Suara.com - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz menyebut pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar soal klaim 110 juta warga yang mendukung penundaan Pemilu, tak memiliki basis data yang jelas. Karena itu, Kahfi mendorong agar masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu yang digulirkan oleh beberapa elit politik.
"Wacana ini semakin bergulir kemudian Menko Maritim mengatakan bahwa ada 110 juta akun, atau masyarakat, mereka mendukung penundaan pemilu yang kemudian basis datanya pun tidak jelas seperti itu. Nah inilah yang kemudian mendorong kita (rakyat) untuk betul-betul menolak wacana penundaan pemilu itu," ujar Kahfi dalam webinar "Penundaan Pemilu : Tinjauan Aspek Hukum dan Politik," secara virtual, Senin (21/3/2022)
Kahfi juga menilai bahwa wacana penundaan Pemilu terkesan lucu karena digulirkan oleh pimpinan parpol seperti Ketua Umum PKB Muhaimim Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Yakni, parpolnya terlibat dalam pembahasan dan penetapan jadwal Pemilu pada 14 Februari 2024.
Karena itu, Perludem menganggap wacana penundaan pemilu aneh dan sangat tidak relevan.
"Parpolnya ikut juga membahas jadwal pemilu, sehingga ketika jadwal sudah ditetapkan, kenapa kemudian mereka (Parpol pendukung Jokowi) menggulirkan wacana penundaan pemilu ini kan agak aneh dan bahkan sangat tidak relevan," papar Kahfi.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti wacana penundaan Pemilu dengan alasan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Menurutnya, alasan tersebut tidak memiliki basis ilmiah dan indikator-indikator yang jelas.
"Bahwa kemudian apakah pemilu itu berdampak negatif dengan ekonominya, nah ini tidak didukung oleh basis ilmiah yang jelas, karena mereka tidak menjelaskan apa pun soal ini," tutur Kahfi.
Lebih lanjut, Kahfi mengutip pernyataan ekonom Bima Yudhistira dan Faisal Basri yang menyatakan dalih pemulihan ekonomi untuk menunda pemilu sangat tidak relevan.
Sebab menurutnya, para ekonom tersebut menyatakan bahwa faktor naik turunnya pertumbuhan ekonomi, bukan hanya Pemilu, namun bagaimana kebijakan atau regulasi seperti ekspor atau impor yang misalnya berpengaruh dan berdampak signifikan terhadap perekonomian negara secara makro.
"Sehingga ketika landasan atau ketika alasan pemulihan ekonomi ini dijadikan sebagai alasan untuk menunda pemilu, yang di mana itu juga merupakan satu hal yang inkonstitusional, maka alasan tersebut menjadi sangat tidak relevan."
Ia menegaskan bahwa wacana penundaan Pemilu juga jelas bertentangan dengan konstitusi.
"Ada pasal 22 e ayat 1 undang-undang dasar 1945, yang kemudian menjelaskan bahwa pemilu dilaksanakan secara luber (Langsung, Umum, Bersih), Jujur, Adil, setiap lima tahun sekali."