Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pengamat: Rakyat Seharusnya Berkuasa, Bukan Oligarki!

Selasa, 08 Maret 2022 | 10:48 WIB
Wacana Penundaan Pemilu 2024, Pengamat: Rakyat Seharusnya Berkuasa, Bukan Oligarki!
Presiden Joko Widodo saat peresmian Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) seksi I Binjai-Pangkalan Brandan ruas Binjai-Stabat di Langkat, Sumatera Utara, Jumat (4/2/2022). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Lmo
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat politik Pangi Syarwi memberikan respons mengenai wacana penundaan Pemilu 2024.

Dikutip dari makassar.terkini--jaringan Suara.com, wacana penundaan Pemilu 2024 disebut bisa membahayakan demokrasi.

"Kita (bangsa, red) tidak boleh mundur kembali dari demokrasi," kata Pangi, seperti dikutip dari makassar.terkini--jaringan Suara.com, Selasa (8/3/2022).

Menurutnya, demokrasi merupakan produk reformasi sehingga perlu diperjuangkan.

Baca Juga: Tanggapi Mahfud MD, PPP Minta Tak Ada Lagi Pihak Seret Nama Jokowi Terlibat Wacana Tunda Pemilu

Pangi mengatakan, tidak ada rezim yang bisa bertahan tanpa legitimasi rakyat.

"Kalau rakyat menolak penundaan pemilu dan menolak penambahan masa jabatan presiden, itu sebetulnya sama dengan vitamin untuk memperkuat daya tahan tubuh," ujarnya.

Tak hanya itu, menurutnya, penundaan Pemilu 2024 akan menghilangkan kualitas demokrasi negara.

Sebab seharusnya rakyat yang harus berkuasa, bukan kuasa oligarki.

"Negara tidak boleh tergelincir menjadi despotisme (sewenang-wenang)," bebernya.

Baca Juga: Isu Masa Jabatan Presiden Disebut Jadi Bukti Ketidakyakinan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

Selain itu, penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden merupakan bentuk regresi demokrasi.

"Asumsi itu semakin menempel pada pemerintahan saat ini, anasir Presiden Jokowi sedang bermain dengan konfigurasi aktor politik nondemokratis," jelasnya.

Pangi menjelaskan, bahwa sebanyak 73,7 persen responden mengaku tidak setuju dengan usulan penambahan masa jabatan presiden tiga periode.

Sementara, 34,4 persen beralasan wacana itu mengakibatkan kemunduran demokrasi.

Sisanya menolak karena menilai regenerasi kepemimpinan negara akan mandek.

Kemudian, 9,9 persen dari responden yang menolak usulan tersebut mengaku menghindari KKN dan oligarki.

Ada 8,7 persen mengaku tidak mau mengkhianati demokrasi dan 4,6 persen menilai usulan tersebut bertujuan untuk menjebak presiden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI