Suara.com - Chong Bunty, seorang pengusaha Tionghoa masuk Islam di malam Lailatul Qadar atau malam turunnya Al Quran di Bulan Ramadhan. Bahkan kini Chong Bunty jadi sosok di garda depan dalm komunitas muslim Tionghoa di Indonesia. Bagaimana kisahnya? Baca artikel ini hingga habis.
Chong Bunty berganti nama menjadi Deni Sanusi. Dia adalah Plt Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau PITI.
Kisah mualaf Deni Sanusi berawal ketika dirinya saat remaja merasa gelisah dengan agama yang dianut, yakni Budha.
“Secara singkat kalau saya bicara bahwa kenapa saya ingin masuk Islam, dulu awalnya sama seperti kebanyakan keluarga Tionghoa lain, itu (kepercayaan) leluhur. Terus karena lingkungan SMA saya di budaya, di Matraman Jakarta nah itukan Katolik, saya akhirnya belajar Katolik dan di baptis,” ujarnya.
Baca Juga: Namanya Disebut Soal Hapus Ayat Al Quran, Menag Yaqut Mengaku Tak Kenal Pendeta Saifuddin Ibrahim
“Waktu itu nama saya Yohanes, jadi lucu juga sih saya masih muda kok udah berpikir ke arah agama, biasanya anak muda beda, itu saya flash back ke belakang saya ingat saya selalu penasaran sama kepercayaan,” tuturnya lagi.
“Saya sama istri tadinya ada bisnis travel umroh dan haji, dan kebetulan saat ini masalah umroh dan haji off dulu karena Covid jadi kita lebih banyak kegiatan sosial dan keagamaan saat ini,” katanya mengawali percakapan dikutip dari channel YouTube Hidayatullah TV pada Kamis, 17 Maret 2022, dikutip dari Hops (jaringan Suara.com).
“Jadi hidayah itukan ketentuan Allah ya, kapan pun, dimana pun, dan siapa pun kalau sudah hidayah tuh akan mendapatkan pada seseorang itu pasti akan dapat,” sambungnya.
Kisah Deni saat beragama Katolik, masih mengalami pergolakan batin. Dia penasaran ingin mencari kebenaran tentang agama, ia akhirnya bertanya pada sejumlah orang yang dikenal.
Akhirnya dia bertemu seorang ustadz di kampung.
Baca Juga: Ramadhan Sudah di Depan Mata, Perawatan Kulit Ini Jangan Sampai Terlewat
“Terus saya utarakan kegelisahan saya. singkat cerita saya bilang saya seorang Katolik, tapi kok malas ke gereja. Terus dia bilang, gini aja deh, berdoa. Saya bilang, saya setiap hari berdoa nggak kurang-kurang,” kata Deni.
“Dia bilang gini, sebut ya Tuhan, jangan ya Allah, kalau Allah kan agama kamu (Kristen), dan juga jangan ya Allah, ya Allah kan agama saya (Islam). Tuhan aja deh yang netral. Nah akhirnya kan saya tertarik,” katanya mengenang percakapan kala itu.
“Jadi sebelum tidur saya doa, saya bilang, ya Tuhan tunjukanlah saya agama mana yang dibenarkan di dunia dan akhirat, dan agama mana yang dapat menyelamtakan saya di dunia dan akhirat. Ya karena saya semangat, saya lakuin,” tuturnya lagi.
Deni mendapatkan 3 patunjuk untuk masuk Islam. Petunjuk pertama saat dia mendengar adzan magrib.
"Pas saya dengar adzan saya kaget setengah mati. Saya sampai kelengerlah, kaya pingsan nggak inget sementi dua menit, kaget, gemeter. Padahal saban hari saya dengar adzan biasa aja,” tuturnya.
Petunjuk kedua saat dia dengar musik rebana. Kemudian dia dipangil ustadz kampung yang mengobrol dengannya sebelumnya. Deni diminta tidak tidur malam itu.
"Dia bilang, Den kalau bisa ini malam jangan tidur, kalau saya jelasin kamu nggak akan ngerti. Tapi menurut Islam di bulan Ramadhan ada satu malam istimewa, mungkin ini malamnya,” ujarnya.
Akhirnya Deni pulang ke rumah orangtuanya dan berdiam menghadap kiblat. Saat itu Deni didatangi satu sosok yang menariknya ke tempat aliran air atau kran. Di sana Deni wudhu.
"Kemudian saya sholat dua rakaat. Saya cuma ikutin gerakan aja, saya belum bisa baca doa.”
Deni bingung dengan apa yang dia hadapi dengan si ustadz. Lalu bertanya apa yang dia alami.
“Terus dia bilang, gini aja deh, wudhu itu kan simbol Islam, solat itu juga simbol Islam. Cuma saya Islam, saya nggak mungkin ajak kamu, karena Islam itu bukan agama ajakan, nah kamu pikir aja sendiri,” kata Deni menirukan omongan sang ustad.
Akhirnya Deni mantap peluk Islam saat Idul Fitri.