Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti pasal yang dijeratkan kepada empat anggota polisi Polsek Lubuklinggau Utara, Kabupaten Lubuklinggau, Sumatra Selatan, tersangka kasus penyiksaan yang menewaskan seorang pria bernama Hermanto.
Menurut anggota Divisi Hukum KontraS, Abimanyu Septiadji, dari informasi yang mereka peroleh, keempat tersangka hanya dijerat dengan Pasal 170 dan/atau 351 Ayat (3) KUHP, yang dinilai tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
“Kami menilai pemberian pasal tersebut dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun 6 bulan serta 7 tahun merupakan hukuman yang masih tergolong ringan,” kata Abimanyu saat konferensi pers secara daring, Kamis (17/3/2022).
Seharusnya, keempat tersangka AR, AL, RD, dan BD dijerat dengan Pasal 338 KUHP, yang berbunyi, ‘Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.’
“Hal tersebut penting untuk dipertimbangkan dan dianalisa lebih lanjut sebab penjatuhan hukuman maksimal perlu dilakukan mengingat para tersangka merupakan bagian dari anggota aparat keamanan. Penghukuman maksimal juga bertujuan agar para pelaku memperoleh efek jera sehingga hal-hal serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari,” ujar Abimanyu.
Di samping itu, KontraS juga mendesak pengusutan kasus ini harus dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel. Hal itu penting untuk dilakukan secara terbuka, guna memitigasi kecenderungan aparat yang berupaya melindungi aktor pelaku kejahatan.
“Pengusutan kasus ini juga harus dilakukan dengan berbasis pada akuntabilitas publik. Sampai saat ini saja, keluarga korban belum juga mendapatkan informasi/dokumen mengenai perkembangan kasus kematian Alm.Hermanto. Kepolisian pun belum mengumumkan nama-nama anggota Polsek Lubuklinggau Utara yang telah ditetapkan sebagai tersangka,” papar Abimanyu.
Seperti diketahui, Hermanto diduga menjadi korban penyiksaaan hingga tewas oleh empat anggota kepolisian dari Polsek Lubuklinggau Utara. Dia diduga tewas di kantor polisi usai ditangkap di rumahnya pada 12 Febuari 2022 lalu.
Berdasarkan fakta yang dihimpun KontraS, korban ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan sekitar pukul 11.00 WIB.
“Selain itu, keluarga pun tidak diberikan informasi mengenai alasan penangkapan,” kata Abimanyu.
Setelah 90 menit melakukan penangkapan, anggota kepolisian mendatangi rumah korban untuk melakukan penggeledahan.
“Sama halnya dengan penangkapan, kedua upaya paksa itu tidak dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan dan penyitaan,” ungkap Abimanyu.
“Kami menilai telah terjadi kesewenang-wenangan aparat dan pelanggaran prosedur dalam penangkapan, penggeledahan serta penyitaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18, 33, 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” lanjutnya.
Setelah 11 jam ditangkap, keluarga mendapat kabar bahwa korban telah berada di Rumah Sakit Umum Daerah Siti Aisyah, dalam kondisi tak bernyawa. Ditemukan pula sejumlah luka lebam dan memar di tubuh korban seperti lengan sebelah kanan, hidung, bibir atas dan bawah pecah, leher patah, tangan kanan patah, dan jari kelingking patah.
“Temuan tersebut mempertegas bahwa aparat melakukan tindakan berupa penyiksaan yang begitu brutal kepada Almarhum Hermanto,” kata Abimanyu.
Dia menyebut dugaan penyiksaan itu mencederai semangat Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang HAM, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi.
Dalam kasus penyiksaan ini anggota kepolisian dari Polsek Lubuklinggau Utara disebut KontraS, telah menggunakan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force).
“Hal tersebut dibuktikan dengan temuan korban yang telah dinyatakan meninggal dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Selain itu, bukti tindak pidana yang disangkakan pada korban pun tidak jelas sehingga menandakan adanya rekayasa kasus oleh Kepolisian,” tegas Abimanyu.
Dari temuaan KontraS, saat penangkapan tidak ada alat bukti yang sah untuk mengarahkan korban sebagai pelaku kejahatan. Bahkan berdasarkan keterangan keluarga pun barang bukti yang disita kepolisian berupa tabung elpiji 3 kg, diperoleh bukan dengan tindak pidana.
“Peristiwa ini sekaligus menunjukkan bahwa kepolisian tidak mempertimbangkan prinsip legalitas, necesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif dan masuk akal (reasonable) dalam menggunakan kekuatan sebagaimana mandat Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009. Pada saat korban berada di RSUD pun Kepolisian sempat menyatakan bahwa korban meninggal karena takdir dan keluarga dihalang-halangi untuk melihat kondisi jenazah,” jelas Abimanyu.