Kasus Nurhayati, Pelapor yang Dijadikan Tersangka Kasus Korupsi Dana Desa

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 24 Februari 2022 | 10:24 WIB
Kasus Nurhayati, Pelapor yang Dijadikan Tersangka Kasus Korupsi Dana Desa
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penetapan Nurhayati — pengungkap fakta (whistleblower) kasus dugaan korupsi dana desa di Citemu, Cirebon — sebagai tersangka adalah bentuk "kegagalan" dan "ketidakprofesionalan" penegak hukum dalam melindungi saksi dan pelapor, kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari.

Menurut Iftitah, Nurhayati seharusnya dilindungi sebagai orang yang pertama kali mengungkap dugaan tindak korupsi yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu, Supriyadi.

"Perlindungan konteksnya di sini kan juga ada kewajiban aparat penegak hukum untuk melihat kepentingan perlindungan hukum whistleblower-nya, enggak cuma buat kepentingan mengusut kasusnya saja," kata Iftitah kepada BBC News Indonesia, Rabu (23/02).

"Dari kasus ini kita melihat ada kegagalan sistem peradilan pidana kita dalam melindungi whistleblower, khususnya dalam kasus korupsi," lanjut dia.

Baca Juga: Kuasa Hukum Nurhayati Surati Mahfud MD, Begini Isinya

Menurut ICJR, kerangka hukum perlindungan saksi yang ada saat ini belum cukup kuat dan komprehensif melindungi whistleblower yang secara hukum tidak berstatus sebagai pelapor.

Sementara itu, pegiat anti-korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengkhawatirkan apa yang menimpa Nurhayati membuat masyarakat enggan melaporkan tindak korupsi yang mereka ketahui, terutama di sektor pengelolaan dana desa yang dianggap paling korup.

Baca juga:

Nurhayati merupakan Kepala Urusan Keuangan yang pertama kali melaporkan dugaan korupsi dana desa senilai Rp881 juta oleh Supriyadi kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

BPD kemudian melaporkan hal itu kepada polisi dan berujung pada penetapan Supriyadi dan Nurhayati sebagai tersangka.

Baca Juga: Nurhayati Jadi Tersangka Usai Laporkan Tindak Korupsi, Ganjar Pranowo: Harus Mendapatkan Pembelaan

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Ibrahim Tompo, menyatakan Nurhayati terbukti "menyalahgunakan kewenangannya" sehingga korupsi yang dilakukan Supriyadi tetap terjadi.

Sejumlah pihak mendesak agar polisi mengkonstruksikan ulang bahkan menunda kasus ini demi melindungi Nurhayati sebagai pengungkap fakta. Tetapi Ibrahim mengklaim hal itu bukan lagi ranah kepolisian karena berkas perkaranya telah dilimpahkan ke kejaksaan.

Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, Hutamrin, tidak merespons ketika dihubungi BBC News Indonesia.

Kuasa hukum Nurhayati, Elyasa Budiyanto, menunda pengajuan praperadilan untuk menggugat status tersangka itu.

"Ada atensi dari Menkopolhukam untuk perlindungan terhadap Bu Nurhayati, jadi (pengajuan) praperadilan ditunda karena ada sinyal dari Jakarta ke arah situ," kata Elyasa.

Elyasa mengatakan juga telah mengirimkan surat Nurhayati kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk mendesak perlindungan dan penegakan keadilan.

Berawal dari laporan ke Badan Permusyawaratan Desa

Kasus ini bermula pada 2018, ketika Nurhayati menyurati BPD Citemu terkait dugaan korupsi dan penyimpangan anggaran dana desa. BPD kemudian menegur Supriyadi.

Pada Oktober 2019, Nurhayati kembali mengadu ke BPD karena penyimpangan dana desa masih terjadi.

BPD bersama Nurhayati dan sejumlah perangkat desa akhirnya merangkum dan mendata dugaan penyimpangan dana tersebut.

Lembaga ini kemudian melaporkan kasus itu ke polisi berdasarkan data dan dokumen yang didapat dari Nurhayati.

Menurut Ketua Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Citemu, Lukman Nurhakim, dugaan korupsi itu mencapai Rp818 juta yang mencakup penyimpangan dana pembangunan masjid hingga bantuan sembako untuk anak yatim.

"Nama Bu Nurhayati saya rahasiakan, karena beliau sebagai bawahannya kepala desa. Kalau seandainya bocor keluar, Bu Nurhayati lah yang habis sama kepala desa, karena saya juga yang melaporkan itu juga diancam," tutur Lukman.

Tetapi pada 2 Desember 2021, mereka dikagetkan dengan surat penetapan tersangka Nurhayati karena dianggap 'menyalahgunakan kekuasaan' berdasarkan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Lukman sempat mendatangi penyidik terkait penetapan tersangka dan mendapat jawaban bahwa hal itu dilakukan atas petunjuk jaksa.

Menurut Lukman, apa yang menimpa Nurhayati menimbulkan ketakutan dan kekhwatiran perangkat desa lainnya, yang turut membantu pengungkapan kasus ini.

Padahal, dia melanjutkan, tindak korupsi dilakukan oleh kepala desa sebagai pemegang kekuasaan dan tanggung jawab. Perangkat desa termasuk Nuryati justru dia sebut sudah "tidak tahan" dengan tindakan itu, sehingga melaporkannya ke BPD.

"Kalau dibilang ikut serta kan ada imbal baliknya, enggak mungkin kalau orang membantu atau ikut serta tidak ada imbal baliknya. Nyatanya kan dari Polres sendiri belum terbukti dua tahun ini Bu Nurhayati memakan uang," ujar Lukman.

"Pokoknya saya minta (kasus Nurhayati) dibereskan, biar masyarakat lebih berani mengungkap kasus korupsi. Takut lah sekarang, jangan-jangan nanti lapor kepala desa, penjara juga. Jangan-jangan jadi saksi, penjara juga," kata dia.

Kuasa Hukum Nurhayati, Elyasa Budiyanto, mengatakan Nurhayati saat ini telah didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelah kasus ini mencuat ke publik. Nurhayati juga masih menjalani

Pihaknya sempat berencana mengajukan gugatan praperadilan untuk menggugurkan status tersangka Nurhayati pada Rabu (23/2), tetapi akhirnya ditunda karena "ada atensi dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan untuk memberikan perlindungan".

"Saya belum tahu bagaimana, yang pasti solusinya kalau win-win solution harus konkret," kata Elyasa.

Apabila respons Kemenkopolhukam dianggap tidak cukup konkret, maka Elyasa akan tetap mengajukan gugatan praperadilan.

Mengapa seorang whistleblower bisa berakhir sebagai tersangka?

Iftitah dari ICJR mengatakan saksi dan pelapor seharusnya tidak boleh digugat atau dipidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Namun dalam kasus ini, kata dia, polisi seolah tidak mendudukkan Nurhayati sebagai pelapor maupun saksi.

Polisi terkesan menganggap pelapor adalah orang yang secara resmi membuat laporan kasus tersebut, yakni Lukman Nurhakim. Padahal, laporan Lukman berasal dari aduan dan data yang disampaikan oleh Nurhayati.

"Padahal ada juga whistleblower dari mekanisme lain, bukan dari pelaporan polisi seperti Bu Nurhayati ini. Itu harusya bisa dikenal sebagai pelapor atau whistle blower juga."

"Ini menunjukkan (aparat) tidak profesional menjalankan tugas-tugasnya, seharusnya dia enggak hanya fokus pada pelaku tapi bagaimana hak-hak pihak lainnya seperti saksi, korban, whistleblower juga diperhatikan," kata Iftitah.

Sayangnya, UU 31/2014 belum mengatur secara tegas sejauh mana perlindungan terhadap pelapor, saksi, dan whistleblower bisa diberikan.

"Siapa kategori orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai whistleblower, perlindungan belum komprehensif, sehingga muncul lah perbedaan interpretasi ini di lapangan, yang rugi adalah orang-orang pencari keadilan seperti Ibu Nurhayati ini, secara hukum mereka diragukan," jelas dia.

Selain itu, menurut Iftitah, polisi disebutnya "tidak jeli" dalam memahami konteks kasus ini. Nurhayati dijadikan tersangka lantaran dianggap sebagai orang yang mencairkan dana.

Padahal, hal itu bisa jadi dia lakukan lantaran ada tekanan atau perintah dari Supriyadi sebagai atasannya.

"Di KUHP (pasal 51) jelas bahwa setiap orang yang melakukan perintah jabatan pun enggak bisa dipidana. Ini enggak dilihat dengan jeli oleh aparat penegak hukum kita," tutur Iftitah.

Kerangka hukum pidana belum cukup melindungi whistleblower

Di Indonesia, sistem pelaporan melalui whistleblower telah diterapkan oleh sejumlah lembaga dengan janji kerahasiaan informasi dan data pelapor.

Sejumlah lembaga yang telah menerapkannya antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Yudisial (KY), serta Ombudsman.

Sebagai contoh di KPK, seorang pelapor bisa mengadukan tindakan korupsi yang dilakukan sesuai dengan kewenangan KPK seperti melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara, serta kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.

Pengaduan tersebut dapat disampaikan melalui situs resmi KPK dengan dokumen pendukung. KPK, dalam hal ini, menjanjikan kerahasiaan informasi dan data pelapor.

Menurut Iftifah, aturan dan prosedur mengenai whistleblower saat ini mengacu pada aturan masing-masing lembaga tersebut. Sedangkan perlindungan hukumnya mengacu pada UU 31/2014 yang dianggap belum cukup komprehensif.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahkan belum mengatur sama sekali terkait perlindungan ini.

"Padahal saksi dan korban banyak yang perlu dimasukkan, siapa saksi dan whistleblower yang perlu dilindungi, kategori dan keterlibatannya seperti apa, bentuk perlindungannya seperti apa. Itu pekerjaan rumah yang perlu ditingkatkan," kata Iftitah.

Baca juga:

Selain itu, Iftitah mengatakan perlindungan hukum berdasarkan amanat UU 31/2014 dibebankan pada LPSK yang baru bisa bergerak apabila ada pelaporan masyarakat, dan jangkauannya yang tidak cukup luas hingga ke daerah-daerah.

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution.

"Kalau orang tidak melapor, LPSK tidak bisa melindungi. Tapi LPSK memberi jalan keluar, misalnya kalau ada peristiwa yang mendapat perhatian publik kami datangi, tapi tetap kami minta melapor, kami minta surat permohonannya," kata Maneger.

Polisi didesak tinjau kembali kasus Nurhayati

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan polisi dan kejaksaan seharusnya "menahan diri" menetapkan Nurhayati sebagai tersangka.

Sebab, posisi Supriyadi sebagai atasan "bisa jadi menekan" Nurhayati sebagai bawahannya.

Polisi, kata dia, seharusnya fokus pada tindak korupsi yang dilakukan oleh Supriyadi lebih dulu. Keterlibatan pihak lain termasuk Nurhayati seharusnya bisa dibuktikan lebih lanjut dalam persidangan.

"Kalau dia (Nurhayati) hanya melakukan perintah saja, mekanisme saja, itu enggak bisa dilakukan, tidak bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan," kata Abdul Fickar.

"Kalau nanti terbukti Nur Hayati berperan bukan karena tugas dan fungsinya, tapi inisiatifnya, itu kelihatan di persidangan," lanjut dia.

Pegiat anti-korupsi dari ICW, Kurnia Ramadhana, mendesak polisi meninjau kembali konstruksi hukum dari kasus ini.

"Penting mendudukkan konstruksi hukum yang dibangun Polres Cirebon, agar situasi hari ini yang menimpa Bu Nurhayati bisa benar-benar clear," kata Kurnia.

Apa tanggapan Polda Jabar?

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengatakan pihaknya sudah tidak bisa lagi mengkonstruksi ulang kasus ini karena berkas perkaranya telah dilimpahkan ke kejaksaan.

"Saat ini kami tinggal mengirimkan tersangka dan barang bukti ke Jaksa Penuntut Umum. Posisinya sudah tidak di dalam kewenangan kepolisian atau penyidik," kata Ibrahim.

Ibrahim juga mengklaim bahwa penyidik telah bekerja "sesuai norma hukum" dan "ada bukti keterlibatan Nurhayati telah menyalahgunakan wewenangnya".

Berimplikasi serius pada 'sektor paling korup'

ICW menyatakan penindakan terhadap kasus korupsi dana desa ini bisa berimplikasi "sangat serius" pada pemberantasan korupsi terutama pada sektor pengelolaan dana desa.

Menurut Kurnia, tren penindakan pada semester pertama 2021 menunjukkan bahwa pemerintah desa menjadi pelaku kasus korupsi terbanyak.

Sementara itu, penegak hukum membutuhkan informasi dari masyarakat di tengah keterbatasannya untuk mendeteksi kasus-kasus korupsi.

"Jadi bisa dibayangkan ke depan, kalau masyarakat selalu di bawah ancaman kriminalisasi, maka angka korupsi dana desa bisa semakin tinggi, karena tidak ada yang mau melaporkan ke penegak hukum," kata Kurnia.

Oleh sebab itu, ICW mendesak KPK dan Polri melakukan supervisi terhadap penanganan kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk di masa depan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI