Laporan PBB: Ada Pelanggaran HAM yang Serius di Papua dan Sulitnya Akses Bantuan Kemanusiaan

Rabu, 02 Maret 2022 | 16:54 WIB
Laporan PBB: Ada Pelanggaran HAM yang Serius di Papua dan Sulitnya Akses Bantuan Kemanusiaan
Pengungsi Nduga yang sudah 9 bulan terlunta-lunta di daerah pegunungan dan hutan, tanpa bantuan pemerintah. [dokumentasi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyampaikan desakan serius mengenai situasi HAM di Provinsi Papua Barat dan Papua. Disebutkan bahwa ada banyak kekerasan mengejutkan yang dialami oleh masyarakat asli Papua.

Mengutip laman resmi Dewan Tinggi HAM PBB (Office of the High Commissioner / OHCHR), beberapa kekerasan yang terjadi di Papua dan Papua Barat meliputi pembunuhan anak-anak dan hilangnya sejumlah orang.

Karena itulah, Pakar HAM PBB mendesak agar akses kemanusiaan menuju daerah terkait dapat segera dibuka. Selain itu, para pakar juga meminta pemerintah Indonesia untuk mengadakan penyelidikan secara penuh dan independen terkait masalah kekerasan terhadap warga asli Papua.

"Antara rentang April hingga November 2021, kami menerima banyak tuduhan yang mengindikasikan adanya beberapa praktik pembunuhan di luar proses hukum (extrajudical killing), termasuk kepada anak-anak kecil," ungkap para pakar, dikutip Suara.com pada Rab (2/3/2022).

Baca Juga: Pakar Kebijakan Publik Soroti Polemik Ucapan Menag Yaqut: Apakah Mengidap Islamophobia Akut?

"(Ada upaya) penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi," imbuh mereka. "Dan pemindahan paksa terhadap setidaknya lima ribu orang asli Papua, yang dilakukan oleh pasukan keamanan."

Suasana penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) ke pos TNI/Polri di Papua, Senin (17/1/2022). (Dok. Sebby Sambom) 
Suasana penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) ke pos TNI/Polri di Papua, Senin (17/1/2022). (Dok. Sebby Sambom) 

Sejak terjadi peningkatan kekerasan pada Desember 2018 lalu, setidaknya ada sekitar 60.000-100.000 warga Papua yang dipindahkan paksa. Konflik yang terjadi pun, dijelaskan para pakar, menyebabkan sebagian besar pengungsi di Papua Barat tidak bisa kembali ke rumah masing-masing.

"Mereka tidak bisa kembali karena kehadiran pasukan keamanan yang ketat dan konflik bersenjata yang terjadi di daerah," jelasnya.

"Beberapa pengungsi lalu memilih tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. (Tapi) ribuan penduduk desa yang terlantar memilih melarikan diri ke hutan, di mana mereka berhadapan dengan iklim yang keras di dataran tinggi tanpa akses ke fasilitas makanan, perawatan kesehatan, dan pendidikan," imbuhnya.

Di sisi lain, badan kemanusiaan seperti Palang Merah kesulitan untuk mengakses para pengungsi. "Kami sangat terganggu juga dengan laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh otoritas setempat," tegas para pakar.

Baca Juga: 7 Makanan Khas Papua dengan Rasa Unik! Ada Papeda dan Udang Selingkuh

Padahal saat ini situasinya sudah genting. "Ada laporan terjadi malnutrisi parah di beberapa daerah dengan kurang memadainya akses untuk makanan dan layanan kesehatan," katanya.

"Di beberapa tempat, pekerja gereja juga dicegah oleh petugas keamanan untuk mengunjungi desa di mana pengungsi berusaha mencari perlindungan," sambungnya.

Situasi ini yang mendesak para pakar HAM PBB agar akses terhadap bantuan kemanusiaan bagi warga asli Papua segera dibuka. "Diperlukan solusi yang sangat konkret," tegas mereka.

Sejak akhir 2018, para pakar mengaku sudah berkali-kali melaporkan insiden di Papua kepada pemerintah Indonesia. Yang terbaru adalah Allegation Letter dengan nomor AL IDN 11/2021 yang sudah dibalas pula oleh pemerintah Indonesia.

"Kasus-kasus ini bisa jadi sebatas puncak dari gunung es, mengingat akses menuju area-area tersebut sangat terbatas sehingga sulit untuk memantau situasi di lapangan," ujar Pakar HAM PBB.

Situasi keamanan yang kembali tidak stabil ini, menurut para pakar, bermula dari pembunuhan pejabat militer oleh Pasukan Pembebasan Papua Barat (TPN PB) pada 26 April 2021. Insiden itu juga berujung pada penembakan tidak sengaja dua anak berusia 2 dan 6 tahun, hingga akhirnya sang balita berakhir meregang nyawa.

"Diperlukan aksi yang sesegera mungkin untuk mengakhiri berbagai kekerasan HAM terhadap warga Papua," tutur mereka menekankan. Selain bantuan kemanusiaan, pemantau independen hingga jurnalis juga harus diberikan akses menuju area tersebut.

"Solusi harus mencakup semua dugaan pelanggaran HAM yang diterima diselidiki secara menyeluruh, cepat, serta tidak memihak. Investigasi harus memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk para petinggi yang relevan, untuk dibawa ke pengadilan. Hal ini sebagai pelajaran penting demi mencegah terjadinya kekerasan serupa di masa depan," pungkas Pakar HAM PBB.

Untuk informasi, Pakar HAM PBB yang menyusun laporan ini mencakup 3 pelapor khusus PBB. Yakni Pelapor Khusus PBB untuk HAM warga pribumi, Fransisco Cali Tzay; Pelapor Khusus PBB untuk eksekusi di luar hukum dan putusan, Morris Tidball-Binz; serta Pelapor Khusus PBB untuk HAM Warga yang Dipindahkan Paksa, Cecilia Jimenez-Damary.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI