Respons Invasi Rusia, Jerman Perkuat Anggaran Pertahanan

Senin, 28 Februari 2022 | 10:03 WIB
Respons Invasi Rusia, Jerman Perkuat Anggaran Pertahanan
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menyusul invasi Rusia ke Ukraina, Kanselir Jerman Olaf Scholz hari Minggu (27/02) di hadapan parlemen Jerman, Bundestag, mengumumkan anggaran pertahanan masif.

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengutuk keras invasi Rusia ke Ukraina. Ia menegaskan bahwa Presiden Rusia, Putin bertanggung jawab atas serangan itu.

"Itu tidak manusiawi. Ini bertentangan dengan hukum internasional,” katanya dalam Sidang Istimewa Bundestag pada hari Minggu (27/02).

Scholz memuji keberanian warga Rusia, yang turun ke jalan untuk memprotes pemerintahan Putin dalam beberapa hari terakhir.

Baca Juga: Rusia Invasi Ukraina: Lebih 115.000 Anak dan Perempuan Tinggalkan Ukraina

Ia menyebutkan bahwa tanggung jawab terberat bukan dipikul oleh warga Rusia, karena mereka tidak menginginkan perang.

"Perang ini akan tetap menjadi perang Putin,” kata Scholz.

Kepada rakyat Ukraina ia berujar: "Kami berdiri di pihak Anda – di sisi sejarah yang benar.”

Modernisasi Bundeshwehr

Kanselir Jerman itu juga mengatakan serangan Rusia ke Ukraina menjadi titik balik untuk memodernisasi militer Jerman, Bundeswehr.

Baca Juga: Bak Kota Mati, Begini Sepinya Ibukota Kyiv di Ukraina Akibat Invasi Rusia

Dana khusus sebesar satu miliar euro akan dikucurkan untuk proyek persenjataan.

"Kita perlu berinvestasi lebih banyak dalam keamanan negara kita, untuk melindungi kebebasan kita dan demokrasi.''

Jerman mendapat kecaman karena tidak berinvestasi secara memadai untuk pertahanannya dan tidak berbuat cukup untuk menanggapi invasi Rusia ke Ukraina.

Pada hari Sabtu (26/02), pemerintah Jerman mengumumkan akan mengirim senjata dan perlengkapan lainnya langsung ke Ukraina untuk membantu pasukan melawan invasi pasukan Rusia.

Bantuan senjata ke Ukraina

Kanselir Jerman Olaf Scholz sebelumnya mengumumkan Jerman akan mengirimkan senjata langsung ke Ukraina.

Senjata yang dimaksud adalah 1000 senjata anti-tank dan 500 rudal darat pertahanan udara ’Stinger’.

"Invasi Rusia menandai titik balik dalam sejarah,” kata Kanselir Jerman, Olaf Scholz, Sabtu (26/02).

Rencana ini menandai berubahnya kebijakan Jerman yang sebelumnya melarang ekspor senjata ke zona konflik.

Kebijakan Jerman untuk tidak mengekspor senjata ke zona perang dilatarbelakangi sejarah berdarah abad ke-20 yang mengakibatkan pasifisme, atau penggunaan kekerasaan senjata sebagai cara untuk menyelesaikan konflik.

Selain mengirimkan senjata yang berasal dari persediaan tentaranya Bundessher, Jerman juga memberi lampu hijau kepada Belanda untuk menjual 400 peluncur roket antitank buatan Jerman ke Ukraina.

Permintaan dari Estonia untuk mengirim howitzer GDR lama juga telah disetujui. Meski begitu, negara-negara yang ingin meneruskan ekspor senjata Jerman, perlu meminta persetujuan dari Berlin terlebih dahulu.

Sejauh ini, Berlin baru menawarkan sekitar 5.000 helm militer dan rumah sakit lapangan untuk membantu Ukraina menghadapi invasi Rusia, tawaran yang diejek oleh beberapa mitra Jerman yang frustrasi.

Beberapa negara NATO telah berjanji untuk memberikan atau menjual senjata ke Ukraina setelah invasi Rusia, termasuk bantuan militer dari AS sebesar $350 juta dollar.

Sanksi demi sanksi bagi Rusia

Jerman dan sekutunya juga sepakat untuk mengeluarkan beberapa bank-bank Rusia yang "terpilih" dari sistem pembayaran global SWIFT.

Sanksi tersebut dijatuhkan pada Rusia yang menginvasi Ukraina sebagai upaya untuk melumpuhkan aset bank sentralnya.

"Semua tindakan ini secara signifikan akan membahayakan kemampuan Putin untuk membiayai perangnya dan berdampak melemahkan ekonominya," kata Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa.

"Putin memulai jalan yang bertujuan untuk menghancurkan Ukraina, tetapi apa yang dia juga lakukan sebenarnya adalah menghancurkan masa depan negaranya sendiri."

Memutus jaringan ekonomi Rusia akan menyebabkan gangguan besar pada perekonomiannya karena membatasi akses negara itu ke pasar keuangan global.

Secara khusus, Rusia bergantung pada sistem SWIFT untuk ekspor minyak dan gasnya. Namun langkah itu juga dapat merugikan perekonomian negara-negara Barat yang menjalin hubungan bisnis dengan Rusia. Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar Rusia. Ed: ts/ap (Focus, AFP)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI