institut Sepuluh November Surabaya (ITS) yang menjelaskan seputar metoda pengukuran kebisingan dan dampak kebisingan bagi penerimanya. Namun, saksi dari DLH bersikeras bahwa mereka "mempunyai standar sendiri" dan menyatakan bahwa hasil pengukuran kebisingan di rumah Evie tidak melewati baku tingkat kebisingan untuk kawasan permukiman.
Dalam salinan putusan yang diperlihatkan Evie kepada BBC News Indonesia, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemkot Surabaya dan DLH sudah menindaklanjuti keluhan Evie dengan melakukan pemeriksaan. Adapun mengenai hasilnya yang tidak sesuai dengan harapan, Majelis Hakim menyarankan Evie untuk mengajukan "gugatan perbuatan melawan hukum atas tindakan administrasi pemerintahan" lewat jalur perdata.
Permohonan fiktif positif Evie pun ditolak.
Evie kecewa, namun ia juga tidak menyalahkan hakim karena ia juga awam soal hukum sebelum ini. Ia memutuskan untuk tidak menggugat Pemkot lewat jalur perdata karena itu akan menghabiskan banyak waktu dan biaya, dan ia belum tentu akan menang. Tetapi, ia belum menyerah.
Ia kembali menyampaikan keluhan, kali ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lewat kanal aduan. Bahkan, ia sempat mampir ke gedung KLHK di Jakarta dan menyampaikan aduannya secara langsung ke pejabat di Direktorat Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPSA LHK).
KLHK menindaklanjuti keluhan Evie dengan menghubungi - siapa coba tebak - DLH Surabaya. "Lalu KLHK nyurati saya, isinya aduan saya dianggap sudah selesai karena sudah ditangani DLH, soal benar/tidak benar ngukurnya dan keputusannya, itu bukan ranah KLHK. Itulah isi surat dan kesimpulan perkara saya," kata Evie.
DLH Surabaya menolak permintaan wawancara dari BBC News Indonesia. Seorang juru bicaranya mengatakan "pengaduan tersebut sudah closing dan selesai ditangani". Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, yang membawahi direktorat pengaduan, meminta BBC News Indonesia mengontak DLH Surabaya.
Menurut Evie, KLHK tidak melihat esensinya bahwa ada penyimpangan dalam cara DLH menanggapi keluhannya. "Kalau mereka [DLH] melakukan hal yang salah, harusnya diperbaiki," kata Evie.
'Hak Sonik'
Pengalaman Evie menunjukkan betapa susahnya meminta pihak berwenang untuk mengatasi masalah kebisingan. Dan ia tidak sendiri.
Dalam penelitiannya yang masih dalam proses review di jurnal ilmiah, namun ia ungkap kepada BBC News Indonesia, Evie menemukan bahwa dari 2010 hingga 2021, hampir 44% kasus hukum terkait kebisingan dari warga kalah di pengadilan. Pengadu yang kalah umumnya dianggap tidak punya kedudukan hukum.
Menurut Evie, pengabaian dari pihak berwenang membuat masyarakat cenderung apatis dengan kebisingan. Penelitiannya menemukan bahwa sejak tahun 2008 hingga 2021 hanya ada 180 keluhan kebisingan yang terdata secara daring di Indonesia. Bandingkan dengan negara tetangga, Singapura, setiap tahun ada 70.000 aduan. Atau Kota London, yang pada 2011 saja mencatat 400.000 aduan.
Evie mengatakan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak menyadari hal yang ia sebut 'hak sonik' - hak untuk menghasilkan bunyi, sekaligus untuk bebas dari bunyi yang tidak diinginkan. Konsep tersebut tidak ditanamkan sejak dini dan masyarakat tidak didorong - baik secara langsung maupun dengan penanganan yang tidak maksimal - oleh pihak berwenang untuk mengajukan keluhan.
"Kita tidak aware. Karena kita tidak aware dan semuanya ribet ternyata, lalu orang itu ketika diatur jadi gagap," ujarnya.
Karena tidak sadar akan 'hak sonik' itu juga, polemik soal pengeras suara masjid sering membelok ke ranah agama. Pada 2018, seorang perempuan di Tanjung Balai yang mengeluh bahwa suara azan di masjid dekat rumahnya terlalu keras dan menyakiti telinganya dijerat pasal penodaan agama.
Bahkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dalam perdebatan terbaru soal ini, mendapat masalah karena dianggap menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Padahal yang diatur bukanlah panggilan ibadah, melainkan tingkat kerasnya.
Evie mengatakan masyarakat perlu lebih sadar akan 'hak sonik' dan pemerintah harus memperbaiki penerapan aturan yang telah dibuatnya di lapangan. Kalau tidak, bukan tak mungkin perkara kebisingan yang berujung tindak pidana seperti kasus Ricky di atas bisa terjadi lagi.
Pelaporan tambahan oleh Halbert Chaniago, wartawan di Padang, Sumatera Barat.