Suwandi menyebut saat ini sebagian warga sudah merasakan dampak debu batubara, "menderita penyakit kulit, yang matanya sampai merah."
Debu batu bara, kata dia, juga mengotori sejumlah fasilitas umum, seperti Ruang Publik Terbuka Ramah Anak.
"Rusunnya punya 29 tower ada 29 ribu kepala keluarga yang ada di sana, karena apa debu batu bara dihisap, dihirup udara. Sedangkan anak-anak kami sekolahnya tidak jauh dari KCN yaitu sekitar satu kilometer," kata dia.
Sudah lapor, tapi tak ada solusi
Anggota DPRD Jhonny Simanjuntak kecewa keluhan warga atas dampak debu batu bara yang sudah disampaikan selama ini tidak mendapatkan solusi dari pihak terkait.
"Mereka sudah lapor ke lurah, camat, wali kota, Dinas Lingkungan Hidup, tapi tidak ada solusinya," ujar Jhonny.
"Jadi ini seolah-olah ada proses pembiaran terhadap kekuatan korporasi besar yang meniadakan faktor kesehatan warga."
Menurut dia seharusnya pemerintah setempat memiliki inisiatif untuk menindaklanjuti persoalan warga.
Pencemaran lingkungan, kata dia, tidak bisa dibiarkan dan diserahkan begitu saja kepada pemerintah pusat.
"Empat tahun mereka menghisap debu itu. sekolah, rumah ibadah dipenuhi oleh tebalnya debu itu. Seolah-olah ada pembiaran secara sistematis. Pemprov tidak punya sense of crisis," katanya.