Kisah Keluarga yang Terpaksa Menyeret Nenek Mereka dari Serangan Mortir

SiswantoBBC Suara.Com
Minggu, 13 Maret 2022 | 14:12 WIB
Kisah Keluarga yang Terpaksa Menyeret Nenek Mereka dari Serangan Mortir
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Kejadian terakhir adalah ketika sebuah tank Rusia ditembaki dari rumah-rumah warga dan gereja terdekat," kata Dmytro Tkachuk. Dia kemudian memutuskan sudah waktunya untuk melarikan diri dari Bucha, sebuah kota kecil di barat laut Kyiv. "Kubah gereja hancur, sangat menakutkan."

Layanan darurat Ukraina menyatakan Bucha dan daerah di sekitarnya mengalami salah satu situasi kemanusiaan terburuk di Ukraina. Keadaan darurat terbesar ada di Mariupol, kota pelabuhan utama berpenduduk lebih dari 400.000 orang.

Bucha dikelilingi oleh tentara Rusia dan sebagian wilayahnya sudah diduduki. Kota itu dibombardir tanpa henti sejak perang dimulai.

Baca juga:

Baca Juga: Perang Ukraina: Cek Fakta Tuduhan Rusia Soal Senjata Biologi

Selama berhari-hari, tidak ada bantuan kemanusiaan atau makanan yang sampai di kota itu. Ribuan orang masih terjebak di ruang bawah tanah, banyak dari mereka sudah lanjut usia atau mengalami cacat berat. Komunikasi terputus dan hanya tersisa sedikit harapan untuk menghubungi teman dan keluarga.

Dmytro, seorang pengacara berusia 30 tahun, harus menempuh perjalanan sejauh 17 kilometer untuk melarikan diri dari Bucha bersama saudara perempuan, ibu dan dua neneknya yang berusia 74 dan 83 tahun. Mereka bergabung dengan dua tetangga dan seekor anjing kecil.

Saat bom-bom meledak di sekitar, mereka harus menghempaskan diri ke tanah setidaknya 20 kali.

Tidak lama setelah mereka memulai perjalanan, sang nenek tidak bisa berjalan lagi. Dmytro dan saudara perempuannya harus menyeretnya.

"Nenekku memohon agar kami meninggalkannya. Dia tidak ingin menjadi beban bagi kami, tetapi kami tidak mau mengorbankan orang yang kami cintai."

Baca Juga: Ukraina Tuntut Pembebasan Seorang Walikota yang 'Diculik'

Tidak ada wilayah yang aman untuk evakuasi dan tidak ada bantuan untuk mereka. Mereka tahu risikonya, tetapi memutuskan untuk terus berjalan sampai bisa mencapai tempat yang aman di dekat Kyiv. Jika hal itu bisa terjadi, mereka menganggapnya sebagai keajaiban.

"Dalam perjalanan kami keluar dari Bucha, saya melihat mayat-mayat tergeletak di tanah di semua tempat. Saya melihat orang-orang menjadi gila di depan rumah mereka yang terbakar. Saya melihat seluruh blok apartemen rata dengan tanah. Itu mengerikan."

Bucha adalah salah satu koridor evakuasi yang disepakati oleh pemerintah Ukraina dan kementerian pertahanan Rusia pada Rabu. Namun, tidak ada gencatan senjata yang dikonfirmasi dan hanya orang-orang seperti Dmytro yang berhasil keluar.

Sementara ribuan orang Ukraina telah berhasil melarikan diri dari kota-kota yang dibombardir, Mariupol, Bucha, Izyum, dan daerah lainnya tetap terisolasi. Bucha hanya berjarak beberapa kilometer dari konvoi kendaraan lapis baja, tank, dan artileri Rusia sepanjang 64 kilometer yang terhenti.

Sudah lima hari tidak ada kabar dari seorang rekan dan ibunya yang terjebak di Bucha. Dalam pesan terakhirnya, dia mengatakan tidak ada jalan keluar dan satu-satunya cara mereka untuk bertahan hidup adalah mencoba untuk tidur selama mungkin di ruang bawah tanah mereka yang dingin dan membeku.

Tidak ada listrik atau pemanas. Pasokan gas terputus karena kebakaran yang disebabkan oleh pengeboman.

Tidak ada pasokan makanan yang masuk dan tidak ada jaringan seluler. Akses internet yang hanya bisa sesekali saja adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan pesan ke dunia luar.

Awal pekan ini seorang warga penyandang disabilitas berhasil mengunggah seruan di laman Facebook-nya. Dia dan orang-orang disabilitas lainnya telah menjadi sandera, katanya.

Mereka tidak dapat bersembunyi di tempat perlindungan dan tidak memiliki akses ke makanan, air dan obat-obatan.


Hari berikutnya dia mengunggah kabar terbaru yang menyebutkan bahwa dia masih hidup dan berhasil memasak makanan bersama tetangganya.

Dmytro melarikan diri karena merasa dia dan keluarganya memiliki sedikit kesempatan untuk bertahan hidup.

Mereka harus menghindari pos pemeriksaan Rusia untuk keluar dari kota dan kemudian setelah mereka mencapai wilayah Irpin, mereka bersembunyi di bawah jembatan kota yang sudah setengah hancur.

Dari Irpin mereka melintasi lapangan secepat mungkin, di bawah tembakan mortir yang konstan.

Mereka sudah diperingatkan berkali-kali bahwa keputusan yang mereka ambil berisiko mematikan. Serpihan bom terbang melewati mereka. Mereka juga melihat rumah-rumah dan sebuah jembatan diserang saat mereka lewat.

"Seluruh hidup saya berlalu begitu saja. Saya berdoa kepada Tuhan agar bisa tetap bertahan hidup," kata Dmytro.

Serangan terbesar datang dari arah yang mereka tuju, saat pasukan Ukraina mencoba menghentikan pasukan Rusia.

"Saya menyadari itu adalah rute kami menuju keselamatan, meskipun ledakan paling keras datang dari sana."

Mereka akhirnya sampai ke bus yang menuju Kyiv. Namun, bagi banyak orang lain di kota mereka, mimpi buruk terus berlanjut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI