Suara.com - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang kedua uji materi atau judicial review Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Selasa (22/2/2022). Kuasa hukum pemohon, Sulistyowati menyebut agenda sidang tersebut ialah perbaikan permohonan.
Pasal 201 ayat (10) UU Nomor 10/2016 yang dimaksud berbunyi: "Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Sementara Pasal 201 ayat (11) UU Nomor 10/2016 berbunyi: "Untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pemohon berpandangan bahwa mekanisme pengangkatan kepala daerah yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk penjabat bupati dan wali kota tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai negara Indonesia yang demokratis.
Baca Juga: DPD RI Akan Ajukan Uji Materi Presidential Threshold ke MK
Sebelumnya, para pemohon yang terdiri dari Moh Sidik, Dewi Nadya Maharani, Suzie Alancy Firman, Rahmatulloh dan Mohammad Syaiful Jihad mengajukan judicial review pada pasal yang dimaksud.
Para pemohon menganggap aturan tersebut bertentangan dengan isi substansi dari UUD 1945.
Sulistyowati mengatakan bahwa permohonan perbaikan tersebut dilakukan terkait legal standing para pemohon mengenai kerugian konstitusional yang diderita disertai bukti-bukti pendukung.
"Para pemohon memahami bahwa Pilkada Serentak 2024 menyebabkan mereka tidak bisa menggunakan haknya pada tahun 2022 atau 2023," kata Sulistyowati dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/2/2022).
Sulistyowati berharap majelis hakim mengabulkan permohonan agar kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023 dapat ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah guna menyiapkan Pilkada serentak 2024.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Melonjak, Mahkamah Konstitusi Tunda Persidangan Hingga 20 Februari
"Artinya penjabat kepala daerah berasal dari ASN dikesampingkan," ujarnya.
Pasalnya apabila dilihat aturan sejak awal, kata Sulistyowati, kepala daerah tidak boleh merupakan anggota TNI, Polri dan ASN, sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf t UU Nomor 10/2016.
"Pasal 7 UU 10/2016 intinya menyatakan jika jabatan tersebut diatas harus mengajukan surat pengunduran diri," ucapnya.
Lebih lanjut dalam Pasal 70 ayat (1) UU Nomor 10/2016, dalam melakukan kampanye tidak diperbolehkan melibatkan pejabat BUMN, BUMD, TNI, Polri, ASN, kepala desa dan perangkatnya
"Lantas bagaimana bisa penunjukan penjabat dari ASN, sedangkan dalam kampanye ketika pemilu saja keterlibatannya dilarang," ungkapnya.