Dengan demikian, jika kasus tersebut di-SP3-kan, lanjut dia, berarti polisi yang menentukan dan menerbitkan SP3-nya meskipun berkas sudah dilimpahkan (P-21) ke kejaksaaan.
"P-21 'kan baru tahap pertama, belum diterima seluruhnya, baru penyerahan. Makanya, keinginan polisi untuk SP3-kan itu tugas wewenang polisi karena yang menentukan tersangka itu polisi, bukan jaksa," katanya.
Menurut dia, SP3 atau penghentian kasus Nurhayati tersebut dilakukan Polri demi kepentingan hukum karena berkaitan dengan kecukupan bukti, peran, dan sebagainya.
"Kalau memang masih ragu, tidak ada bukti, mudah-mudahan, ya, tidak (ada) bukti, ya, dihentikan. Jadi, permasalahan bukti, dihentikan demi kepentingan hukum, bukan kepentingan hukum," katanya menegaskan.
Terkait dengan berkas kasus Nurhayati yang telah dilimpahkan ke kejaksaan, Hibnu mengatakan bahwa jaksa hanya melihat dari aspek kecukupan bukti, bukan karena desakan publik.
Menurut dia, hal itu dilakukan kejaksaaan agar di persidangan tidak sampai cukup bukti sehingga jaksa yang kena.
"Karena apa pun yang terjadi, jaksa merupakan pihak yang mempertahankan perkara di persidangan," katanya.
Dengan demikian, kalau masih ada keraguan, bukti kurang, lebih baik dihentikan di tingkat kepolisian karena yang tentukan tersangka adalah penyidik polisi.
Akan tetapi, jika Nurhayati tidak melaporkan kasus dugaan korupsi dana desa tersebut, kata dia, perempuan yang menjabat sebagai Kaur Keuangan Desa Citemu itu justru dapat turut serta dijadikan tersangka. Karena mengetahui kasus dugaan korupsi tersebut, menurut dia, Nurhayati wajib melaporkan.
"Dalam delik korupsi, dia mengetahui tetapi tidak lapor, itu sudah kena tindak pidana karena melakukan pembiaran. Kalau dia mengetahui (kasus dugaan korupsi tersebut), wajib lapor karena kalau enggak, akan kena asas pembiaran," kata Hibnu. (Antara)