Mengapa Invasi yang Diperintahkan Putin Jadi Tantangan Besar Bagi China

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 02 Maret 2022 | 11:59 WIB
Mengapa Invasi yang Diperintahkan Putin Jadi Tantangan Besar Bagi China
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Beberapa jam sebelum Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina timur, Amerika Serikat (AS) menuding Moskow dan Beijing menggalang kekuatan untuk menciptakan tatanan dunia yang "sangat tidak liberal".

Krisis Ukraina-Rusia menjadi tantangan besar bagi China dari banyak segi.

Hubungan diplomatik yang semakin mesra antara Rusia dan China dapat dilihat dari kehadiran Presiden Putin di ajang Olimpiade Musim Dingin di Beijing. Putin tercatat sebagai salah satu dari segelintir pemimpin dunia yang hadir.

Penting dicatat, Putin menunggu sampai Olimpiade Musim Dingin berakhir sebelum mengakui kemerdekaan dua wilayah pemberontak di Ukraina timur dan mengerahkan pasukan ke sana.

Baca Juga: Khawatir Tekanan Politik, Rusia Hentikan Penjualan Aset Negara oleh Investor Asing

Untuk konsumsi publik, pemerintah China mendesak kedua pihak mengurangi eskalasi di Ukraina.

Karena bentrokan meningkat, bagaimana posisi resmi China yang sekarang?

Pemerintah China berpendirian tidak bisa tampak mendukung perang di Eropa tetapi pada saat yang juga ingin meningkatkan hubungan militer dan strategis dengan Moskow.

Mitra dagang terbesar Ukraina adalah China dan Beijing ingin mempertahankan hubungan baik dengan Kyiv tapi hal itu mungkin sulit dipertahankan karena China bersekutu dekat dengan pemerintah Rusia yang mengirimkan pasukan ke wilayah Ukraina.

Ada pula risiko China menghadapi pukulan di sektor perdagangan dari Eropa Barat jika dianggap mendukung agresi Rusia.

Baca Juga: Salahkan Ukraina, Rusia Membela Diri dalam Pertemuan Darurat PBB

Perubahan kebijakan luar negeri China?

Selain itu, para pemimpin China mengekang diri agar negara itu tidak turun tangan dalam masalah dalam negeri negara lain dan mengharapkan negara-negara lain tidak mencampuri urusan dalam negerinya.

Dalam cuitannya, diplomat ternama Liu Xiaoming kembali menegaskan bahwa China tidak pernah "menyerbu negara-negara lain atau terlibat dalam perang proksi," seraya menambahkan China memegang komitmen terhadap perdamaian.

Namun pekan lalu, dalam langkah yang mengejutkan, China abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB untuk mengecam invasi Rusia ke Ukraina.

Sejumlah analis sebelumnya memperkirakan Beijing akan mengikuti langkah Rusia memveto mosi, tapi fakta bahwa China tidak melakukan veto dinilai sebagai "kemenangan bagi Barat" - dan menjadi isyarat sikap tak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Namun demikian, China jauh dari mengecam situasi yang terjadi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin bahkan menolak menggunakan istilah"invasi" untuk mendiskripsikan apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina.

Laporan-laporan yang belum dikukuhkan menyebutkan Beijing sejatinya tahu situasi sebenarnya dan sengaja menutup mata.

Berdasarkan laporan New York Times dengan mengutip pejabat-pejabat AS yang namanya tak disebutkan, selama berbulan-bulan terakhir, AS berkali-kali mendesak China untuk turun tangan dan meminta Rusia untuk tidak menyerbu Ukraina.

Namun, laporan itu menambahkan para pejabat AS itu kemudian mengetahui bahwa Beijing memberitahu Moskow tentang informasi tersebut dengan mengatakan AS berusaha menciptakan perpecahan dan bahwa China tidak akan berusaha menghalang-halangi rencana Rusia.

Menyamakan dengan Taiwan

Bagi Partai Komunis, apa yang paling membuat khawatir partai berkuasa di China itu adalah bagaimana sikap rakyatnya dan bagaimana pandangan mereka terhadap dunia.

Untuk mengatasi hal itu, Partai Komunis melakukan manipulasi dan mengendalikan perdebatan tentang situasi Ukraina baik di media maupun di media sosial.

Tak lama kemudian isu Taiwan dicampuradukkan.

Pulau yang memerintah sendiri itu diperlakukan oleh pemerintah China sebagai provinsi yang membangkang yang harus disatukan dengan wilayah China.

Di platform Weibo, Twitter versi China, kalangan nasionalis menggunakan invasi Rusia ke Ukraina untuk menyerukan negara mereka sendiri mengikuti langkah Rusia. Mereka berkomentar: "Kesempatan terbaik untuk mengambil kembali Taiwan sekarang!"

Ketika pemerintah China menolak pemberlakukan sanksi terhadap Russia selama beberapa hari terakhir, negara itu paham kemungkinan akan mengalami hal serupa jika mengambil paksa Taiwan. Perang itu dipastikan dasyat dan ongkosnya mahal.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying mengatakan bahwa China tidak pernah berpandangan sanksi adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Sensor dan kritik di media sosial

Vladimir Putin mengatakan ia membebaskan para penutur bahasa Rusia di wilayah Ukraina. Bagaimana dengan etnik Mongolia, Korea, Kirgistan yang sekarang menjadi bagian dari China? Yang berpotensi lebih eksplosif bagi Beijing, bagaimana jika Tibetan atau Uighur kembali mengobarkan tuntutan untuk memiliki otonomi lebih luas atau bahkan menuntut kemerdekaan?

Bagi pemerintahan Xi Jinping yang menjadi prioritas adalah memastikan hal itu tidak benar-benar terjadi.

Karena itu pula, kita bisa menyimak pernyataan-pernyataan di media sosial China untuk mengetahui arah dari media Partai Komunis dalam menggiring opini masyarakat tentang langkah Putin di Eropa Timur.

Pada Senin (28/02), surat kabar Beijing Daily yang berafiliasi dengan pemerintah mengunggah ulang pernyataan Kedutaan Besar Rusia di Beijing. Pernyataan itu menyerukan kepada dunia untuk tidak membantu pemerintah "neo-Nazi" di Kyiv.

Di media sosial, komentar tentang Ukraina dan Rusia disensor secara ketat.

Berikut beberapa contohnya:

"Putin luar biasa!"

"Saya mendukung Rusia, menentang AS. Hanya itu yang ingin saya katakan."

"AS selalu ingin membuat kekacauan di dunia!"

Tapi jelas ada sikap kehati-hatian yang ditunjukkkan oleh China.

Negara itu mengubah pendekatannya. Semula Kedubesnya di Kyiv menyarankan agar warga negara China mengibarkan bendera negara di kendaraan-kendaraan mereka, membantu satu sama lain sambil "menunjukkan kekuatan China".

Setelah perang berkecamuk selama beberapa hari, pendekatan ini berubah dengan merekomendasikan warga China untuk tidak "secara terbuka mengungkapkan indentitas atau menunjukkan simbol-simbol yang dapat diidentifikasi".

Beberapa pihak memperkirakan perubahan ini didorong oleh kekhawatiran bahwa warga China bisa menghadapi bahaya ketika pemberitaan media Partai Komunis yang mendukung tindakan Putin sampai ke Ukraina.

Kendati demikian, terdapat beberapa kritikus yang sempat berhasil menyampaikan suara mereka.

Lima akademisi terkenal China menulis surat terbuka untuk mengecam aksi Rusia, pada akhir pekan.

"Ini adalah invasi. Sebagaimana dikatakan pepatah China: kita tidak bisa menyamakan rusa dengan kuda," kata sejarawan Xu Guoqi, menurut laporan Reuters.

Hanya beberapa jam setelah diposting, surat tersebut dihapus oleh penyensor internet.

Sulit mengukur secara pasti berapa banyak penduduk China yang menyerukan perdamaian, ketika kita tidak tahu berapa banyak postingan yang disensor - dan berapa banyak postingan mencela AS yang dipromosikan.

Seorang pengguna media sosial menulis: "Saya tidak mengerti mengapa begitu banyak orang mendukung Rusia dan Putin. Apakah invasi dianggap adil? Kita seharusnya menentang segala bentuk perang!"

Adapun pengguna lainnya berkomentar: "Putin mengakui kemerdekaan wilayah pemberontak Ukraina, yang tentu mencampuri urusan dalam negeri negara lain."

Beijing jelas tidak menghendaki warganya menarik kesimpulan seperti yang tercantum dalam unggahan yang terakhir itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI