Suara.com - Di tengah sengitnya invasi Rusia ke Ukraina, sulit menatap ke depan. Berita dari medan pertempuran, meja diplomasi, serta kedukaan keluarga korban tewas dan para pengungsi datang bergelombang.
Karena itu, mari duduk dengan tenang dan membahas apa saja kemungkinan yang bakal terjadi di Ukraina. Apa saja skenario yang sedang ditinjau para politisi dan perencana militer? Berikut lima kemungkinannya.
Perang singkat
Dalam skenario ini, Rusia menggencarkan operasi militernya. Akan ada gempuran artileri dan serangan membabibuta di seantero Ukraina. Angkatan Udara Rusia—yang sejauh ini kurang terdengar memainkan peranan—akan melancarkan serangan udara mematikan.
Serangan siber besar-besaran juga melanda Ukraina, menargetkan sejumlah infrastruktur kunci di Ukraina. Pasokan energi dan jaringan komunikasi diputus. Ribuan warga sipil tewas.
Baca Juga: Mantan Dubes RI untuk Ukraina Soal 9 TKI Asal Binjai: Saya Yakin Mereka Pulang
Meskipun sudah melakukan perlawanan dengan gigih, pasukan Ukraina kalah dan Kyiv jatuh ke tangan Rusia dalam beberapa hari.
Pemerintah Ukraina kemudian diganti dengan rezim boneka pro-Rusia. Presiden Volodymyr Zelensky bisa dibunuh atau kabur ke bagian barat Ukraina atau luar negeri untuk membentuk pemerintahan terasing.
Presiden Putin mendeklarasikan kemenangan dan menarik pasukannya, namun menyisakan beberapa unit untuk mempertahankan kendali atas Ukraina. Ribuan warga Ukraina berbondong-bondong mengungsi ke Barat. Belarus menjadi negara yang tunduk pada Rusia.
Kemungkinan ini tidak mustahil, tapi bakal tergantung pada beberapa faktor: Pasukan Rusia menguasai kawasan-kawasan kunci, lebih banyak personel yang dikerahkan, dan semangat tempur pasukan Ukraina memudar.
Putin mungkin bisa mengubah pemerintahan di Kyiv serta mengakhiri upaya Ukraina bergabung ke kekuatan Barat. Meski demikian, pemerintahan pro-Rusia bakal tidak sah dan rentan mengalami pemberontakan.
Kondisi itu bakal tidak stabil dan kemungkinan konflik pecah lagi akan tinggi.
Perang berkepanjangan
Kuat kemungkinan konflik ini akan berkepanjangan. Mungkin pasukan Rusia akan terhambat, daya juangnya menurun, logistik buruk, dan kepemimpinan yang tidak becus.
Mungkin perlu waktu lebih panjang bagi pasukan Rusia untuk merebut Kyiv karena banyak petempur bergerilya. Pengepungan untuk waktu yang lama kemudian bisa terjadi.
Hal ini mengingatkan kita pada upaya Rusia nan brutal dan lama untuk merebut serta menghancurkan Grozny, ibu kota Chechnya, pada 1990-an.
Kendati ketika pasukan Rusia berhasil menembus sejumlah kota di Ukraina, ada kemungkinan mereka sulit mempertahankan kendali.
Mungkin Rusia tidak mampu mengerahkan jumlah pasukan yang cukup untuk ditempatkan di negara yang sedemikian luas.
Pasukan Ukraina lantas berubah menjadi pasukan pemberontak yang efektif, punya daya juang tinggi, serta mendapat sokongan masyarakat. Adapun negara-negara Barat terus menyediakan senjata dan amunisi.
Setelah beberapa tahun, mungkin dengan kepemimpinan yang baru di Moskow, pasukan Rusia akhirnya meninggalkan Ukraina dengan berdarah-darah seperti ketika hengkang dari Afghanistan pada 1989—satu dekade setelah bertempur melawan mujahidin.
Rusia menyerang Ukraina:
- PERKEMBANGAN TERAKHIR: Laporan terbaru invasi Rusia ke Ukraina
- LATAR BELAKANG: Mengapa Putin menginvasi Ukraina?
- DALAM PETA: Dari mana saja Rusia menyerang?
- SANKSI RUSIA: Rusia menyerbu Ukraina, sanksi-sanksi apa saja yang dijatuhkan Barat?
Perang Eropa
Mungkinkah perang ini keluar dari perbatasan Ukraina? Presiden Putin bisa saja bertekad mengambil alih bekas wilayah mendiang Uni Soviet dengan mengirim pasukan ke Moldova dan Georgia yang bukan anggota NATO.
Atau bisa saja terjadi salah perhitungan dan eskalasi. Putin dapat menyatakan pasokan persenjataan dari Barat kepada pasukan Ukraina sebagai tindakan agresi sehngga dia melakukan pembalasan.
Dia juga dapat mengancam untuk mengirim pasukan ke negara-negara Balkan—yang merupakan anggota NATO—seperti Lithuania untuk menciptakan koridor darat dengan wilayah pesisir Rusia, Kaliningrad.
Berperang dengan anggota NATO adalah tindakan berbahaya dan berisiko. Sebab sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Piagam NATO, serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan kepada semua anggota.
Bagaimanapun, Putin bisa mengambil risiko itu jika dia merasa bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kekuasaannya.
Jika Putin menghadapi kekalahan di Ukraina, dia bisa tergoda untuk mengeskalasi konflik.
Dari invasi ke Ukraina, kita sekarang tahu bahwa Putin siap melanggar norma-norma internasional. Logika serupa bisa diterapkan pada penggunaan senjata nuklir. Pekan ini Putin menyiagakan satuan tugas nuklir Rusia pada taraf siaga tertinggi.
Sebagian besar analis meragukan bahwa penggunaan senjata nuklir bisa terjadi dalam waktu dekat. Namun, itu adalah pengingat bahwa doktrin Rusia membolehkan penggunaan senjata taktis nuklir di medan pertempuran.
Solusi diplomatik
Apakah masih ada solusi diplomatik?
"Sekarang senjata yang bicara, namun jalur dialog mesti harus tetap terbuka," kata Sekjen PBB, António Guterres.
Dialog jelas masih berlangsung. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah berbincang dengan Putin melalui telepon. Kemudian, para pejabat Ukraina dan Rusia telah bertemu untuk berunding di perbatasan Belarus.
Mereka mungkin tidak mencapai banyak kemajuan. Namun, dengan menyepakati pembicaraan, Putin setidaknya menerima kemungkinan negosiasi gencatan senjata.
Pertanyaan kuncinya, apakah Barat bisa menyediakan "off ramp"—istilah yang dipakai para diplomat dengan meminjam sebutan bagi jalur keluar dari jalan tol di Amerika Serikat.
Para diplomat menegaskan bahwa penting bagi Putin untuk mengetahui apa yang diperlukan agar rangkaian sanksi dari negara-negara Barat bisa dicabut sehingga dia tidak kehilangan muka.
Baca juga:
- 'Perang ekonomi' terhadap Rusia: 'Tiada dollar, saya tidak tahu harus berbuat apa!'
- Apa dan siapa oligarki, kelompok super kaya yang juga terkena sanksi Barat
- Mengapa Indonesia tidak menyebut 'invasi dan Rusia' dalam perang di Ukraina?
Pertimbangkan kemungkinan ini.
Perang berakibat buruk bagi Rusia. Rangkaian sanksi mulai membuat resah Moskow. Aksi protes mulai berkembang dan kantong-kantong jenazah serdadu berdatangan.
Putin lantas bertanya-tanya apakah invasi yang dilakukan sebanding dengan hasil negatif yang dia alami. Dia bisa menilai bahwa melanjutkan perang mungkin menimbulkan ancaman lebih besar terhadap kekuasannya ketimbang rasa malu mengakhiri invasi.
China turut campur, mendesak Moskow agar berkompromi sembari memperingatkan bahwa Beijing tidak akan menbeli minyak dan gas Rusia jika konflik tidak diredakan.
Putin kemudian mulai mencari jalan keluar. Di sisi lain, pemerintah Ukraina melihat kehancuran negara mereka dan menyimpulkan kompromi politik lebih baik ketimbang kehilangan nyawa dalam jumlah besar.
Para diplomat berinteraksi dan menghasilkan kesepakatan.
Ukraina, katakanlah menerima kedaulatan Rusia atas Krimea dan beberapa bagian wilayah Donbas. Sebagai gantinya, Putin menerima kemerdekaan Ukraina dan hak mereka memperdalam hubungan dengan Eropa.
Ini boleh jadi kemungkinan yang tipis.
Tapi bukan hal yang mustahil skenario semacam itu bisa terwujud di tengah konflik berdarah.
Putin disingkirkan
Lalu bagaimana dengan nasib Vladimir Putin? Ketika melancarkan invasi, dia menyatakan: "Kami siap menghadapi hasil apapun".
Tapi bagaimana jika hasilnya adalah dia kehilangan kekuasaan? Mungkin ini sama sekali tidak terpikirkan. Namun, dunia telah berubah dalam beberapa hari terakhir dan hal itu juga tidak pernah terlintas dalam benak kita.
Profesor Sir Lawrence Freedman, Profesor emeritus bidang Kajian Perang di Kings College, London, menulis pada pekan ini: "Sekarang bisa saja terjadi perubahan rezim di Moskow seperti di Kyiv."
Mengapa dia berpendapat demikian?
Mungkin karena Putin menjalankan perang yang sarat malapetaka. Ribuan serdadu Rusia tewas, rangkaian sanksi ekonomi dirasakan warga, dan Putin kehilangan sokongan masyarakat.
Mungkin ada ancaman revolusi masyarakat. Kemudian Putin menggunakan aparat keamanan internal untuk menekan oposisi. Namun, kondisinya berubah masam sehingga elemen-elemen elite militer, politik, dan ekonomi yang melawan Putin. Terjadi kudeta berdarah di Istana Kepresidenan dan Putin dilengserkan.
Negara-negara Barat sudah menegaskan bahwa jika Putin hengkang dan digantikan pemimpin yang lebih moderat, maka rangkaian sanksi akan dicabut dan hubungan diplomatik dipulihkan.
Hal ini mungkin sama sekali mustahil sekarang. Namun, ini bukan mustahil jika orang-orang yang selama ini mengambil untung dari Putin, kini tak lagi percaya Putin bisa melindungi kepentingan mereka.
Kesimpulan
Skenario-skenario ini tidak berdiri sendiri—bisa saja ada gabungan beberapa skenario dan menciptakan hasil berbeda.
Yang jelas, konflik sedang berlangsung dan dunia telah berubah sehingga tidak kembali ke status quo.
Hubungan Rusia dengan negara lain akan berbeda. Sikap Eropa terhadap keamanan akan berubah.
Kemudian, tatanan dunia yang berbasis aturan mungkin akan dirombak.