Suara.com - Meskipun sebuah hasil survei terbaru menunjukkan penerimaan publik yang luas terhadap politisi perempuan di India, partisipasi politik perempuan di negara Asia Selatan itu ternyata tetap rendah.
Berdasarkan survei terbaru Pew Research Center menunjukkan bahwa lebih dari satu dari setiap dua orang India mengatakan bahwa "perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin politik yang sama baiknya" dan lebih dari satu dari setiap sepuluh orang percaya bahwa perempuan pada umumnya menjadi pemimpin politik yang lebih baik daripada laki-laki.
Survei dilakukan terhadap 3.000 responden orang dewasa di seluruh negeri bertujuan untuk mengetahui sikap orang India terhadap peran gender.
India memiliki politisi perempuan mumpuni, dengan beberapa dari mereka berhasil naik ke posisi politik teratas secara nasional dan regional, termasuk presiden dan perdana menteri. Indira Gandhi, misalnya, perdana menteri perempuan pertama dan satu-satunya di India hingga saat ini, adalah tokoh politik yang dominan di negara itu dari tahun 1966 hingga 1984.
Namun, meski penelitian menunjukkan penerimaan publik yang luas terhadap politisi perempuan, partisipasi politik perempuan tetap rendah.
Menurut laporan tahun 2020 oleh Association of Democratic Reforms (ADR) dan National Election Watch (NEW), kurang dari sepersepuluh dari lebih dari 50.000 kandidat yang mengikuti pemilihan federal dan negara bagian adalah perempuan.
'Politik dilihat sebagai domain laki-laki'
India pun merosot 28 posisi ke peringkat 140 di antara 156 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Global Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2021, menjadi negara Asia Selatan ketiga terendah.
Sebagian besar penurunan terjadi di bidang pemberdayaan politik, di mana India mengalami kemunduran yang signifikan, dengan penurunan jumlah menteri perempuan dalam beberapa tahun terakhir — dari 23,1% pada tahun 2019 menjadi 9,1% pada 2021.
Baca Juga: India Mengaku Tak Sengaja Luncurkan Rudal ke Pakistan, Beralasan Ada Kerusakan Teknis
"Politik sering dilihat sebagai domain laki-laki, dan perempuan dilarang memasukinya dengan dalih bahwa itu bukan profesi perempuan,” kata Jayakumari Devika, seorang aktivis hak-hak perempuan dan kritikus sosial dari negara bagian Kerala di India Selatan.