Suara.com - Sudah 21 tahun Sunarsih pergi. Ketika mengembuskan napas terakhirnya usia Sunarsih masih 14 tahun. Dia berangkat mengadu nasib dari Pasuruan, Jawa Timur ke Surabaya untuk menjadi pekerja rumah tangga. Tapi di Surabaya Sunarsih seolah hanya mengantar nyawa. Ia meninggal setelah mengalami penganiayaan oleh majikannya, Ita. Selama bekerja ia kerap dipukul, disekap dan dipaksa kerja tanpa henti hingga akhirnya meninggal pada 12 Februari 2001.
Dalam proses hukumnya, keadilan tidak berpihak pada Sunarsih. Nyawa Sunarsih ditebus dengan vonis ringan. Ita hanya dihukum dua tahun penjara. Setelah selesai menjalani hukuman, ia bebas melenggang dan menjadi pelaku kekerasan lagi untuk Pekerja Rumah Tangga (PRT) lainnya.
Kini 21 tahun kemudian kondisi serupa masih kerap dialami oleh ‘Sunarsih’ lainnya. Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sepanjang 2015 - 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia. Jumlah tersebut juga terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai perbandingan, kekerasan terhadap PRT pada tahun 2018 tercatat sebanyak 434 kasus. Angka itu meningkat di tahun 2019 menjadi 467 kasus.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT Lita Anggraini mengatakan, bahwa PRT terkadang juga mengalami kekerasan berlapis seperti yang dialami oleh Sunarsih. Kekerasan itu berupa fisik hingga psikis. Kondisi tersebut menurut Lita terjadi akibat kekosongan tidak adanya pengakuan bahwa PRT merupakan bagian dari pekerja.
Baca Juga: Jelang Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional, DPR Didesak Sahkan RUU PPRT Jadi UU
PRT Sebagai Soko Guru
Padahal peran PRT menurut Lita juga sangat vital. Bahkan, dalam istilah Lita PRT adalah soko guru atau tonggak perekonomian lokal, nasional dan global. Kerja-kerja yang dilakukan oleh PRT, lanjut Lita, adalah yang memastikan aktivitas publik di semua sektor bisa terus berjalan.
“Padahal PRT itu penopang ekonomi dan aktivitas orang-orang. Misal semua bekerja dan tidak ada PRT yang mengerjakan pekerjaan domestik di rumah tentu akan susah,” kata Lita.
Hingga saat ini saat ini PRT sendiri menjadi salah satu posisi jumlah tenaga kerja terbesar Indonesia. Data ILO Jakarta 2015 jumlah PRT di Indonesia sebesar 4,2 juta, 84 persen di antaranya ialah perempuan. Kebutuhan akan PRT menurut Lita bahkan diperkirakan meningkat pada tahun 2021 hingga sekitar 5 juta.
Oleh sebab itu terminologi pekerja dalam istilah PRT juga merupakan salah satu yang diperjuangkan oleh Lita bersama Jala PRT. Sebab istilah pembantu atau asisten rumah tangga menurut Lita, dan juga para PRT sangat bias dan abu-abu.
Baca Juga: Dari Kelelahan Hingga Depresi, WHO dan ILO Ungkap Dampak Bekerja Jarak Jauh Selama Pandemi Covid-19:
“Tapi mereka kan bekerja, bukan hanya membantu. Mereka juga memenuhi unsur hubungan kerja karena unsur pekerjaan, perintah dan juga upah. Semua unsur hubungan kerja ada. Jelas posisinya sebagai pekerja,” ujar Lita.
Dalam Konvensi ILO 189 Tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi Pekerja Rumah istilah yang digunakan menurut Lita juga domestic worker dan bukan helper atau pembantu.
“PRT juga pekerja. Tapi PRT sering dikecualikan, tidak ada pengakuan dan perlindungan sebagai pekerja tidak ada Peraturan Perundangan yang jelas, tegas dan mengikat,” ujar Lita kepada Suara.com beberapa waktu lalu.
Jalan Panjang Mencari Perlindungan PRT
Selama 18 tahun, bersama Jala PRT Lita juga terus berupaya mengadvokasi Rancangan Undang-undang Pekerja Rumah Tangga. Tapi, hingga hari ini hasilnya masih nihil. Lita mengungkapkan mandeknya pembahasan RUU PRT di DPR tidak lepas dari permasalahan bias gender, ras, feodalisme yang begitu kuat dan mengakar.
“Para majikan selama ini mendapat keuntungan dari kerjaan PRT. Semua bisa diperintahkan. Ketika ada RUU menuntut ada perubahan sikap yang memanusiakan, dan tidak semena-mena mereka enggan. Kita tahu bahwa penyelenggara negara, baik di DPR, mayoritas mempekerjakan PRT. Sehingga conflict of interest,” ujar Lita.
Lita juga menyayangkan fraksi PDIP dan Golkar yang sering mengaku sebagai partai wong cilik tapi justru paling depan dalam menjegal RUU PRT. Ia mengatakan, bahwa badan legislatif telah menyelesaikan pembahasan RUU PRT pada Juli 2020 lalu agar rancangan aturan tersebut diagendakan di rapat paripurna DPR.
Namun, lebih dari satu tahun berjalan agenda tersebut tidak pernah ditetapkan untuk dibahas. Dua fraksi besar tadi, lanjut Lita justru masih menolak.
“Itu sudah melanggar pasal di DPR itu sendiri. Pimpinan DPR tdk boleh menolak atau menghalangi RUU yang sudah diputuskan pleno baleg. tugas mereka kan mengagendakan tapi tidak. Dua fraksi yang pegang kuasa yang nolak. Ini kan suatu hal yg sangat ironi,” ujar Lita.
Tahun 2015 pemerintah lewat Kementerian Tenaga Kerja sebenarnya juga telah mengeluarkan Permenaker No 2 Tahun 2015 tentang Pekerja Rumah Tangga. Namun, aturan itu dianggap oleh kelompok PRT tidak mengikat dan tidak punya kekuatan hukum. Oleh sebab itu, Lita bersama Jala PRT terus mendorong agar RUU PRT bisa segera disahkan.
“Kalau dalam RUU PRT, PRT diakui sebagai pekerja, otomatis bisa mengakses jaminan kesehatan untuk bantuan iuran yg gratis, ditanggung pemerintah. Kedua, PRT juga bisa mengakses jamsostek yang iurannya minimal Rp 16 ribu per bulan. Ini kan sudah jadi mandat. Permenaker kan enggak bisa karena enggak mengikat,” kata Lita.
Menuntut Kerja Layak dan Menghapus Kekerasan di Dunia Kerja
Selain mendorong RUU PRT agar bisa disahkan oleh DPR, Lita mengatakan bahwa Jala PRT juga terus mengadvokasi agar Konvensi ILO 189 Tentang Kerja Layak Untuk PRT dan Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja bisa segera diratifikasi pemerintah. Keduanya menurut Lita penting untuk diratifikasi.
Tahun 2011 Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sempat berjanji akan meratifikasi konvensi ILO 189 konferensi PBB soal perburuhan di Jenewa. Namun, hingga kepemimpinan berganti dan dipimpin oleh Presiden Joko Widodo konvensi ILO 189 juga masih belum diratifikasi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Luviana dari Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang mengadvokasi konvensi ILO 190. Dalam perjalanan mendesak aturan tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, menurut Luviana, Indonesia terkenal sebagai negara yang paling depan dalam menyetujui berbagai konvensi.
Luviana mengungkapkan bahwa sebelum konvensi ILO disetujui, advokasi yang dilakukan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Relatif mudah. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang menyetujui konvensi tersebut hingga disahkan di sidang PBB.
“Indonesia kan terkenal sebagai negara yang menyetujui konvensi ILO tapi tidak meratifikasinya,” ujar Luviana.
Beberapa contohnya termasuk Konvensi ILO 189 dan Konvensi ILO 190. Padahal, lanjut Luviana, konvensi ILO 190 menjadi instrumen penting untuk melindungi pekerja dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Bahkan konvensi memperluas cakupannya menjadi dunia kerja bukan lagi di tempat kerja.
“Artinya dari rumah, jalan, workshop, di kamar mandi, wawancara kerja, itu kan disebut dunia kerja, jd bukan hanya tempat kerja. Terus melamar yang dapat diskriminasi itu termasuk dunia kerja.” kata Luviana.
Dalam konvensi tersebut subjek yang dilindungi juga lebih luas, yakni seluruh pekerja yang di dalamnya terdapat pekerja formal dan informal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021. Tapi seringkali pekerja informasi, seperti salah satunya PRT tidak diakui oleh negara.
“Jadi konvensi ini salah satu cara agar PRT bisa diakui negara, dan bisa lepas dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.”