Suara.com - Pagi itu tubuh Lilis mendadak demam. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Kepalanya pusing seperti akan terserang flu. Ia pun melapor ke majikan bahwa tengah tidak enak badan, dan suhu tubuhnya naik turun sejak semalam. Kala itu ia hanya diberi obat rumahan untuk penurun demam dan mengatasi pusing.
Majikan di tempatnya bekerja membebaskan tugas bersih-bersih rumah pada hari itu. Ia hanya diminta memasak untuk tamu. Sepanjang hari tubuhnya makin lemas dan sering duduk. Melihat kondisinya, sang majikan meminta Lilis untuk pulang dan istirahat. Kebetulan kala itu sudah masuk akhir pekan. Sehingga Lilis bisa istirahat selama dua hari.
“Kalau misal hari Minggu gejala saya, atau kondisi saya tidak membaik, saya akan hubungi bisa tidaknya saya bekerja atau kelanjutannya,” ujar Lilis Suryani ke majikannya kala itu.
Hingga Senin pagi, kondisinya tidak kunjung membaik. Batuk dan pilek masih hinggap di tubuhnya. Sehingga, ia memutuskan untuk memberi kabar majikannya bahwa belum bisa masuk bekerja pada hari itu. Pada Selasa, kondisi Lilis berangsur membaik. Ia berencana untuk kembali ke rumah majikannya dan bekerja.

Namun, ia diminta untuk melakukan tes PCR, untuk mengidentifikasi Covid-19, terlebih dahulu. Satu hari berselang hasil tes PCR menunjukkan bahwa Lilis positif Covid-19. Lilis kesulitan melacak dari mana ia tertular. Satu yang Lilis ingat ia memang sering kontak dengan seorang pengemudi yang juga bekerja di rumah majikanya. Pengemudi itu memang kerap beberapa kali batuk-batuk.
Terlepas dari mana dan siapa ia tertular, waktu kerja yang dijalani Lilis memang melebihi batas yang diatur Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ia mulai bekerja pukul 05.30 dengan membersihkan kantor majikannya, merapikan rumah, memasak, hingga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pukul 19.00 ia juga harus menyiapkan makan malam. Pekerjaannya baru selesai pukul 20.00 setelah ia membereskan meja makan. Kondisi kelelahan itu yang diduga jadi pemicu ia rentan tertular virus corona.
Lilis memutuskan menceritakan kondisinya dengan menulis di sebuah media. Tidak lama setelah tulisan itu terbit, ia justru dipecat. Lilis digugat dituduh mencemarkan nama baik majikannya. Ia diminta meminta maaf lewat media massa dan digugat untuk membayar Rp 60 juta.
“Padahal di situ saya hanya menuliskan kondisi kerja saya, dan tidak ada sama sekali menyebut nama majikan atau rumah dia,” kata Lilis.
Kejadian itu bagai petir yang menyambar Lilis di siang bolong. Belakangan diketahui bahwa tulisan itu ternyata dibaca oleh salah satu karyawan di tempat majikannya bekerja. Majikan tempat Lilis bekerja merupakan salah satu petinggi jaringan hotel internasional di Jakarta. Lilis dipekerjakan oleh hotel tempat majikannya bekerja sebagai salah satu dukungan atas jabatan majikannya. Sehingga, nama Lilis tercatat sebagai salah satu pekerja di hotel tersebut.
Baca Juga: Stigma dan Diskriminasi Masih Jadi Tantangan Eliminasi Kusta di Indonesia
Lilis yang didampingi oleh Jala PRT juga tidak tinggal diam. Ia mengirimkan surat somasi balik kepada majikannya. Ia menggugat majikannya karena melakukan PHK sepihak dan juga tidak menunaikan hak normatif yang mestinya diterima Lilis.