Kemasan Plastik Sekali Pakai Jadi Ancaman Implementasi Ekonomi Hijau

Rabu, 16 Maret 2022 | 18:13 WIB
Kemasan Plastik Sekali Pakai Jadi Ancaman Implementasi Ekonomi Hijau
Ilustrasi limbah sampah plastik [Foto: Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peta jalan transformasi ekonomi hijau yang menitikberatkan pada pengurangan sampah plastik telah menjadi komitmen Pemerintah Indonesia. Pemerintah menargetkan pengurangan sampah plastik hingga 70 persen di tahun 2025.

Penggunaan air minum kemasan sekali pakai justru menjadi ancaman terhadap komitmen tersebut karena bertentangan dengan hierarki utama penanganan sampah, yakni mengurangi sampah plastik.

Dalam konteks ekonomi hijau dan penyelenggaraan G20, Indonesia tidak hanya sekedar sebagai ketua presidensial, tetapi menjadi leader dalam menentukan arah ekonomi global terutama terkait pelaksanaan ekonomi hijau secara global.

Demikian intisari dari pembahasan webinar bertajuk “Menuju Transformasi Ekonomi Hijau: Tantangan dan Solusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Manajemen dan Bisnis (LMFEB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta sebagai rangkaian kolaborasi untuk memperingati Hari Sampah Nasional 2022 di Jakarta, Rabu (16/3/2022).

Baca Juga: Pengelolaan Sampah Plastik Butuh Investasi Rp72,4 Triliun

Hadir dalam webinar tersebut Rofi Alhanif selaku Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Edward Nixon Pakpahan selaku Fungsional Ahli Madya Pedal Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Martha Fani Cahyandito selaku Guru Besar FEB Universitas Padjadjaran, dan Roby Arya Brata selaku Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Perencanaan Pembangunan, dan Pengembangan Iklim Usaha Sekretariat Kabinet.

Ekonomi hijau yang bermuara pada ekonomi sirkular sudah menjadi pembahasan utama dalam G20. Arah global menuju ekonomi hijau tersebut sudah bukan lagi menjadi pilihan tetapi kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh negara anggota G20, termasuk Indonesia.

"Indonesia bukan sekadar jadi ketua, tetapi harus menjadi pemimpin terdepan dalam ekonomi hijau,” ujar Roby.

Edward mengungkapkan, salah satu tantangan utama dalam ekonomi hijau adalah persoalan sampah. Secara global, sampah dunia saat ini telah mencapai 3 miliar ton, sedangkan hanya sepertiga yang berhasil diolah kembali.

Sementara itu, tahun lalu, jumlah sampah di Indonesia hampir mencapai 70 juta ton dan trennya akan terus naik.

Baca Juga: Masalah Sampah Masih Menjadi Isu Di Indonesia, Yuk Jadi #GenerasiPilahPlastik

“Hierarki tertinggi dari konsep penanganan sampah adalah mengurangi sampah. Semua pihak, terutama produsen, diharapkan dapat membantu masyarakat dengan produk yang bisa mengurangi timbulan sampah,” katanya.

Namun seperti diketahui, belakangan ini ramai diberitakan beberapa pihak berupaya mendorong BPOM mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong penggunaan air minum dalam kemasan/AMDK galon sekali pakai, padahal selama ini masyarakat terbiasa menggunakan kemasan galon guna ulang.

Edward menegaskan, dalam konteks penanganan sampah, air minum dengan galon sekali pakai sangat tidak dianjurkan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prioritas penanganan sampah berbasis mengurangi dan membatasi penggunaan sampah plastik.

Dengan konsep tersebut, akan semakin banyak timbulan sampah untuk diolah.

"Kebijakan yang mendorong air minum kemasan galon sekali pakai harusnya dipertimbangkan kembali. Kita tidak dukung yang sekali pakai, usahakan yang bisa digunakan kembali,” kata dia.

Sejalan dengan itu, Fani menjelaskan, kesehatan menjadi salah satu faktor penting dalam ekonomi hijau, setara dengan penanganan sampah berbasis ekonomi sirkular.

Namun demikian, kebijakan yang sifatnnya multidimensi dan multisektoral harus dapat menjaga kepentingan bersama, prioritas utama yang sudah ditetapkan, dan tidak merugikan banyak pihak.

AMDK galon sekali pakai otomatis akan menambah timbulan sampah plastik, harus dapat dipikirkan dampak menyeluruhnya, baik dari sisi lingkungan, infrastuktur pengolahan, persaingan usaha termasuk industri yang bergantung dari keputusan ini, dan dampak ekonominya seperti kepada UMKM dan tenaga kerja.

"Harus duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini bersama,” tegas dia.

Menurut Rofi, sampah plastik telah menjadi perhatian besar dalam ekonomi hijau. Faktanya, saat ini sampah plastik Indonesia di laut mencapai 6,8 juta ton per tahun.

Dari jumlah tersebut, hanya 10 persen yang didaur ulang dan 20 persen yang berakhir di TPA. Sementara itu, sisanya bakal menjadi sampah yang bocor ke sungai dan laut.

“Karena itu, dengan target pengurangan sampai hingga 70 persen pada 2025, dibutuhkan komitmen semua pihak untuk mengurangi penggunaan sampah plastik di darat sehingga tidak bocor hingga ke laut,” kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI