Dari 'Abdi' Hingga Hari Ini: Belenggu PRT Dalam Diskriminasi Tapi Tak Dilindungi

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Kamis, 10 Maret 2022 | 10:21 WIB
Dari 'Abdi' Hingga Hari Ini: Belenggu PRT Dalam Diskriminasi Tapi Tak Dilindungi
Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pagi itu tubuh Lilis mendadak demam. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Kepalanya pusing seperti akan terserang flu. Ia pun melapor ke majikan bahwa tengah tidak enak badan, dan suhu tubuhnya naik turun sejak semalam. Kala itu ia hanya diberi obat rumahan untuk penurun demam dan mengatasi pusing. 

Majikan di tempatnya bekerja membebaskan tugas bersih-bersih rumah pada hari itu. Ia hanya diminta memasak untuk tamu. Sepanjang hari tubuhnya makin lemas dan sering duduk. Melihat kondisinya, sang majikan meminta Lilis untuk pulang dan istirahat. Kebetulan kala itu sudah masuk akhir pekan. Sehingga Lilis bisa istirahat selama dua hari. 

“Kalau misal hari Minggu gejala saya, atau kondisi saya tidak membaik, saya akan hubungi bisa tidaknya saya bekerja atau kelanjutannya,” ujar Lilis Suryani ke majikannya kala itu. 

Hingga Senin pagi, kondisinya tidak kunjung membaik. Batuk dan pilek masih hinggap di tubuhnya. Sehingga, ia memutuskan untuk memberi kabar majikannya bahwa belum bisa masuk bekerja pada hari itu. Pada Selasa, kondisi Lilis berangsur membaik. Ia berencana untuk kembali ke rumah majikannya dan bekerja. 

Baca Juga: Stigma dan Diskriminasi Masih Jadi Tantangan Eliminasi Kusta di Indonesia

Ilustrasi kekerasan seksual (freepik.com)
Ilustrasi kekerasan seksual (freepik.com)

Namun, ia diminta untuk melakukan tes PCR, untuk mengidentifikasi Covid-19, terlebih dahulu. Satu hari berselang hasil tes PCR menunjukkan bahwa Lilis positif Covid-19. Lilis kesulitan melacak dari mana ia tertular. Satu yang Lilis ingat ia memang sering kontak dengan seorang pengemudi yang juga bekerja di rumah majikanya. Pengemudi itu memang kerap beberapa kali batuk-batuk. 

Terlepas dari mana dan siapa ia tertular, waktu kerja yang dijalani Lilis memang melebihi batas yang diatur Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ia mulai bekerja pukul 05.30 dengan membersihkan kantor majikannya, merapikan rumah, memasak, hingga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pukul 19.00 ia juga harus menyiapkan makan malam. Pekerjaannya baru selesai pukul 20.00 setelah ia membereskan meja makan. Kondisi kelelahan itu yang diduga jadi pemicu ia rentan tertular virus corona. 

Lilis memutuskan menceritakan kondisinya dengan menulis di sebuah media. Tidak lama setelah tulisan itu terbit, ia justru dipecat. Lilis digugat dituduh mencemarkan nama baik majikannya. Ia diminta meminta maaf lewat media massa dan digugat untuk membayar Rp 60 juta. 

“Padahal di situ saya hanya menuliskan kondisi kerja saya, dan tidak ada sama sekali menyebut nama majikan atau rumah dia,” kata Lilis. 

Kejadian itu bagai petir yang menyambar Lilis di siang bolong. Belakangan diketahui bahwa tulisan itu ternyata dibaca oleh salah satu karyawan di tempat majikannya bekerja. Majikan tempat Lilis bekerja merupakan salah satu petinggi jaringan hotel internasional di Jakarta. Lilis dipekerjakan oleh hotel tempat majikannya bekerja sebagai salah satu dukungan atas jabatan majikannya. Sehingga, nama Lilis tercatat sebagai salah satu pekerja di hotel tersebut. 

Baca Juga: PRT Indonesia di Singapura Nekat Rekam Majikan Lagi Mandi dan Bagikan ke Tiktok, Dituntut 18 Bulan Penjara

Lilis yang didampingi oleh Jala PRT juga tidak tinggal diam. Ia mengirimkan surat somasi balik kepada majikannya. Ia menggugat majikannya karena melakukan PHK sepihak dan juga tidak menunaikan hak normatif yang mestinya diterima Lilis. 

Enam bulan berlalu tidak ada balasan dari sang majikan. Tapi, pemecatan itu awal diskriminasi yang dialaminya. Sejak saat itu ia kesulitan untuk mendapatkan kerja. Hampir semua lowongan pekerjaan untuk wajib menyertakan hasil tes PCR. Namun, berulang kali Lilis melakukan tes tersebut hasilnya selalu positif. Situasi itu berlangsung selama kurang lebih delapan bulan lamanya. 

“Saya sampai sempat konsultasi dengan dokter di Halodoc, dokternya bilang kalau itu kemungkinan besar bangkai virus yang masih terdeteksi. Saya sampai screenshot percakapannya, tapi tidak ada yang percaya,” ujar Lilis. 

“Dengan kondisi yang kemarin jadi apa boleh buat, untuk kebutuhan sehari-hari utang kesana kemari, Di pandemi ini saya ini ibaratnya sudah jatuh, masih terus terperosok jurang.”

Di tempat lain kondisi serupa sempat dialami oleh Nanik, seorang PRT yang bekerja di kawasan Jakarta Selatan. Nanik berulang kali dituduh sebagai pembawa virus oleh majikannya sendiri. Kejadian itu berlangsung saat bulan Ramadan di tahun 2020. Setiap kali ia pergi dari pasar pada saat itu juga majikannya menuduhnya membawa virus. Padahal, setiap hari sang majikan selalu membawa teman-temannya untuk berkumpul dan buka puasa bersama. 

“Maaf ya bu, saya itu tidak membawa virus kenapa ibu mencurigai saya membawa virus. Sedangkan ibu dan bapak mengumpulkan banyak teman untuk buka bersama. Kan tidak tahu kita siapa yang membawa virus,” ujar Nanik. 

Sang majikan tidak terima dengan penjelasan yang dilontarkan oleh Nanik. Sehingga ia justru dimarahi balik oleh majikannya dengan menyebutnya tidak sopan dan sok tahu. Kondisi kerja yang demikian membuatnya merasa tertekan dan terganggu secara mental. Akhirnya Nanik hanya bertahan hingga waktu kontraknya habis di bulan ketiga. 

Diskriminasi, hingga intimidasi yang dialami oleh Lilis dan juga Nanik sebenarnya bukan hanya khas di situasi pandemi Covid-19. Sebelum pagebluk melanda, PRT di Indonesia hidup dalam belenggu diskriminasi hingga kekerasan.  

Salah satunya seperti yang dialami Yuni, yang telah bekerja sebagai PRT lebih dari 10 tahun. Diskriminasi dan intimidasi seolah menjadi makanan sehari-harinya. Salah satu yang ia ingat terjadi sekitar tahun 2016. Waktu itu Yuni diminta untuk menjemput anak majikannya di sebuah sekolah internasional di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. 

Yuni datang 30 menit lebih awal sebelum jam keluar anak sekolah. Matanya tertuju pada sebuah bangku panjang di pinggir taman di sekolah itu. Karena waktu menunggu masih cukup lama, Yuni memutuskan untuk duduk di kursi panjang tersebut. Saat itu kursi tersebut juga kosong. Tak lama setelah ia duduk Yuni didatangi oleh seorang lelaki dengan seragam penjaga keamanan. Ia melarang Yuni untuk duduk di kursi tersebut. 

“Loh ini kan kosong, pak, memangnya kenapa?” tanya Yuni keheranan. 

“Nggak boleh memang itu sudah peraturannya,” jawab petugas keamanan tadi. 

“Loh peraturan, maksudnya?” ujar Yuni lagi. 

“Iya, yang duduk di situ itu harusnya majikan, bukan pembantu!” kata petugas keamanan itu. 

“Kok gitu banget ya peraturan manajemennya,” tandas Yuni. 

“Iya, mba. Ikuti saja aturannya. Kalau mau jemput diri aja di pojok sana,” kata lelaki itu lagi. 

Mendapat perlakuan yang seperti itu, Yuni merasa bahwa dirinya didiskriminasi oleh petugas maupun aturan dari sekolah tersebut. 

Mengurai Akar Diskriminasi Pekerja Rumah Tangga

Dalam jurnal berjudul “Diskriminasi, Kekerasan, dan Pengabaian Hak: Pekerja Rumah Tangga Tanpa Perlindungan Hukum’,  Anita Dhewy dari Jurnal Perempuan sempat menulis bahwa PRT seringkali berada di lingkungan kerja yang tidak layak, yang menurutnya bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan. Meskipun kondisi ini tidak dilihat sebagai kekerasan dan seringkali dipandang sebagai sesuatu yang biasa. 

