Suara.com - Serangan militer Rusia ke Ukraina membuat jutaan warga Ukraina menyelamatkan diri ke sejumlah negara tetangga dan masih banyak lainnya yang terjebak di medan pertempuran.
Selain menimbulkan krisis kemanusiaan dan masalah pengungsi, tak pelak invasi tersebut juga menyebabkan gejolak naiknya harga bahan pangan dan komoditas lainnya di penjuru dunia.
BBC News Indonesia membuka pertanyaan seputar konflik Rusia-Ukraina dan inilah jawaban dari delapan pertanyaan yang kami pilih:
Pertanyaan: Seberapa benar ataukah hanya mengada-ada tentang kabar Ukraina identik dengan kebangkitan Neo Nazi?
Baca Juga: Perang Rusia-Ukraina Bikin Sri Mulyani Khawatir, Kenapa?
Anggapan bahwa Ukraina adalah negara yang dikait-kaitkan dengan Nazisme telah menjadi fitur reguler liputan media-media Rusia. Lalu alasan yang dikembangkan Rusia atas invasinya ke Ukraina adalah demiliterisasi dan menekan Neo-Nazi.
Kementerian Luar Negeri Rusia menekankan dalam sejumlah postingan di media sosial bahwa Ukraina dan AS telah memilih menolak resolusi Majelis Umum PBB yang didukung Rusia, yang mengutuk diagungkannya Nazisme.
Memang benar bahwa kedua negara menolak untuk mendukung resolusi tersebut. Namun, postingan pemerintah Rusia itu tidak memberikan konteks yang benar terkait keputusan tersebut.
Ukraina mengatakan penolakannya karena mereka yakin resolusi itu didorong oleh motif propaganda.
Sedangkan Amerika Serikat mengklaim dokumen itu adalah "upaya terselubung untuk melegitimasi kampanye disinformasi Rusia."
Baca Juga: Cari Bantuan, Pengungsi Ukraina Manfaatkan Tinder
Baik AS dan Ukraina menekankan kecaman mereka terhadap Nazisme setelah pemungutan suara itu.
Lalu ada pula kekhawatiran tentang hubungan antara kelompok sayap kanan Ukraina dan neo-Nazi - khususnya batalyon nasionalis Azov yang menjadi terkenal pada puncak konflik Ukraina, dan sekarang menjadi unit di dalam militer negara itu.
Namun, kelompok sayap kanan itu tetap menjadi minoritas kecil di Ukraina - selama pemilihan 2019, kandidat dan kelompok-kelompok sayap kanan seperti Svoboda mendapat suara jauh dari minimum 5% yang diperlukan untuk masuk ke parlemen.
Sejak November lalu ada lonjakan besar soal wacana yang menghubungkan Ukraina dengan Nazisme menurut Logically, yaitu sebuah perusahaan teknologi yang telah melacak ratusan akun media sosial pro-Kremlin.
Pada "momen-momen penting", kata Brian Murphy dari Logically, wacana seperti itu telah disebar secara luas di seluruh lanskap media pro-Rusia.
Rusia dengan "cepat untuk melabeli para musuh dan korbannya di Eropa sebagai Nazi", kata Keir Giles, pakar Rusia, yang menulis laporan untuk NATO tentang perang informasi.
"Kami telah melihat ini tidak hanya di Ukraina, tetapi juga pada fitnah lainnya oleh Rusia terhadap negara-negara Baltik," katanya.
Pertanyaan: Bagaimana penanganan pengungsi Ukraina oleh UNHCR?
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) menyebut sekitar 2,8 juta warga Ukraina telah melarikan diri sejak Rusia menyerbu negara itu pada 24 Februari 2022.
Komisioner Tinggi UNHCR, Filipo Grandi, berkata jutaan orang itu mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Slovakia, Hungaria, Romania, Moldova, dan Belarusia.
Tapi mayoritas dari mereka atau sekitar 1,7 juta orang lebih memilih menyeberang ke Polandia.
Sebagian besar pengungsi merupakan perempuan dan anak-anak. Semua pria berusia antara 18 dan 60 tahun dilarang meninggalkan Ukraina.
Baca juga:
- Rusia-Ukraina: Dua duta besar 'kecewa pada Indonesia'
- Perang Rusia-Ukraina: Mahasiswa Ukraina jadi tentara relawan, dilatih tiga hari langsung terjun ke garis depan
- Rusia serbu Ukraina: 'Kondisi mengerikan' di Mariupol, warga dievakuasi dari kota yang dikepung
Bagi banyak orang, perjalanan ke negara tetangga bukan hal mudah. Setelah tiba di perbatasan mereka berlanjut dengan berjalan kaki dengan menarik koper di sepanjang jalan raya.
Mereka yang tidak memiliki siapapun yang menunggu akan tidur di salah satu dari sembilan tempat penampungan yang didirikan untuk menangani arus masuk.
UNHCR menyebut arus pengungsi dari Ukraina ini merupakan yang paling cepat pertumbuhannya di Eropa sejak Perang Dunia II.
Pertanyaan: Bagaimana dengan komoditas gandum? Apakah Ukraina merupakan pemasok gandum terbesar ke Indonesia?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Ukraina memasok 2,96 juta ton gandum atau setara 27% dari total 10,29 juta ton yang diimpor Indonesia pada 2020.
Adapun gandum merupakan bahan baku dari produk pangan seperti mi instan dan terigu.
Dan Indonesia menjadi negara pengonsumsi mi instan terbesar kedua di dunia dengan total 12,6 miliar porsi pada 2020.
Hingga saat ini stok bahan baku gandum masih tersedia sampai tiga bulan ke depan. Sehingga dampak kenaikan harga pangan berbahan gandum, belum akan terjadi.
Namun jika invasi Rusia di Ukraina terus berlangsung maka kenaikan harga tak bisa dihindari.
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan kenaikan harga gandum, cepat atau lambat akan berdampak pada konsumen di Indonesia.
Meski Indonesia bisa mencari alternatif produsen gandum lain, akan tetapi prosesnya akan memakan waktu. Sementara harga gandum akan tetap mengacu pada harga pangan yang ditetapkan secara global.
Setelah invasi ke Ukraina, harga gandum global naik sebesar 5,35% menjadi US$9,84 atau sekitar Rp141.373 per gantang. Kenaikan itu merupakan yang tertinggi sejak 2008.
Apakah seluruh WNI di Ukraina telah dievakuasi? Bagaimana dengan WNI yang memilih menetap di Ukraina? (Budi Lutfitra Wisada, S.A.)
Total Warga Negara Indonesia di Ukraina sebanyak 165 orang. Dari jumlah itu, hingga saat ini terdapat 124 WNI yang sudah berhasil dipulangkan ke Indonesia.
Adapun 32 WNI memilih untuk menetap di Ukraina. Mereka memilih hal tersebut lantaran sebagian besar sudah menikah dengan warga negara setempat.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu, Judha Nugraha, juga mengatakan masih ada sembilan WNI di Kota Chernihiv yang sedang dalam upaya untuk dievakuasi.
Pasalnya di sana masih terjadi pertempuran sementara koridor kemanusiaan belum disepakati Rusia dan Ukraina untuk mengevakuasi sembilan WNI tersebut.
Koridor kemanusiaan adalah zona atau jalur aman disediakan sehingga warga sipil yang terjebak di tengah pertempuran dapat dievakuasi.
Namun begitu kerjasama dengan otoritas Ukraina, sembilan WNI ini telah direlokasi ke tempat yang lebih aman di Kota Chernihiv. Fasilitas dasar seperti air, listrik, dan gas masih berfungsi. Pasokan logistik juga masih memadai.
Beberapa kali upaya evakuasi yang dilakukan KBRI Kyiv dan Tim Perlindungan WNI harus ditunda karena jalur evakuasi yang masih menjadi zona pertempuran.
KBRI dan Tim Perlindungan juga terus bekeja sama dengan otoritas Ukraina termasuk Palang Merah untuk mengevakuasi secepatnya jika koridor kemanusiaan telah terbentuk.
Pertanyaan: Banyak pakar dan pengamat berpendapat perang Rusia dan Ukraina sebenarnya perang Rusia melawan NATO, AS dan sekutu Baratny yang dipicu ekspansi keanggotaan NATO di Eropa Timur, Sebenarnya apa saja alasan Rusia invasi Ukraina? (Hongky Then)
Presiden Rusia Vladimir Putin sudah sering menuduh Ukraina adalah boneka Barat, terutama sejak presiden pro-Rusia Viktor Yanukovych digulingkan pada 2014 setelah protes besar selama berbulan-bulan.
Rusia kemudian membalas dengan menguasai wilayah selatan Ukraina, Krimea, dan memicu gerakan pemberontak di wilayah timur. Rusia juga mendukung kelompok separatis yang melawan pasukan Ukraina dalam perang yang menelan 1.400 korban jiwa.
Kemudian pada 2014, Putin mengeluarkan dekrit berisi pengakuan kemerdekaan dua wilayah di Ukraina yakni Donetsk dan Luhansk yang dikuasi kubu separatis pro-Rusia.
Konsekuensinya pasukan Rusia bisa ditempatkan secara resmi di sana dan pemerintah Rusia dapat membangun pangkalan militer. Itu artinya risiko terjadinya perang terbuka lebar.
Belakangan Rusia juga mendesak Barat memberikan jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Putin menilai negara-negara Barat menggunakan NATO untuk mengepung Rusia dan karena itu, ia ingin alinsi menghentikan kegiatan militer mereka di Eropa timur.
Kendati pada 1994 Rusia menandatangani kesepakatan untuk menghormati kemerdekaan serta kedaulatan Ukraina. Akan tetapi, tahun lalu Putin merilis tulisan panjang yang menyebut bangsa Rusia dan Ukraina adalah "satu bangsa".
Pertanyaan Mengapa Rusia tidak membiarkan Ukraina memutuskan nasibnya sendiri sebagai negara merdeka? Termasuk keinginan bergabung dengan NATO atau Uni Eropa?
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, mengeklaim apa yang dikehendaki oleh rakyat Ukraina berbeda dengan apa yang diinginkan oleh pemerintahan Ukraina saat ini -yang ia sebut sebagai boneka Barat.
Selama delapan tahun terakhir, katanya, warga Ukraina tidak pernah diberikan kesempatan oleh pemerintahnya sendiri untuk bersuara tentang apakah mereka setuju negaranya bergabung dengan NATO dan Uni Eropa atau tidak.
Itu mengapa dia meyakini jika tidak ada tekanan maupun manipulasi dari pihak Barat, maka keinginan rakyat Ukraina akan berbeda.
Pertanyaan: Apakah Indonesia masih bersikap netral atas situasi invasi Rusia? (Anya Adriani)
Sejak serangan Rusia ke Ukraina diluncurkan pada 24 Februari lalu, Indonesia tidak secara gamblang menyinggung nama Rusia sebagai pihak yang menginvasi Ukraina.
Dalam dua kesempatan, Presiden Joko Widodo tidak menyebut Rusia saat membahas perang Ukraina.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangan persnya lebih menekankan pada proses evakuasi WNI, de-eskalasi dan masalah kemanusiaan di Ukraina, dan tidak menggunakan kata serangan militer atau invasi Rusia.
Dalam wawancara terbaru dengan BBC News Indonesia, Kepala Kepala Biro Dukungan Strategis Pimpinan di Kementrian Luar Negeri RI, Achmad Rizal Purnama, mengatakan posisi Indonesia tidak akan berubah dari sebelumnya yakni meminta agar semua pihak agar menghentikan permusuhan serta mengutamakan penyelesaian secara damai melalui diplomasi.
Indonesia juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah nyata guna mencegah memburuknya situasi.
Fokus pemerintah Indonesia di tengah pandemi, kata Achmad Rizal, yakni bagaimana mengupayakan agar Indonesia segera keluar dari situasi tersebut. Sebab jika perang terus berlanjut harga minyak, gas, dan lainnya akan naik dan berdampak pada Indonesia.
Pertanyaan: Apakah serangan Rusia ke Ukraina dapat disamakan dengan pertikaian antara China dan Taiwan?
Selama ini China melihat Taiwan sebagai provinsi nakal di seberang laut yang harus disatukan dengan daratan. Sedangkan Taiwan bersikukuh merupakan negara yang berdaulat.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, bermunculan wacana yang mengaitkannya dengan sengketa antara China dan Taiwan.
Salah satunya saat Perdana Menteri Boris Johnson Februari lalu mengatakan konsekuensinya bakal dihadapi seluruh dunia, termasuk Taiwan, bila negara-negara Barat gagal mendukung Ukraina.
"Jika Ukraina terancam, goncangannya akan bergema di seluruh dunia. Dan gema itu akan terdengar di Asia timur, akan terdengar di Taiwan," kata Johnson beberapa hari jelang invasi Ukraina, seperti dikutip Reuters.
Di Weibo, Twitter versi China, kaum nasionalis memunculkan narasi bahwa invasi Rusia ke Ukraina bisa mendorong Beijing untuk melakukan langkah serupa dengan melontarkan komentar seperti: "Ini kesempatan terbaik untuk merebut kembali Taiwan sekarang!"
Namun baik Beijing dan Taipei menolak membandingkan konflik Rusia-Ukraina dengan krisis mereka.
"Saya ingin menekankan bahwa situasi di Ukraina secara fundamental berbeda dengan yang ada di Selat Taiwan," kata Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, pada 25 Februari.
Di Beijing, juru bicara kementerian luar negeri China, Hua Chunying, juga melontarkan pernyataan serupa, walaupun sambil menambahkan "Taiwan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari China."