Suara.com - Tujuh orang anak di Distrik Sinak, Kabupaten Pucak, Papua diduga dianiaya oleh anggota TNI. Satu di antaranya yang bernama Makilon Tabuni dikabarkan meninggal dunia akibat peristiwa penganiayaan tersebut.
Pihak TNI, melalui Kapendam XVII/Cendrawasih membantah adanya peristiwa penganiayaan ini. Bahkan, peristiwa itu disebut sebagai berita bohong atau hoaks.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti berpendapat, jika Kapendam XVII/Cenderawasih menyatakan berita tersebut hoaks, maka harus dibuktikan melalui investigasi. Tentunya, investigasi itu harus secara terang benderang dan melibatkan pihak lain, seperti Komnas HAM dan KPAI.
"Jika memang Kapendam menyatakan berita tersebut adalah hoaks, maka harus dibuktikan dengan investigasi seterang-terangnya dengan melibatkan beberapa pihak lain, diantaranya Komnas HAM dan KPAI," kata Fatia kepada Suara.com, Selasa (1/3/2022).
Hal tersebut menjadi penting dalam pandangan KontraS. Agar nantinya, dapat mengukur akuntabilitas dan transparansi atas dugaan penganiayaan -- yang menyebabkan kematian korban.
"Sehingga dapat mengukur akuntabilitas dan transparansi atas dugaan pelanggaran yang terjadi," katanya.
Kejadian dugaan penyiksaan tujuh orang anak di Kabupaten Puncak, Papua, lanjut Fatia, semakin mempertegas kentalnya kultur kekerasan yang digunakan oleh aparat TNI-Polri yang sedang bertugas di wilayah Papua. Dugaan tindakan penyiksaan dalam tataran internasional merupakan bagian dari jus cogens, sehingga tidak dapat diperkenankan dalam situasi apapun.
"Tindakan yang dilakukan aparat tersebut juga melecehkan semangat perlindungan anak yang menghendaki anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi " ujarnya.
Bukan Kali Pertama
Baca Juga: Amnesty International Indonesia: Anak-anak Harus Dilindungi Dari Konflik Senjata Di Papua
Ketujuh anak yang menjadi korban penyiksaan tentu bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Fatia mengatakan, anak-anak di Papua kerap menjadi korban dan kambing hitam atas konflik kemanusiaan yang terjadi selama ini.
"Masih segar di ingatan terdapat dua orang balita yang menjadi korban salah tembak saat terjadinya kontak senjata di Papua. Hingga saat ini kasus tersebut pun tak pernah diungkap secara tuntas," ucap Fatia.
Atas hal itu, Fatia menilai negara semakin tidak menunjukkan ketidakseriusan dalam melindungi dan menghadirkan rasa aman bagi anak di Papua. Merujuk pada hukum humaniter, lanjut dia, sudah banyak dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh militer indonesia di Papua sesuai dengan Protokol IV Konvensi Jenewa.
"Sehingga pemerintah harus mengevaluasi dan membuka seterang-terangnya terkait militerisme di Papua," kata Fatia.
Kronologi
Kronologi yang diverivikasi Tim Advokasi HAM untuk Papua, pada 22 Februari 2022, bahwa benar terjadi pencurian senjata di Pos PT Modern. Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak. Kejadian itu terjadi pada 22.15 WIT.
Kejadian itu terjadi pada malam hari saat semua anggota dan masyarakat sekitar bandara Tapulunik sedang bermain Togel dan permainan Dadu yang dibuka oleh anggota Pos PT Modern.
Peristiwa itu, juga terjadi saat beberapa anak-anak sedang nonton TV di Modern. Dalam situasi tersebut, terdapat tiga oknum melihat sepucuk senjata di depan mereka yang ditinggalkan oleh anggota Pos.
"Sehingga di kesempatan itu, tiga orang oknum langsung mengambil senjata dan kemudian membawa lari," ucap Tim Advokasi HAM untuk Papua dikutip dari laman kontras.org.
Setelah menyadari senjata di pos tersebut hilang, petugas menuduh bahwa anak-anak yang sedang nonton TV di pos menjadi pelaku pencurian senjata. Padahal mereka (anak-anak itu) tidak sama sekali mengetahui kejadian dari pencurian senjata tersebut.
Kemudian, petugas di Pos langsung melakukan tindakan kekerasan serta penyiksaan terhadap tujuh anak di bawah umur. Anak tersebut antara lain DM (SD kelas 5), DK (SD Kelas 4), FW, EM, AM, WM, dan Makilon Tabuni (SD Kelas 6).
Bantahan TNI
Kapendam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Aqsha Erlangga menyebut hoaks terkait siswa SD tewas dianiaya anggota TNI dengan foto upacara pembakaran ini disebar oleh seseorang berinisial DM. Pelaku disebut Aqsha merupakan tenaga pengajar di salah satu sekolah di Distrik Sinak.
"Pelaku DM telah mengakui bahwa dirinya merupakan orang yang mengirimkan foto pembakaran jenazah Makeloni Tabuni ke Grup Whatshapp KMPP (Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Puncak)," kata Aqsha dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu.
Menurut Aqsha, DM mengaku hanya mengirimkan foto upacara pembakaran di WhatsApp KMPP. Namun dia mengklaim bukan yang membuat narasi sebagaimana yang tersebar di media sosial.
"Aparat keamanan yang dirugikan telah melaporkan DM atas pemberitaan yang melanggar UU, kemudian DM akan diproses hukum oleh pihak yang berwenang terkait pelanggaran UU ITE yang dilakukannya sendiri," tuturnya.
"TNI AD sangat terbuka dengan seluruh kegiatan yang dilakukan di wilayah Papua. Oleh karenanya, apabila ada hal yang terjadi, bisa dikonfirmasi ke kami terlebih dahulu, sehingga berita terkonfirmasi, akurat dan dapat dipercaya serta tidak menimbulkan keresahan," imbuhnya.