Dalam jurnal tersebut, Anita juga menulis cerita seorang PRT tidak diperbolehkan duduk di lobi. Serupa dengan yang dialami oleh Yuni. Menurutnya peraturan diskriminatif tersebut mengandung bias kelas. Salah satu yang digarisbawahi oleh Anita, bahwa secara historis, budaya, dan sosial, hubungan dalam pekerjaan rumah tangga, antara majikan dan pekerja rumah tangga seringkali tidak memiliki batasan yang jelas antara seorang pekerja dan anggota keluarga. 

Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)
Pekerja Rumah Tangga (PRT). (Dok: Instagram/JalaPRT)

Argumen itu bisa ditelusuri melintasi zaman. PRT sendiri, menurut Anita punya berbagai jenis panggilan di setiap zaman. DI era kerajaan atau feodal PRT punya panggilan “abdi”, khususnya di Kerajaan Jawa. Pada zaman penjajahan belanda panggilan itu berubah menjadi “bedinde” atau ‘ngenger” dalam konteks masyarakat Jawa, kemudian “pembantu dalam masyarakat kontemporer, hingga “pekerja” seperti yang juga dilakukan oleh kelompok PRT sebagai cara mengakui profesi mereka. 

Pandangan bahwa PRT adalah bagian dari keluarga (majikan) tidak selalu menguntungkan PRT, karena berpotensi mempersonalisasi hubungan antara PRT dan majikan. Dengan memandang PRT sebagai anggota keluarga, majikan sebagai kepala rumah tangga merasa bahwa mereka dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja rumah tangga sesuai keinginan mereka, tanpa memperhatikan batasan atau undang-undang terkait yang berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan majikan. Posisi ini menyebabkan PRT rentan terhadap diskriminasi hingga kekerasan yang berulang.

“Karena diposisikan baik sebagai anggota keluarga maupun sebagai pekerja, PRT menanggung kondisi terburuk, sebagai anggota keluarga perempuan dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, serta kondisi terburuk sebagai pekerja dengan posisi rendah,” tulis Anita. 

Belum Ada Aturan yang Melindungi

Dalam situasi kerentanan tersebut, sayangnya menurut Koordinator Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT Lita Anggraini hingga saat ini masih belum ada aturan yang melindungi PRT yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan intimidasi. Hingga saat ini, PRT tidak diakomodir dalam peraturan perundangan ketenagakerjaan. 

“Negara absen dalam perlindungan situasi normatif ketenagakerjaan  pelanggaran terhadap hak-hak PRT secara sistematis,” ujar Lita. 

Saat ini memang terdapat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Namun, menurut Lita aturan tersebut  tidak  berkekuatan hukum,  tidak mengikat, dan lemah. Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menurut Lita juga tidak mengatur dengan jelas tentang standar normatif ketenagakerjaan. 

“PRT ini bekerja di wilayah rumah tangga  dianggap privat tidak ada kontrol sosial, tidak pengawasan dari Pemerintah,” ujar Lita. 

Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Bersama dengan Jala PRT, selama 18 tahun Lita mengadvokasi RUU PRT. Hasilnya masih nihil hingga kini.  Luviana dari Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja mengatakan bahwa mendorong Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja bisa jadi salah satu langkah taktis agar kerja-kerja yang dilakukan oleh PRT diakui dan dilindungi oleh negara. 

“Itu salah satu cara agar PRT bisa diakui negara, dan bisa lepas dari kekerasan dan pelecehan, dan diskriminasi di dunia kerja,” ujar Luviana. 

Dalam ringkasannya, ILO mengatakan bahwa mereka mengambil pendekatan pragmatis, dengan mendefinisikan kekerasan dan pelecehan sebagai “serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima” yang “bertujuan, mengakibatkan, atau mungkin menimbulkan cidera secara fisik, psikologis, seksual dan ekonomi”. Artinya definisi tadi juga mencakup mencakup penyiksaan secara fisik, lisan, perundungan dan pengeroyokan, pelecehan seksual, ancaman dan penguntitan. 

Konvensi ILO 190 ini juga mengatur secara luas cakupan kelompok yang bisa terlindungi. Artinya jika konvensi ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, mereka yang bekerja akan terlindungi baik di sektor formal dan informal, tanpa memandang status kontrak kerja, termasuk pemagang, sukarelawan, pencari kerja. Dengan demikian, lanjut Luvi, nantinya PRT menjadi salah satu kelompok yang dilindungi. 

Tidak hanya itu, jika Konvensi ILO ini bisa diratifikasi pemerintah, Lilis, Nanik, Yuni, dan lebih dari 5 juta PRT lainnya di Indonesia bisa dengan mudah mendapatkan akses pemulihan yang tepat dan efektif; serta mekanisme dan prosedur pelaporan; dan penyelesaian perselisihan yang aman, adil dan efektif. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI