Bali Bebas Karantina, Bagus Buat Pariwisata, Tapi Epidemiolog Khawatir

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 08 Maret 2022 | 14:15 WIB
Bali Bebas Karantina, Bagus Buat Pariwisata, Tapi Epidemiolog Khawatir
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Uji coba kebijakan bebas karantina bagi turis asing di Bali, Bintan, dan Batam yang berlaku mulai Senin (07/03) berpotensi menjadikan wilayah itu sebagai "lumbung kasus" yang memicu munculnya mutasi baru virus Corona, kata Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono.

Di sisi lain, masyarakat dan pelaku pariwisata di Bali menyambut baik dan berharap kebijakan itu menjadi titik awal bangkitnya ekonomi di Bali setelah dua tahun dihantam pandemi.

"Ini angin segar buat industri pariwisata di Bali, harapannya uji coba ini sukses, berlangsung kalau bisa selamanya, sudah lama juga kita pekerja pariwisata dirugikan dari dampak Covid-19 ini," kata seorang pemandu wisata di Bali, Kadek Arsa kepada BBC News Indonesia, Senin (07/03).

Sedangkan Virolog dari Universitas Udayana, I Gusti Ngurah Kade Mahardika berpendapat kebijakan ini "dapat diterima" dengan mempertimbangkan situasi penularan Covid-19 di Bali yang telah membaik.

Baca Juga: Tanggapi Soal 'Pelesiran' ke Bali, Ketua Komisi I DPRD Bogor Usep Supratman Kesal: Sudah Haknya Dewan

Meski demikian, dia menekankan penerapan prosedur dan protokol kesehatan penting ditegakkan untuk mengurangi risiko penularan yang tinggi.

Sebab, penerapan protokol kesehatan masih kerap kendur di sejumlah tempat maupun acara.

"Masih banyak yang acuh, sebelum Nyepi, arak-arak Ogoh-Ogoh itu tidak prokes, diminta 25 orang jaga jarak, tapi ternyata ada ratusan ribu orang berkumpul di satu tempat," ujar Mahardika.

Warga Bali lainnya, Putu Indar Meilita, 41, menuturkan bahwa pelanggaran protokol kesehatan masih kerap terlihat, termasuk di kalangan wisatawan asing.

Dia meminta pemerintah memastikan bahwa prosedur kedatangan turis asing dan protokol kesehatan betul-betul diterapkan secara disiplin.

Baca Juga: NTB Berharap Bebas Karantina Seperti di Bali Juga Bisa Diberlakukan

Soalnya, dia khawatir kasus yang tak terkendali bisa kembali menghantam pelaku pariwisata.

"Terutama untuk warga negara asing ya, apakah mereka diperbolehkan lepas masker, kalau tidak boleh apa ada punishment-nya.

"Kalau mereka tidak bersedia, apa sanksinya? Kalau ada pandemi lagi, itu kan beban masyarakat juga, lockdown lagi.

"Jadi memang berharapnya dari pemerintah dulu, SOP-nya seperti apa, ketatnya seperti apa," ujar Meilita.

Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan kebijakan ini telah mempertimbangkan risikonya "dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan".

Selain itu, protokol kesehatan yang ketat akan tetap berlaku dalam kebijakan ini.

Apa pertimbangan pemerintah?

Sandiaga Uno mengatakan, salah satu pertimbangannya adalah karena Bali "sudah mencapai herd immunity" berdasarkan survei serologi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri.

"90% masyarakat Bali sudah memiliki antibodi Covid-19, situasi pandemi di Bali juga menurun signifikan, Batam, Bintan juga sangat menggembirakan," kata Sandiaga dalam konferensi pers pada Senin (07/03).

Apabila uji coba ini berhasil, maka pemerintah akan menerapkan kebijakan serupa di seluruh Indonesia, katanya.

Sandiaga Uno mengatakan kebijakan ini akan dievaluasi setiap minggu. Apabila berhasil, maka ketentuan serupa akan diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia pada 1 April 2022.

"Tapi tidak menutup kemungkinan kalau dalam satu minggu atau dua minggu ke depan angka penularan Covid-19 dalam situasi terkendali, tentunya tidak menutup kemungkinan kita mempercepat bebas karantina untuk seluruh wilayah Nusantara," ujarnya.

Sejauh ini, kebijakan bebas karantina baru berlaku di Bali, Batam, dan Bintan.

Sedangkan untuk pelaku perjalanan dari luar negeri dan jemaah umroh di wilayah lainnya, pemerintah masih mewajibkan karantina selama sehari mulai Selasa (8/3).

Apa saja syarat dan ketentuan bebas karantina di Bali?

Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM telah menerbitkan ketentuan terkait visa kunjungan saat kedatangan (Visa on Arrival/VOA) bagi wisatawan dari 23 negara.

Diantaranya, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Turki.

Tarif yang dikenakan untuk penerbitan VOA itu ialah sebesar Rp500 ribu dengan masa tinggal selama 30 hari.

Apabila mereka terbukti melakukan pelanggaran protokol kesehatan dan mengganggu ketertiban umum, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan terkait syarat yang berlaku, Indonesia mewajibkan turis asing yang datang harus sudah divaksin Covid-19 dosis lengkap.

Wisatawan juga wajib menunjukkan hasil negatif berdasarkan tes PCR sebelum keberangkatan, memiliki bukti reservasi hotel selama minimal empat hari, serta asuransi kesehatan sebagai jaminan perawatan apabila terinfeksi Covid-19 selama di Bali.

Begitu tiba di Bali, wisatawan juga wajib menjalani tes PCR sebanyak dua kali. Apabila hasil tes PCR pertama negatif, maka wisatawan boleh bepergian di Bali.

Apabila pada hari ketiga tes PCR mereka juga negatif, maka wisatawan tersebut boleh bepergian hingga ke luar Pulau Bali.

Bagaimana tanggapan warga dan pelaku pariwisata Bali?

Salah satu pemandu wisata di Bali, Kadek Arsa, 27, mengatakan uji coba bebas karantina ini bagaikan "angin segar" baginya, setelah hampir dua tahun penghasilannya terdampak akibat pandemi.

Pandemi membuat Kadek sempat menganggur tanpa penghasilan sama sekali selama 1,5 tahun.

Dia pun memilih pulang ke kampungnya yang berlokasi di Kintamani, Bali. Hal serupa juga dialami oleh tujuh sepupunya yang juga bekerja di sektor pariwisata.

Baru pada pertengahan 2021, Kadek bisa kembali bekerja setelah pariwisata Bali mulai kembali bergerak dengan kedatangan turis-turis domestik.

Meski demikian, penghasilan yang dia dapat pada masa itu masih 50% lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi.

Menurut Kadek, kehadiran turis asing dibutuhkan untuk membuat pariwisata Bali kembali pulih seperti sedia kala.

Namun di sisi lain, dia juga khawatir penerapannya yang berisiko membuat kasus Covid-19 meningkat lagi sehingga kebijakan pembatasan mobilitas pun kembali berlaku.

Kadek mengaku sudah lelah dengan tarik ulur kebijakan, terutama terkait pembukaan akses bagi wisatawan asing, yang membuat pelaku pariwisata merasa seperti "diberi harapan palsu".

"Kekhawatiran itu ada, pasti, karena kita berhadapan dengan virus. Mungkin di tempat wisata benar-benar harus ada pengecekan rutin.

"Jadi meskipun pintu dari luar negeri dibuka tapi protokol kesehatannya selalu dijaga, bukan sekadar jargon," kata dia.

Dengan demikian, "keberlangsungan pariwisata itu terjaga, tidak ada lagi kekecewaan dari kami."

"Kalau kasus meningkat, uji coba bebas karantina tidak berhasil, sudah pasti kami kena harapan palsu lagi," lanjut Kadek.

Hal serupa juga disampaikan oleh warga Bali bernama Putu Indar Melita, 41. Lita sapaan akrabnya menekankan agar prosedur kedatangan turis asing serta protokol kesehatan benar-benar diterapkan secara disiplin.

"Harus ada bantuan dari pemerintah untuk memperketat ini, tidak hanya mengizinkan turis asing ke Bali tanpa karantina dan tidak sesuai prosedur. Pemerintah harus memastikan turis asing selama di Bali menjalankan prokes ketat sesuai SOP," jelas dia.

Lita sendiri sebelumnya bekerja di sektor perhotelan, namun dia dirumahkan tanpa digaji ketika pandemi melanda.

Situasi itu membuat Lita harus bekerja lepas untuk pihak lain demi menyambung hidup.

Setelah dua tahun tidak ada kepastian kapan perekonomian Bali bisa pulih seperti sedia kala, Lita akhirnya memutuskan pindah ke industri ritel.

"Saat kebijakan karantina ditiadakan, jelas masyarakat Bali, meskipun saya sudah hijrah, itu happy.

"Hospitality adalah napasnya bali. Pekerja pariwisata kan kontribusi untuk perekonomian di semua lini.

"Jadi kalau pariwisata Bali kembali, pasti sangat berperan," kata dia.

Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, I Gusti Agung Rai Suryawijaya mengatakan pelaku industri yang mereka naungi telah menandatangani pakta integritas untuk mengikuti prosedur dan protokol kesehatan.

"Kalau mereka melakukan pelanggaran kecil, akan diberi surat peringatan. Kalau besar bisa kita tutup, sampai mereka melakukan perubahan dan komitmen," kata Rai.

Sedangkan turis asing yang melanggar, misalnya tidak menggunakan masker, bisa didenda sebesar Rp1 juta berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 Tahun 2021.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Made Rentin, belum merespons permintaan wawancara BBC News Indonesia.

Bagaimana kesiapan industri pariwisata di Bali?

Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, I Gusti Agung Rai Suryawijaya mengatakan persiapan para pelaku pariwisata "sudah sangat matang".

Menurut Rai, mayoritas pekerja pariwisata telah divaksin tiga kali, hotel dan restoran juga telah mendapatkan sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety, Environment), terintegrasi dengan aplikasi PeduliLindungi, serta telah bekerja sama dengan rumah sakit untuk pelaksanaan tes Covid-19.

Persiapan dan sistem itu juga telah mereka terapkan ketika pemerintah membuka penerbangan internasional sejak awal Februari lalu. Hanya saja pada saat itu, wisatawan asing hanya boleh bepergian di Bali dalam sistem travel bubble.

"Selama dibukanya penerbangan itu pun yang positif kecil sekali, hanya 0,04 persen dari sekitar 3.000 orang yang datang (sejak Februari)," kata Rai.

Pelaku wisata, lanjut dia, juga telah menyiapkan rencana mitigasi dengan bekerja sama bersama 62 rumah sakit dengan ribuan kamar rawat inap serta 26 laboratorium untuk melakukan tes PCR.

Berapa banyak wisatawan asing yang ditargetkan datang?

Rai menargetkan sebanyak 3.300 wisatawan asing per hari akan datang ke Bali dengan kebijakan bebas karantina.

Sejauh ini, baru sekitar sebelas maskapai yang telah beroperasi dengan rute penerbangan dari luar negeri ke Bali dengan frekuensi yang masih terbatas.

Namun menurut Rai, target itu belum cukup untuk memulihkan perekonomian Bali seperti sedia kala.

"Angka 3.300 ini juga belum cukup mengisi okupansi (keterisian kamar hotel), paling hanya bisa meningkatkan okupansi rata-rata secara regional menjadi 30 persen," kata Rai yang menyebut bahwa rata-rata keterisian hotel di Bali saat ini berkisar 20-25%.

Baca juga:

Pekerja pariwisata yang dirumahkan atau di-PHK akibat pandemi pun belum bisa sepenuhnya terserap kembali dalam kondisi saat ini. Tetapi dia berharap uji coba ini menjadi titik awal bagi kebangkitan pariwista Bali.

Secara umum, Kementerian Pariwisata menargetkan 1,8 juta hingga 3,6 juta wisatawan asing datang ke Indonesia pada 2022.

Target itu masih jauh lebih kecil dibanding sebelum pandemi pada 2019, di mana kunjungan wisatawan asing bisa mencapai 16 juta.

Apa konsekuensinya terhadap penularan Covid-19?

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, berpendapat uji coba bebas karantina ini belum tepat dilaksanakan saat ini, mengingat Indonesia belum sepenuhnya berhasil menekan kasus Omicron.

Dia khawatir dihilangkannya kebijakan karantina ini akan memicu persilangan mutasi antar varian virus corona dari negara berbeda.

"Itu (mutasi) yang ditakutkan. Varian Alfa, Beta, Delta, Gama bersatu dengan Omicron kemudian bermutasi."

"Bali jadi lumbung kasus. Ada potensi penularan varian apa saja, semua kasus akan meningkat kalau tidak ada karantina," kata dia.

Menurut Tri Yunis, pemerintah semestinya menetapkan kebijakan bebas karantina apabila status pandemi telah dicabut.

Untuk saat ini, dia mengatakan sistem gelembung perjalanan (travel bubble) cenderung lebih aman dan mudah diawasi.

"Kalau bubble gampang diawasi, kalau enggak bubble sulit lah mengawasinya, (wisatawan) kemana-mana enggak karuan," kata dia.

Selain itu, dampaknya juga akan terasa di provinsi-provinsi lain. Apalagi pemerintah juga menghapus kewajiban tes PCR maupun antigen untuk pelaku perjalanan domestik yang telah divaksin lengkap.

Baca juga:

Sementara itu, Virolog dari Universitas Udayana, I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan kebijakan bebas karantina ini "bisa diterima" apabila mempertimbangkan sejumlah indikator pandemi di Bali.

Sebab menurut dia, positivity rate (perbandingan jumlah kasus positif dengan orang yang dites) di Bali telah mencapai 3%, lebih rendah dibanding angka nasional yang masih berkisar 15%.

"Kasus di Bali itu trennya memang menurun, sejak 25 Februari sudah konsisten menurun, hanya angka fatalitasnya belum turun terutama pada lansia dan komorbid," kata Mahardika.

Selain itu, lebih dari 80% penduduk Bali telah divaksin sehingga dirasa telah cukup memberi perlindungan bagi warga lokal.

"Dengan pelaku perjalanan luar negeri yang sudah divaksin, PCR negatif, saya kira itu sudah cukup untuk menekan risiko," kata dia.

Namun Mahardika mengingatkan, fasilitas kesehatan di Bali harus siap menghadapi potensi kasus yang muncul dari wisatawan asing yang datang.

"Kalau mereka tertular selama di Bali akhirnya harus masuk rumah sakit, apakah rumah sakit kita akan bisa memenuhi kriteria rumah sakit di luar negeri? Itu yang saya worry, kalau sedikit saja worst case scenario-nya fatal di Bali, tentu akan menimbulkan kesan yang tidak baik bagi wisatawan," kata dia.

REKOMENDASI

TERKINI