Suara.com - Setelah negara sosialis Yugoslavia runtuh, negara Bosnia-Herzegovina didirikan 30 tahun lalu. Namun hingga saat ini, negara itu tetap terpecah antara kubu yang pro Barat dan kubu pro Rusia.
Isu aktual perang Ukraina dengan jelas menunjukkan, betapa masih dalamnya perpecahan di Bosnia-Herzegovina.
Sementara penduduk Bosnia-Kroasia mengecam keras agresi Rusia, banyak warga Serbia-Bosnia yang mendukung langkah Vladimir Putin.
Tepat 30 tahun lalu, pada 1 Maret 1992, warga Bosnia-Herzegovina dalam sebuah referendum dengan mayoritas besar memilih opsi kemerdekaan.
Baca Juga: Presiden Ukraina Nyaris Terbunuh Dalam Operasi Khusus
Tapi mayoritas warga Serbia-Bosnia, yang jumlahnya sekitar sepertiga dari populasi, ketika itu memboikot referendum, dan kemudian mendeklarasikan negara sendiri yang mereka namakan Republik Skrpska.
Inilah yang memicu pecahnya perang saudara yang menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan 2,3 juta orang menjadi pengungsi yang tersebar di Eropa.
Perang baru bisa diakhiri setelah NATO dan Uni Eropa turun tangan, meminta pihak-pihak yang berkonflik untuk berunding dan menyepakati sebuah perjanjian perdamaian.
Ketika itu perang memang bisa diakhiri dan sebuah konstitusi untuk Bosnia-Herzegovina disepakati.
Namun perdamaian tetap belum terwujud, sampai sekarang.
Baca Juga: Uni Eropa Buka Pintu Untuk Semua Pengungsi Perang dari Ukraina
Elite politik tumpuk kekayaan dengan korupsi dan nepotisme
Sejak awal, konstruksi Bosnia-Herzegovina memang terpecah-pecah. Kelompok orthodox Serbia mendapat sekitar setengah wilayahnya, setengah lagi dipecah untuk dua kelompok, yaitu kelompok Bosnia-Kroasia yang kebanyakan beragama Katolik dan kelompok Bosnia yang beragama Islam.
Selain itu masih ada satu distrik di utara, yaitu Brcko, yang dikelola bersama oleh Bosnia Herzegovina dan Serbia-Bosnia.
Rumitnya konstruksi negara itu membuat birokrasi membengkak dan menghabiskan banyak anggaran.
Selain itu, partai-partai politik yang muncul dan menguat adalah yang berorientasi primordial-nasionalistik untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Para elit kelompok-kelompok populis menguasai perusahaan-perusahaan negara seperti perusahaan transportasi, perusahaan listrik, perbankan dan media.
Mereka saling berbagi kekayaan negara dan menumpuk kekayaan lewat korupsi dan nepotisme.
Pesta pora mahal di tengah kemiskinan yang meluas
Sengketa di Bosnia-Herzegovina memang tidak menjurus ke "peperangan” atau konflik bersenjata.
Karena di sana tidak ada pasukan besar dan persenjataan berat. Tetapi sengketa politik ini menggerus perekonomian negara.
Banyak orang yang sudah melarikan diri dari kekalutan dan kemiskinan dan hengkang ke luar negeri.
Penduduk Bosnia yang awalnya berjumlah 4,4 juta orang, sekarang menyusut menjadi 3,3 juta orang.
Banyak pengamat demografi mengatakan, jumlah sebenarnya bahkan lebih sedikit lagi, mungkin hanya 2,8 juta orang.
Tapi tidak semua orang menjadi miskin. Sebaliknya, beberapa orang menjadi kaya raya.
Tahun 2021, politisi teras Bakir Izetbegovic, putra presiden pertama Bosnia Alija Izetbegovic, menikahkan anaknya Jasmina dalam suatu acara supermewah.
Pada tahun yang sama, politisi top lainnya, Dragan Covic, merayakan ulang tahunnya ke-65 secara megah.
Harian lokal kroasia Jutarnji menulis: Para pemimpin nasional dan para elit mafia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan kekayaan mereka yang berlimpah ruah, yang dikurasnya dari negeri ini.” (hp/as)