Suara.com - Pada pertengahan Agustus tahun lalu, sekelompok penganut Hindu menyerang warung makan populer yang dijalankan oleh tiga bersaudara Muslim di kota kuil Mathura, Uttar Pradesh, India.
Mereka menuduh ketiga bersaudara Muslim itu mengambil keuntungan dari nama dewa Hindu, lalu merobek poster dan papan nama, kata Abid yang merupakan pemilik warung makan bernama Srinath Dosa Corner itu.
"Mereka bilang orang Hindu makan di sini karena mengira kami orang Hindu," ujar Abid.
Warung makan Abid terletak di pasar yang menjual barang-barang elektronik, hanya berjarak beberapa kilometer dari kuil yang didedikasikan untuk Dewa Krishna.
Baca Juga: Imbas Perang Rusia, India dan Cina Berbondong-bondong Evakuasi Warganya
Srinath merupakan nama lain Dewa Krishna, dan umat Hindu percaya bahwa Mathura merupakan tempat kelahirannya.
Setiap warung makan di dekat kuil itu dinamai berdasarkan nama dewa, kecuali warung makan Abid yang kini disebut American Dosa Corner.
Baca juga:
- Muslim di India: Keluarga korban yang dibunuh massa hidup di tengah ketakutan
- Anak-anak muda sayap kanan India yang menebar ujaran kebencian di media sosial
- 'Saya hanya membela hak saya': Perempuan Muslim India terdepan yang melawan larangan berjilbab di sekolah
Setelah video penyerangan warung makan itu viral, Abid melaporkannya ke polisi sehingga salah satu pelaku ditangkap.
Tetapi enam bulan kemudian, dia memilih meredam insiden itu "karena tidak ingin ada masalah," menurut seorang jurnalis lokal.
Baca Juga: Kecam Tindakan Represi Terhadap Muslim di India, PA 212 Minta Pemerintah Tak Berdiam Diri
Kasus kekerasan terhadap Muslim di Uttar Pradesh telah berulang kali menjadi sorotan sejak 2014, setelah Partai Bharatiya Janata Party (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi berkuasa di India.
Tiga tahun kemudian, BJP juga menang telak dalam pemilu di Uttar Pradesh. BJP menunjuk Yogi Adityanath, seorang biksu Hindu yang dikenal karena sikap anti-Muslimnya, sebagai menteri utama.
Beberapa hari setelah kemenangan itu, sebuah desa di Uttar Pradesh memasang poster yang meminta umat Islam untuk pergi.
Uttar Pradesh juga menjadi salah satu negara bagian pertama yang mengesahkan aturan anti-pindah agama, yang kerap digunakan untuk melecehkan dan memenjarakan laki-laki Muslim dalam hubungan beda agama dengan perempuan Hindu.
Muslim yang memprotes Undang-Undang Kewarganegaraan yang kontroversial itu dipukuli, bahkan harta benda mereka disita, hingga Mahkamah Agung menyatakan aturan itu ilegal.
Bahkan selama pandemi, para pemimpin BJP menuduh laki-laki Muslim melakukan "jihad korona" atau diduga bertindak untuk menyebarkan virus tersebut.
Diskriminasi yang berlangsung sehari-hari --dan jauh lebih berbahaya-- itu telah meminggirkan umat Islam yang berjumlah 40 juta atau sekitar 20% dari populasi Uttar Pradesh.
Saat pemilu diselenggarakan di Uttar Pradesh, komunitas Muslim mengatakan kepada BBC bahwa mereka telah menjadi "warga kelas dua".
Mufti Zahid Ali Khan, pensiunan profesor teologi di Universitas Muslim Aligarh, mengatakan Adityanath "berperilaku seperti politisi BJP, bukan pejabat pemerintah".
"Sejak dia berkuasa, umat Islam hidup dalam ketakutan. Setiap kali anak-anak kami pergi, istri kami berdoa agar mereka kembali dengan selamat."
Legislator sekaligus wakil presiden BJP di negara bagian Vijay Pathak menyatakan "tidak benar bahwa Muslim di Uttar Pradesh merasa terpinggirkan".
"Pemerintah tidak mendiskriminasi berdasarkan kasta atau agama, kami akan dipilih oleh lebih banyak Muslim dalam pemilu ini," kata dia.
Namun para kritikus menyoroti pernyataan-pernyataan anti-minoritas yang baru-baru ini diungkapkan oleh Yogi serta sejumlah pemimpin BJP.
Seorang anggota parlemen BJP mengatakan dia akan "memastikan" umat Islam berhenti menggunakan kopiah dan memakai bubuk Sindoor, seperti yang digunakan oleh umat Hindu, apabila dia terpilih kembali.
Pada bulan lalu, para pemimpin Hindu juga menyerukan serangan terhadap masjid dan ulama Muslim.
Mantan legislator dari partai oposisi Samajwadi di Aligarh, Zamirullah Khan, mengatakan "kami bekerja dengan umat Hindu, kami berdagang dengan mereka, menghadiri pernikahan di keluarga masing-masing," tetapi "politik kebencian terus meningkat" dan itu menjadi kian tajam setiap kali pemilu mendekat.
"Kami seperti kambing kurban -kami diberi makan dan digemukkan, kemudian disembelih untuk pesta. Politisi menggunakan sentimen anti-Muslim untuk mempolarisasi masyarakat dan memenangkan pemilu. Setelah pemilu selesai, semua orang pulang," kata dia.
Merujuk pada data resmi, Muslim adalah kelompok agama termiskin di India. Hampir 46% Muslim bekerja di sektor informal sebagai tukang listrik, tukang ledeng, penjual, dan pekerja harian. Gambaran serupa juga terjadi di Uttar Pradesh.
Pandemi dan kebijakan pemerintah pun hanya memperburuk situasi mereka.
Baca juga:
- Kesaksian warga Muslim di India yang jadi sasaran kelompok perusuh
- Aplikasi yang 'menjual' perempuan Muslim di India dicabut
- Sengketa perjuangan enam siswi Muslim di India untuk pakai hijab di sekolah makin memanas
Pemerintahan Adityanath telah menutup sekitar 150 rumah potong hewan dalam 4,5 tahun terakhir, yang secara tradisional dijalankan oleh warga Muslim dan dituduh beroperasi secara ilegal.
Rumah potong yang tetap beroperasi dipaksa tutup selama berhari-hari selama festival Hindu berlangsung di berbagai area.
Situasi ini berdampak buruk bagi para tukang daging, juga memaksa banyak konsumen mengubah pola makan mereka, kata seorang pemilik restoran di Mathura bernama Zakir Hussain.
Selama delapan tahun terakhir, Hussain dan saudara-saudaranya menjalankan Restoran Majeed yang terkenal dengan briyani ayamnya. Mereka bisa menyajikan 500 porsi dalam sehari.
Namun pada September, Adityanath melarang penyajian daging dalam radius 10 kilometer persegi dari Kuil Krishna. Padahal kuil ini berbatasan dengan masjid dan berada di area yang menjadi rumah bagi banyak keluarga Muslim.
Dalam semalam, hidangan khas di Restoran Majeed menghilang dari menu, begitu juga sebagian besar pelanggannya.
"Puluhan restoran dan sekitar seratus toko yang menjual daging dan telur tutup, Ribuan orang kehilangan mata pencaharian," kata Hussain.
Saudaranya, Shakir, mengatakan "ini dilakukan untuk membuat Muslim tersingkir dari bisnis ini sebab beberapa bulan terakhir, restoran non-vegetarian yang dijalankan oleh orang Hindu muncul di luar zona terlarang".
Ketiga bersaudara ini juga menyewa tempat di zona aman untuk membuka restoran baru, tetapi pada hari ketiga, mereka diserang oleh gerombolan yang diduga sebagai nasionalis Hindu.
"Mereka meminta kami memberi mereka makanan gratis dan membayar uang perlindungan setiap bulan. Ketika kami menolak, mereka menggeledah restoran dan menyerang kami," kata Zakir Hussain.
Zakir mengatakan mereka telah melaporkan hal ini ke polisi.
"Saya kehilangan tiga gigi, rahang saya patah, saya dirawat di rumah sakit selama sebulan. Kakak saya dan kerabat lainnya juga terluka," katanya.
Penyerang mereka mengajukan laporan kontra, menuduh perkelahian justru dimulai karena Hussain memaksa mereka makan daging sapi.
Bagi orang Hindu, sapi dianggap suci dan konsumsi daging sapi dilarang di banyak negara bagian, termasuk di Uttar Pradesh.
Keluarga Hussain beserta beberapa pemilik restoran lainnya telah mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Allahabad agar larangan itu dibatalkan.
BJP, kata Shakir Hussain, memainkan permainan yang berbahaya. "Kebencian telah menyebar begitu luas sehingga orang-orang takut. Hindu takut pada Muslim, Muslim takut pada Hindu."
Jurnalis Alishan Jafri, yang mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap Muslim, mengatakan pidato-pidato yang menghasut oleh para pemimpin BJP dan pendeta Hindu "bukan lagi retorika kosong. Ujaran kebencian ini berdampak pada kehidupan dan mata pencaharian umat Islam".
Mr Jafri mengatakan "identitas Muslim" sedang diserang di India.
"Ini telah menjadi sesuatu yang dianggap bisa diterima, ketika umat Hindu berhak tersinggung dengan apa yang dikenakan dan dimakan umat Muslim, atau dengan siapa mereka menikah. Ini adalah pembersihan secara perlahan terhadap Muslim."