Suara.com - Gabungan Serikat Buruh Indonesia ikut menyerukan dihentikannya operasi khusus militer Rusia di Ukraina.
GSBI, di lain sisi, juga menyerukan Amerika Serikat dan pakta pertahanan NATO menghentikan hasutan perang di Ukraina serta berbagai kawasan lainnya.
"Karena krisis perang di Ukraina jelas merugikan kepentingan pekerja dan rakyat negara tersebut, Eropa timur dan dunia," kata Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman melalui pernyataan tertulis, Sabtu (5/3/2022).
Rudi menegaskan, sikap GSBI ini juga merupakan kecaman keras bagi sistem imperialisme dan negara-negara imperialis yang terlibat mengobarkan perang di tengah pandemi covid-19 secara global.
Baca Juga: Sedih! Kisah Bocah di Ukraina Harus Tinggalkan Ayahnya di Kyiv, Demi Mengungsi ke Polandia
Untuk diketahui, imperialisme adalah sistem penjajahan satu bangsa terhadap bang lain. Sementara negara imperialis adalah negara yang memperluas daerah jajahan atau pengaruhnya untuk kepentingan industri serta modal.
Hasutan perang AS - NATO
Ia mengatakan, Ukraina sejak 24 Februari 2022, menjadi medan perang baru antara dua kekuatan imperialis besar dunia: Amerika Serikat dan pakta pertahanan NATO melawan Federasi Rusia bersama Collective Security Treaty Organization atau CSTO.
Perang itu pecah setelah Republik Federasi Rusia memberikan pengakuan kemerdekaan terhadap Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR).
Vladimir Putin menyatakan tujuan operasi militer itu untuk demiliterisasi serta de-Nazi-fikasi rezim boneka AS - NATO di Ukraina.
Alasannya, DPR dan LPR meminta Rusia menerjunkan pasukan guna melindungi rakyat Donestk dan Luhansk dari kekejaman rezim Neo-Nazi Ukraina yang Pro USA-NATO di bawah pepemimpinan Presiden Volodymyr Zelensky.
Kampanye politik militer Rusia ini juga didasarkan pada kepentingan pertahanan serta keamanan strategis Rusia dari ancaman AS - NATO.
"AS dan NATO secara berkelanjutan terus memperluas dominasi dan hegemoninya terhadap negara-negara Eropa tengah dan Eropa timur, tak terkecuali terhadap negara-negara bekas Uni Soviet yang kecil dan lemah, termasuk Ukraina," kata Rudi.
Ukraina, kata dia, sebelum pecahnya Uni Soviet Tahun 1991, merupakan bagian dari Union of Soviet Sosialist Republics atau USSR.
Ukraina dan Rusia, bahkan sudah memiliki hubungan historis yang kuat selama hampir 200 tahun, sejak sama-sama di bawah kekuasaan Tsar Rusia.
"Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, Ukraina maupun Rusia secara patriotis serta herois bersama-sama membangun masyarakat sosialis setelah secara gemilang memenangkan Revolusi Besar Sosialis Oktober tahun 1917."
Rudi meneruskan, rakyat Ukraina dan Rusia juga membuktikan dirinya sebagai patriot dan pahlawan besar dalam membela dan mempertahankan Tanah Air Soviet dari invasi brutal rezim Nazi Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.
Keduanya, juga memberikan sumbangan besar pada Front Pertempuran Kedua di Timur dalam Perang Dunia II yang sejatinya merupakan perang negara-negara imperialis II.
"Rakyat Ukraina serta Rusia memiliki jasa tak terlupakan dalam mengalahkan Nazi Jerman, ketika Tentara Merah Uni Soviet menjadi kekuatan yang pertama-tama berhasil menduduki Jerman pada tahun 1945 dan menggulingkan kekuasaan Adolf Hitler Nazi Jerman."
Rudi menjelaskan, Ukraina dan Rusia juga berhasil membangun modernisasi di bawah USSR. Namun, akibat garis keliru di bidang politik dan ekonomi era Uni Soviet pada akhir 1950-an, membuat perpecahan dan kebangkrutan Uni Soviet tidak terhindarkan.
Bubarnya Uni Soviet, pada akhirnya juga diiringi hancurnya Pakta Warsawa, yakni aliansi pertahanan politik militer sebagai tandingan terhadap North Atlantic Treaty Organization NATO.
Setelahnya, banyak negara-negara yang menjadi penyusun Uni Soviet mendeklarasikan kemerdekaan dan menjadi negara berdaulat, termasuk Ukraina.
Ia mengatakan, rentetan krisis ekonomi, korupsi, di tengah krisis periodik dari sistem ekonomi kapitalis monopoli dunia, telah membawa perubahan-perubahan politik tertentu di Ukraina dan sebagian besar negara-negara bekas Uni Soviet.
"Pada saat yang bersamaan, AS - NATO terus melakukan hasutan dan provokasi ekonomi, politik dan militer untuk memastikan dominasinya bertahan dan meluas ke Eropa Timur dan Eropa Tengah," kata Rudi.
AS rusak perdamaian Ukraina - Rusia
Sekretaris Jenderal GSBI Emelia Yanti Siahaan mengatakan, AS mempromosikan kebijakan neoliberal untuk diadopsi negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa tengah maupun timur.
"Dengan didahului 'revolusi orange', dan di tengah krisis ekonomi sistem kapitalisme monopoli dunia, AS - NATO - Uni Eropa melanjutkan hasutan-hasutan politik, ekonomi, dan militer, hingga mendorong perubahan-perubahan rezim politik negeri-negeri Eropa tengah, Eropa timur, tak terkecuali di Ukraina," kata Yanti.
Rezim baru Ukraina membawa tendensi “ultra nasionalis”, paham Neo-Nazi, mengadopsi kebijakan Neoliberal, dan memperkuat keinginannya bergabung ke Uni Eropa dan NATO.
Hasil dari itu semua, membawa politik “persatuan” Ukraina dengan Rusia berganti menjadi “politik permusuhan”, dan mengalihkan persekutuannya dengan AS, NATO, serta Uni Eropa.
Usaha buruk NATO di bawah kepemimpinan USA untuk terus menghasut negara-negara bekas Uni Soviet bergabung ke dalam pakta pertahanan tersebut, dianggap oleh Republik Federasi Rusia sebagai ancaman strategis atas pertahanan dan keamanannya.
Saat ini, keanggotan NATO telah bertambah menjadi 30 negara anggota dari sebelumnya hanya 12 negara anggota pada saat didirikan tahun 1949.
Negara-negara di Eropa timur seperti Polandia, Latvia, Lithuania, Moldova, yang memiliki perbatasan langsung dengan Rusia telah bergabung menjadi anggota NATO.
Hasutan dan provokasi AS - NATO telah membuat hubungan damai antara kedua rakyat, Ukraina dengan Rusia rusak.
Demikian pula dengan hasil-hasil modernisasi pembangunan di era sebelumnya, hancur dan beralih kepada pembangunan ekonomi neoliberal kapitalistik yang menghancurkan standar hidup rakyat di Ukraina, Rusia dan Eropa timur maupun Eropa tengah.
Kedua rakyat dan bangsa yang sebelumnya bersahabat, hidup rukun dan damai, sekarang hancur karena hasutan dan provokasi perang berkelanjutan dari AS - NATO sebagai usahanya untuk mempertahankan dominasi serta mencegah kebangkitan negeri imperialisme lainnya, yaitu Rusia dan China.
"Dalam pandangan GSBI, imperialisme adalah perang dan merupakan momok yang mengancam peradaban agung umat manusia. Karena itu, imperialisme harus dihancurkan. Perang yang pecah di Ukraina, merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sekaligus sebagai kelanjutan perang agresi maupun perang proksi Imperialis," kata Yanti.
Menurut Yant, semua itu adalah usaha negeri-negeri imperialis memperebutkan dominasi dan hegemoni politik, ekonomi serta militer di berbagai kawasan di dunia. Itu seperti terjadi di Irak, Libya, Yaman, Afganistan, Suriah.
"Tak terkecuali tindakan-tindakan provokasi dan hasutan perang di Laut Cina Selatan, semenanjung Korea, Afrika maupun kawasan latin Amerika."
Karenanya, krisis di Ukraina telah menambah deretan bencana kemanusiaan yang menyedihkan akibat perang yang dilancarkan negeri-negeri Imperialis pada periode-periode sebelumnya.
Kenyataannya tidak hanya rakyat di Ukraina, tapi semua rakyat dan bangsa Rusia, Donetsk, Luhansk, Krimea, Eropa timur dan Eropa tengah, menjadi korban dan harus menanggung semua penderitaan akibat perang yang berkobar. Termasuk pula ribuan tentara dari kedua negara yang tidak berdosa, berguguran.
Demikian juga rakyat sipil, anak-anak dan lansia yang sudah susah payah hidupnya karena krisis ekonomi dunia, harus melepas nyawa karena perang. Perang di Ukraina juga telah memicu gelombang besar pengungsi, yang sementara ini sudah mencapai 150 ribu orang.
Embargo adalah provokasi
"Di tengah krisis perang yang berkobar di Ukraina, AS dan NATO bukanya mengambil tindakan kuat untuk menghentikan perang di Ukraina melalui jalan politik damai dan diplomasi, justru mengambil tindakan-tindakan yang membuat perang di Ukraina berkepanjangan," kata Yanti.
Dengan dalih membantu rakyat Ukraina dan memperkuat pertahanan negara-negara anggota NATO di Eropa timur dan tengah dari ancaman Rusia, NATO dalam sidang daruratnya mengambil keputusan terus melanjutkan kebijakan perluasan keanggotaan di negeri-negeri bekas Uni Soviet.
NATO juga memutuskan mengaktifkan kesiagaan penuh pasukan NATO Response Forces (NRF) setara dengan 40.000 prajurit yang dilengkapi persenjataan lengkap untuk pertempuran udara, laut dan darat.
Puluhan ribut pasukan NATO itu disiagakan di Polandia, Latvia, Lithuania dan Moldova yang berbatasan dengan Rusia. Belum lagi penempatan 100 jet tempur di 30 lokasi berbeda, serta 120 kapal perang dari berbagai tipe dari utara hingga Mediterania.
Tak hanya itu, kata Yanti, NATO juga meneruskan bantuan persenjataan militer dan amunisi untuk Ukraina.
AS dan NATO secara sepihak juga menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, di antaranya memblokir seluruh akses ekonomi Rusia, termasuk bank besar SBER Bank, VTB, Otkritie, SOV, COM Bank, Novikom Bank, serta mengeluarkan dari sistem SWIFT, memblokir akses teknologi dan pasar teknologi industri militer Rusia.
Sanksi juga berupa penghentian proyek pipa gas Nord Stream2 sepanjang 1230 km, memblokir aset pengusaha besar monopoli Rusia, Elite politik dan Vladimir Putin sendiri. AS dan sekutunya juga memblokir pasar uang Rusia di dunia.
"Sanksi ekonomi, dukungan persenjataan militer dan amunisi kepada Ukraina, dan mobilisasi pasukan NRF NATO, pada pokoknya bukan untuk menghasilkan penyelesaian damai atas krisis Ukraina. Tindakan itu sesungguhnya seperti menumpahkan bensin di atas bara api peperangan yang sedang berkobar," kata Yanti.
GSBI, kata Yanti, menilai krisis perang di Ukraina memperlihatkan kebangkrutan sistem imperialis. Lebih jauh lagi menunjukkan kebangkrutan imperialisme AS.
AS kekinian tengah menghadapi penurunan ekonomi dan pengaruh geopolitik yang memudar. Alhasil, AS berusaha menegaskan kekuatan militernya di seluruh dunia, terutama melawan saingannya, yakni Rusia dan China.
Dengan cara ini, AS berharap dapat meningkatkan keuntungan super kompleks industri militer, menjaga ekonominya tetap bertahan, dan menggunakan kekuatan militer superiornya untuk mempertahankan dominasi global.
Krisis Ukraina juga mengungkap kebangkrutan Rusia dan China yang, dalam upaya mereka untuk menegakkan kepentingan negara adidaya, berkontribusi membawa dunia lebih dekat ke perang.
Yanti melanjutkan, krisis Ukraina adalah ilustrasi lain bahwa kontradiksi antarimperialis di dunia semakin intensif. Cara kerja sistem imperialis menunjukkan kontradiksi ini hanya akan menjadi lebih buruk di masa depan.
"Di tengah situasi itu, pemerintahan Jokowi sebagai Ketua atau Presidensi G-20, tidak berdaya menjalankan amanat Konstitusi Republik Indonesia untuk bersama-sama rakyat dan bangsa di dunia mewujudkan perdamaian, serta mengatasi krisis ekonomi dan krisis kesehatan yang membawa kesengsaraan berkepanjangan rakyat Indonesia."
Atas hal tersebut, Yanti menegaskan GSBI mengutuk keras dan menentang semua tindakan imperialis yang terlibat dalam provokasi, hasutan dan perang di Ukraina dengan dalih apa pun.
"GSBI menyerukan kaum buruh Indonesia dan dunia bersama-sama mendesak operasi militer Rusia dihentikan. AS - NATO harus hentikan provokasi dan hasutan perang di Ukraina dan kawasan lainnya. Selamatkan rakyat dan bangsa Rusia, Ukraina, Donetsk, Luhansk dan Krimea. Perkuat solidaritas bangsa tertindas sedunia dalam gerakan anti-imperialis."