Suara.com - Wasekjen Partai Demokrat Jovan Latuconsina memberikan komentar mengenai wacana penundaan Pemilu 2024.
Jovan Latuconsina memberikan wanti-wanti mengenai wacana yang terus digaungkan itu.
"Pemilu 2024 belum dilaksanakan, Pemerintah sudah mengalami post power syndrome (sindrom paska kekuasaan). Ini namanya Pre-Post Power Syndrome. Jadi belum selesai kekuasaan, sudah takut kehilangan kekuasaan," kata Jovan, seperti dikutip dari wartaekonomi--jaringan Suara.com, Minggu (13/3/2022).
"Padahal dulu adanya Reformasi itu agendanya cuma satu, yakni membatasi kekuasaan. Cukup dua periode. Tanpa perpanjangan jabatan, tanpa tiga periode, tanpa tunda Pemilu," tambahnya.
Baca Juga: Jubir PKS Blak-blakan soal Luhut dan Big Data: Beliau adalah Master Mind Isu Penundaan Pemilu
Jovan mempertanyakan mengenai usulan penundaan Pemilu 2024.
Menurutnya, saat ini kondisi KPU jauh lebih baik sehingga seharusnya tak ada wacana tersebut.
"Bahkan pasca reformasi, alih-alih tunda Pemilu, yang ada justru malah percepatan Pemilu. Lah sekarang dengan kondisi KPU yang jauh lebih baik dan pengalaman, kenapa kita berpikir tunda Pemilu," ungkapnya.
Jovan mengatakan, seharusnya sikap dari ketua umum masing-masing parpol harus diapresiasi.
"Justru kita harus mengapresiasi ketegasan sikap Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum PDIP Ibu Megawati Soekarnoputri dan Ketum Nasdem Bapak Surya Paloh untuk menolak penundaan Pemilu dan wacana Presiden tiga periode. Beliau-beliau ini tahu betul konsekuensi dari menghianati demokrasi ini. Rakyat bisa jadi korban. Bukan tidak mungkin TNI Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat," bebernya.
Baca Juga: Soal Klaim Luhut, PKS: Secara Tak Langsung Beliau Jadi 'Dalang' Isu Penundaan Pemilu
Lebih lanjut, Jovan khawatir apabila ada perlawanan dari rakyat sehingga terjadi perpecahan besar.
"Sejarah mengajarkan pada kita, ketika rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti, kita khawatirkan mereka akan tiba pada satu titik untuk melawan balik, sehingga bisa terjadi perpecahan besar. Konsekuensi inilah yang dihindari oleh kita semua," ujarnya.
"Pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi kita. Jika ini diutak-atik terus dengan berbagai alasan, sejarah tahun 1998 mengajarkan pada kita bagaimana publik melakukan koreksi dengan sendirinya," imbuhnya.