Suara.com - Presiden Joko Widodo sudah menyatakan taat, patuh, dan tunduk pada konstitusi untuk merespons wacana pemundaan pemilu 2024.
Sejumlah kalangan mengatakan dengan munculnya pernyataan dari Jokowi seharusnya menghentikan wacana yang bergulir dalam dua pekan terakhir.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik keras elite politik yang mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Jadi orang-orang yang sudah membincangkan dan mendukung perubahan konstitusi itu harusnya malu mengaku sebagai negarawan, semuanya itu, sebutkan saja ketua-ketua partai politik itu seharusnya malu, mereka mengkhianati konstitusi," kata Bivitri, Minggu (6/3/2022).
Baca Juga: Tanggapi Usulan Pemilu Ditunda, Pengamat: Harusnya Pengusul Diberi Hukuman
Wacana penundaan pemilu pertamakali disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, kemudian disuarakan lagi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan didukung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Alasan mereka, antara lain untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Bivitri menekankan keinginan untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden bukan keinginan masyarakat.
"Kita tidak mau konstitusi seenak-enaknya saja diubah berdasarkan kemauan elite politik, ini semua masih dipembicaraan elite, tidak ada di antara kita atau warga yang menunjukkan kemauan ini, paling tidak terbukti melalui beberapa survei belakangan ini," kata dia.
Inkonsistensi elite politik
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menyebut apa yang dilakukan sejumlah elite politik itu sebagai bentuk inkonsistensi.
Baca Juga: Jokowi Didesak Beri Respons Tegas Terkait Wacana Penundaan Pemilu 2024
Titi menyebut elite politik dulu ngotot ilkada 2020 tetap dilaksanakan dengan alasan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19.
Tapi sekarang, kata Titi, mereka menginginkan pemilu 2024 ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang dengan alasan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
"Kita bisa melihat bagaimana inkonsistensi elite itu dipertontonkan secara terbuka dan menjadi dasar bagi kita untuk menggugat berbagai argumentasi yang disampaikan oleh para elite itu," kata Titi.
Dia juga menyebut penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.
"Ini merupakan pelanggaran konstitusi terhadap asas kedaulatan rakyat, dimana asas kedaulatan rakyat selama ini kita praktekkan melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, menunda pemilu dengan alasan yang tidak logis, tidak lazim, dan tidak ada presedennya dalam praktik pemilu dunia yaitu mempertimbangkan stabilitas ekonomi membuat kedaulatan rakyat itu tidak bisa diaplikasikan," katanya.
Selain melanggar kedaulatan rakyat, kata Titi, penundaan pemilu juga melanggar konstitusi terhadap kewajiban pemilu secara periodik sesuai Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
"Kemudian, penundaan pemilu merupakan alasan untuk menerabas atau melanggar pembatasan masa jabatan yang diatur dalam Pasal 7 UUD," kata Titi.