Melek Kesetaraan Gender Bareng SEJUK, Publik Harus Setop Objektifikasi Perempuan

Eleonora PEW Suara.Com
Rabu, 09 Maret 2022 | 18:35 WIB
Melek Kesetaraan Gender Bareng SEJUK, Publik Harus Setop Objektifikasi Perempuan
Direktur SEJUK Alex Junaidi berbicara dalam workshop FORB Friendly Media di kantor Suara.com, Jakarta Selatan, Rabu (9/3/2022). [Suara.com/Eleonora PW]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Serikat Jurnalis untuk keberagaman (SEJUK) Alex Junaidi mengajak publik, khususnya media, untuk melek keberagaman dan kesetaraan gender dan seksualitas.

Ia mengungkapkan, hingga kini realita pada masyarakat menunjukkan, perempuan sering ditempatkan sebagai properti karena budaya patriarki.

"Perempuan masih dianggap sebagai properti. Mereka dinilai dan dieksploitasi lebih banyak dari bentuk tubuh daripada pikirannya. Ini merupakan dampak dari budaya patriarki, sebuah sistem yang menempatkan laki-laki di atas perempuan," ungkap Alex dalam Workshop Freedom of Reigion and Belief (FORB) Friendly Media di kantor Suara.com, Jakarta Selatan, Rabu (9/3/2022).

Alex menambahkan, memang di Indonesia ada budaya matriarkal, seperti di Sumatra Barat, di mana garis keturunan perempuan menjadi generasi pewaris. Namun, tetap saja, di dunia politik, hampir semua posisi penting di kantor pejabat diisi laki-laki. Sedikit perempuan yang menduduki posisi penting.

Baca Juga: HRWG Ajak Jurnalis Memandang Isu Keberagaman di Indonesia dengan Perspektif HAM

Selain itu, dalam media, Alex menunjukkan hasil penelitian UNESCO: Women Make the News pada tahun 2018, hanya 10 persen berita yang fokus pada perempuan, 20 persen ahli yang diwawancarai perempuan, dan sedikit yang menentang gender stereotype, yakni hanya empat persen.

Dalam berita olahraga, pun meskipun berprestasi, hanya empat persen liputan media soal olahraga yang memberitakan perempuan. Kebanyakan menyorot penampilan fisik dan kehidupan pribadi, bukan kemampuan atletiknya.

"Kerangka berpikir patriarki kita membuat kita sering mengacu pada stereotype tentang perempuan, seperti perempuan yang baik adalah ibu rumah tangga yang bisa mendidik anak. Wanita karier harus bisa membagi waktu untuk keluarga," jelas Alex.

"Bapak-bapak jarang ditanya, 'Bapak bagaimana membagi waktu menjadi anggota DPR dan membantu dalam pengasuhan anak di keluarga?'"

Tak cukup sampai di situ, lanjut Alex, pada kasus kekerasan seksual, korban sering menjadi pihak yang disalahkan, seperti pada September 2011, pejabat menyalahkan perempuan yang memakai rok mini dan anggota DPR menyalahkan perempuan yang jalan sendirian.

Baca Juga: Media Memiliki Pengaruh dalam Mempromosikan Koeksistensi yang Damai Antarumat Beragama

Menanggapi fenomena sudut pandang kekerasan seksual pada korban ini, Alex menyarankan publik dan media untuk menghindari penggunaan kata-kata penghalusan atau eufimisme, seperti menodai dan menggagahi.

"Seolah korban pemerkosaan menjadi kotor. Ini mendatangkan trauma bagi korban. Sebaiknya gunakan kata-kata memperkosa atau melakukan kekerasan seksual. Berpihaklah pada korban," tegas Alex.

Detail fisik korban pun perlu dihindari karena dapat memberi kesan seakan kejahatan dipicu kondisi fisiki korban. Sebaiknya cukup ada fakta, usia, dan kekerasan yang dilakukan pelaku.

Bukan hanya perempuan, Alex juga menyoroti soal LGBT.

"Hindari kata homo, kaum homo, lesbi. Itu ofensif, menyerang teman-teman gay dan lesbian. Orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda bukan berarti menyimpang. Selain itu, pedofilia tak hanya dilakukan gay, banyak juga yang heteroseksual. Mereka penjahat, cukup penjahat, tidak ada kaitannya dengan seksualitas," tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Alex menjelaskan perbedaan seks, gender, dan seksualitas.

Seks, jelas Alex, berkaitan dengan biologis, sementara seksualitas merupakan dimensi seks soal ketertarikan, perilaku, dan soal identitas.

"Misalnya saya tertarik dengan perempuan, berperilaku, saya menyebut diri saya heteroseksual. Itu yang dimaksud dengan seksualitas," kata Alex.

Terakhir, untuk gender, Alex mengungkapkan, "Itu keragaman, perbedaan laki-laki dan perempuan, lebih pada konstruksi sosial, apa yang dilekatkan pada kita. Socially constructed. Maskulin, feminin. Laki-laki berkumis, gagah, macho, padahal cewek juga ada yang berkumis. Perempuan melahirkan, menyusui, lembut. Masyarakat melekatkan sifat-sifat itu ke kita, padahal perempuan ada yang macho, laki-laki ada yang lembut, gemulai."

Untuk diketahui, Suara.com bekerja sama dengan International Media Support (IMS) dan SEJUK menggelar Workshop FORB Friendly Media di Kantor Suara.com, Kawasan Mega Kuningan jalan Mega Kuningan Timur, Jakarta Selatan pada Rabu-Kamis, 9-10 Maret 2022.

Pelatihan ini mendatangkan berbagai pembicara profesional dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI