Suara.com - Vladimir Putin baru saja selesai berbicara ketika ledakan pertama terdengar di Kyiv.
Di Maidan Square — simbol kemerdekaan Ukraina — serangkaian ledakan terdengar di kejauhan, diikuti oleh ledakan yang jauh lebih besar.
Jika tidak terbangun karena ledakan, pagi itu penduduk Kyiv pasti terbangun karena panggilan telepon dan pesan teks dari teman dan keluarga soal serangan Rusia.
Ketakutan terburuk mereka akhirnya menjadi nyata: Rusia meluncurkan serangan besar-besaran ke Ukraina.
Baca Juga: Konflik Rusia-Ukraina Jadi Tantangan Indonesia Sebagai Ketua G20
Walaupun banyak orang Ukraina telah mempersiapkan datangnya hari itu, masih ada rasa tidak percaya bahwa itu terjadi.
Ibu kota Ukraina yang indah dan bersejarah telah dihujani roket Rusia, dan Kyiv tidak akan pernah sama lagi.
Sirene mungkin terdengar terlambat
Di sebuah hotel di pusat kota, seorang barista terus membuat kopi untuk pelanggan yang masih mencoba mencerna berita penyerangan Rusia.
Banyak dari mereka dengan cemas melihat ponsel mereka atau berkumpul di sekitar layar TV terdekat, menyaksikan invasi berlangsung.
Baru pada jam tujuh pagi sirene serangan udara mulai terdengar di ibu kota.
Baca Juga: Dari Pemimpin Dunia hingga Atlet Kecam Invasi Rusia ke Ukraina
Saat itulah situasi menjadi jelas dan nyata: Ancaman baru saja dimulai.
Beberapa orang mencari perlindungan di bungker bom gedung mereka, sementara yang lain bergegas ke stasiun tram bawah tanah yang terkubur jauh di bawah jalan-jalan kota.
Kepanikan belum muncul, tetapi kecemasan terlihat jelas ketika penduduk merenungkan apakah mereka telah melewatkan kesempatan terbaik untuk meninggalkan kota.
Di Kyiv, ada beberapa target serangan udara Rusia, termasuk Kementerian Pertahanan Ukraina, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Putus asa berebut bahan bakar dan uang tunai
Tersiar kabar bahwa pasukan Rusia — yang telah melakukan "latihan" yang panjang di Belarus — telah melintasi perbatasan dan bergerak maju ke selatan.
Berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai ibu kota? Tidak ada yang tahu.
Dengan penutupan wilayah udara dan perjalanan kereta api dibatalkan atau habis dipesan, jalan keluar terbaik dari kota Kyiv adalah melalui jalan darat.
Namun, dengan pasukan Rusia yang mendekat dari selatan, utara dan timur, hanya tersisa rute barat untuk menyelamatkan diri, menyebabkan jalan-jalan di rute ini penuh sesak.
Lebih buruk lagi, ada antrean panjang pembelian bahan bakar. Bagi mereka yang akhirnya berhasil mencapai pompa bensin, batas 20 liter diberlakukan.
Selain itu, juga terjadi kelangkaan uang tunai. Setelah serangkaian serangan dunia maya, orang-orang mencoba menarik sebanyak mungkin uang tunai.
Tapi sementara ribuan orang yang memutuskan untuk keluar dari Kyiv menuju ke arah Polandia, ada juga yang memutuskan untuk tetap berlindung dan menunggu.
[map]Masa depan yang tidak pasti
Pagi itu mendung di Kyiv, sehingga sulit untuk melihat pesawat menderu di atas awan.
Wajah-wajah muncul di jendela apartemen, menatap ke langit. Pesawat milik siapa itu? Apakah mereka terbang untuk menyerang atau melindungi?
ABC bertemu satu keluarga di sebuah permukiman di kota itu yang menikmati semacam "perjamuan terakhir" sebelum mereka meninggalkan rumah mereka.
Di atas mangkuk borscht panas, mereka menyaksikan dengan bingung saat berita TV menunjukkan puing-puing yang menyala.
Ketika selesai makan, mereka mengumpulkan apa yang bisa mereka bawa dan berkemas pergi dengan mobil.
Mereka menuju rumah orangtua mereka di pedesaan, tidak yakin kapan mereka akan kembali, atau akan seperti apa kota ini saat mereka kembali nanti.
Artikel ini diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari ABC News.