Suara.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebut isu penundaan Pemilu 2024 lebih pantas disebut sebuah upaya penggagalan Pemilu.
Pasalnya kata dia, wacana penundaan Pemilu 2024 yang muncul sebelum agenda dan tahapan belum terbentuk.
"Usulan Penudaan Pemilu lebih tepat disebut Penggagalan pemilu. Kalau penundaan itu kalau tahapan sudah ditetapkan. Hari ini kita tahapan Pemilunya belum ada, tapi narasi untuk meminta penundaan pemilu sudah ada jadi lebih tepat disebut penggagalan. Karena agenda belum definitif berupa program tahapan dan jadwal," ujar Titi dalam diskusi publik bertajuk "Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data soal Penundaan Pemilu' yang diadakan Perkumpulan Survei Opini Politik Indonesia (Persepi), di kawasan Senayan, Kamis (17/3/2022)
Hal tersebut menyusul wacana penundaan Pemilu kembali muncul usai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim bahwa diambil dari big data pemerintah, sebanyak 110 juta warga memiliki aspirasi Pemilu 2024 ditunda. 110 juta yang diklaim Luhut merupakan pengguna media sosial.
Baca Juga: Perludem Tegaskan Wacana Presiden Tiga Periode dan Penundaan Pemilu 2024 Harus Ditolak
Titi menyebut bahwa narasi atau siasat penundaan pemilu, merupakan bentuk pelemahan terhadap demokrasi.
Karenanya kata dia, wacana penundaan Pemilu disampaikan oleh pihak yang memiliki kewenangan dan memiliki massa.
"Nah narasi atau siasat penundaan pemilu adalah serangan terbuka, untuk pelemahan Demokrasi. Karena disampaikan pihak-pihak yang punya otoritas, elit politik dan punya kekuatan massa," papar dia
Ia menjelaskan bahwa narasi tersebut sama saja membenturkan kedalulatan rakyat dengan ekonomi.
Hak rakyat kata Titi, dianggap tidak sepadan untuk difasilitasi oleh anggaran negara dalam situasi pandemi (kontradiktif dengan argument Pilkada 2020).
Baca Juga: PKS Singgung Luhut Gegara Tanya Kenapa Buru-buru Pemilu, Gak Paham Aturan?
Selain itu, Titi menuturkan bahwa narasi yang mendukung penundaan Pemilu, karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi.
"Pemilu dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik (kontradiktif dengan argument Pilkada 2020). Pemilu tidak kompatibel dengan kemajuan ekonomi dan stabilitas politik (kontradiktif dengan Pemilu 1999 yang dipercepat sebagal upaya menjaga stabilitas politik). Pemilu membenani negara," paparnya
Lanjut Titi, bahwa narasi yang disampaikan juga mengerdilkan suara rakyat oleh suara netizen.
"Suara rakyat dikerdilkan oleh "suara netizen" yang tidak transparan dan akuntabel," kata dia.
Titi melanjutkan, bahwa teknologi digital juga digunakan elit politik untuk membenarkan opini pejabat publik dan bukanlah mendorong partisipasi publik yang lebih bermakna.
"Teknologi digital digunakan untuk membenarkan opini pejabat publik, namun kemajuan teknologi tidak digunakan dalam mendorong partisipasi yang lebih bermakna dalam pembuatan kebijakan (UU KPK, UU Cipta Kerja, UÚ Minerba, UU MK, dan lain-lain," katanya.