Suara.com - Rusia tengah gencar mencari sekutu di tengah perang di Ukraina yang semakin intens dan sanksi ekonomi internasional yang kian menggigit.
China yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Moskow, tampak berusaha menjaga jarak diplomatik dari konflik itu, salah satunya memilih abstain dalam pemungutan suara di PBB yang mengutuk invasi Rusia.
Apabila China memilih langkah itu, lalu seberapa jauh negara ini bisa membantu Rusia dengan memperluas kerja sama militer dan ekonomi mereka?
Daya tarik drone China
Pejabat Amerika Serikat, melalui laporan di sejumlah media, menyatakan bahwa Moskow telah meminta peralatan militer China untuk mendukung invasinya ke Ukraina.
Baca Juga: AS Ingatkan China Bila Terus Dukung Rusia: Kami Tak Akan Tinggal Diam
China membantah pernyataan itu dan menyebut laporan itu sebagai "disinformasi".
Namun sebagian besar jual-beli senjata dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan sebaliknya.
Baca juga:
- Kena hantam rangkaian sanksi, dapatkah Rusia mengandalkan China?
- Mengapa krisis Ukraina menjadi tantangan besar bagi China
- Ukraina diserang Rusia: China tolak sanksi sementara Turki lakukan mediasi
China sangat bergantung pada perangkat keras militer Rusia untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya. Hal itu tidak terhindarkan akibat embargo senjata Amerika Serikat dan Eropa setelah terjadi tragedi berdarah Tiananmen pada 1989.
Menurut Institut Peneliti Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), sekitar 80% dari total impor senjata China dalam kurun 2017-2021 berasal dari Rusia.
Baca Juga: Rusia Disebut Minta Bantuan Cina untuk Invasi, AS Ingatkan Beijing
Pembelian China setara dengan 21% dari total ekspor senjata Rusia, yang menempatkan China dalam urutan kedua sebagai pelanggan global terbesar Rusia.
Tetapi China secara bertahap telah memperluas kapasitas produksi militernya sendiri. China kini menjadi eksportir senjata terbesar keempat di dunia.
"Senjata China semakin canggih sekarang. Drone-nya, misalnya, adalah salah satu yang akan sangat diminati Rusia," kata Siemon Wezeman dari SIPRI.
Namun sejauh ini, Wezeman mengatakan "belum melihat bukti" bahwa Rusia telah membeli drone China.
China juga mengimpor senjata dari Ukraina, yang setara dengan hampir 40% ekspor senjata Ukraina pada 2017-2021 menurut data SIPRI.
China merupakan mitra dagang penting bagi Rusia
Perdagangan antara China dan Rusia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
China berkontribusi atas sekitar 18% dari keseluruhan perdagangan Rusia pada 2021, yang setara dengan US$147 miliar (Rp2.104 triliun).
Selama kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Beijing pada Februari lalu dalam rangka Olimpiade Musim Dingin, kedua negara menyatakan akan meningkatkan volume perdagangan mereka menjadi US $250 miliar (Rp3.758 triliun) pada 2024.
China merupakan importir utama biji-bijian seperti gandum dan barli dari Rusia, yang merupakan salah satu produsen terbesar di dunia.
Belakangan ini, China telah membatasi impor gandum dan barli dari Rusia karena persoalan penyakit. Namun pembatasan itu dicabut tepat pada hari serangan Rusia di Ukraina dimulai.
Namun sebagai sebuah blok, Uni Eropa tetap merupakan mitra dagang terbesar Rusia secara keseluruhan. Pada 2021, nilai perdagangan Rusia-Uni Eropa hampir dua kali lipat dibandingkan perdagangan China-Rusia. Situasi itu bisa mulai berubah saat ini.
"Berkurangnya perdagangan Uni Eropa-Rusia tidak dapat dihindari karena sanksi," kata Ekonom perdagangan, Rebecca Harding.
"Krisis saat ini mempertajam fokus di Uni Eropa mengenai pentingnya diversifikasi pasokan."
Bisakah China memasok lebih banyak energi dari Rusia?
China merupakan salah satu pasar terbesar untuk minyak, gas, dan batu bara dari Rusia.
Kedua negara itu baru menyepakati perdagangan batubara Rusia senilai lebih dari US$20 miliar (Rp286,3 triliun), satu minggu sebelum invasi Ukraina.
Putin baru-baru ini juga meluncurkan kesepakatan minyak dan gas baru antara Rusia dan China senilai US$117,5 miliar (Rp1.682 triliun)
Meski demikian, pasar energi terbesar Rusia sejauh ini adalah Uni Eropa. Rusia memasok sekitar 40% gas dan 26% minyak untuk Uni Eropa.
"Ekspor minyak dan gas Rusia [ke China] telah meningkat lebih dari 9% per tahun selama lima tahun terakhir," kata Harding.
"Ini adalah pertumbuhan yang cepat, tapi China hanya setengah dari pasar Uni Eropa untuk minyak Rusia."
Sanksi keuangan merugikan perdagangan Rusia-China
China menyatakan akan "terus menjalankan kerja sama perdagangan normal" dengan Rusia.
Tetapi beberapa bank Rusia telah dilarang dalam sistem pembayaran internasional Swift.
Kondisi itu memaksa perusahaan-perusahaan China, seperti juga di negara lain, mengurangi pembelian dari Rusia karena kesulitan mengatur pembiayaan.
Baik China maupun Rusia telah berupaya menyediakan metode pembayaran alternatif dalam beberapa tahun terakhir.
Rusia memiliki Sistem Transfer Pesan Keuangan (STFM), sedangkan China memiliki Sistem Pembayaran Antar Bank Lintas Batas (CIPS). Keduanya beroperasi menggunakan mata uang mereka sendiri.
Namun Swift terus mendominasi transaksi keuangan di jaringan perdagangan global. Hanya sekitar 17% perdagangan antara Rusia dan China yang menggunakan mata uang Yuan.
Angka itu meningkat dari hanya 3,1% pada 2014 menurut laporan media yang mengutip statistik resmi Rusia.
Perdagangan energi antara kedua negara juga masih banyak dilakukan menggunakan dolar AS.
Baca juga:
- Imbas konflik Rusia-Ukraina bagi Indonesia - Harga mi instan hingga bunga kredit bisa naik
- Bagaimana pertempuran di Ukraina bisa sebabkan harga roti naik
- 'Perang ekonomi' terhadap Rusia: 'Tiada dollar, saya tidak tahu harus berbuat apa!'
Jerman, yang merupakan tujuan ekspor utama Rusia untuk gas alam, belum lama ini mengumumkan bahwa mereka akan menangguhkan pipa gas Nord Stream 2 yang baru beroperasi sebagai reaksi atas invasi ke Ukraina.
Sebuah analisis menyebutkan bahwa pasokan gas alam melalui pipa baru yang disepakati antara Rusia dan China (Power of Siberia 2) hanya memiliki seperlima dari kapasitas pipa Nord Stream 2.
Selain itu, masih belum jelas kapan pipa gas baru dari Siberika itu akan mulai beroperasi.
Dalam jangka panjang, China mungkin ingin meningkatkan impor gas Rusia untuk mencoba mengurangi ketergantungannya pada batubara demi memenuhi target pengurangan gas rumah kaca.