Namun, para kritikus mengatakan prosedur itu mengecualikan pelacakan cepat hak kewarganegaraan bagi umat Islam.
Pada tahun 2020, New Delhi sempat diguncang kerusuhan dan kekerasan yang dipicu oleh protes terhadap CAA.
Massa yang sebagian besar pria Hindu menargetkan rumah dan bisnis Muslim. Dua hari kekerasan berdarah itu mengakibatkan 53 orang tewas, baik warga Hindu maupun Muslim, dan lebih dari 200 lainnya luka-luka.
Baru-baru ini, sebuah kontroversi mengenai perempuan yang mengenakan jilbab di sekolah dan perguruan tinggi telah memicu ketegangan dan protes di India selatan antara umat Hindu dan Muslim.
"Peningkatan kebencian anti-Muslim membentuk konstruksi Hindutva,” kata aktivis hak asasi manusia Shabnam Hashmi kepada DW.
"Ujaran kebencian terhadap Muslim di India telah mendapatkan momentum, dengan beberapa pemimpin sayap kanan dan Hindutva menyerukan 'genosida' Muslim tanpa ada tanggapan dari pemerintah," katanya.
Hindutva 'tidak memecah belah'
Namun, Tom Vadakkan, seorang anggota BJP beragama Kristen dari negara bagian Kerala selatan, mengatakan bahwa ada ruang untuk pluralisme di Hindutva, meskipun berakar pada Hindu sebagai agama.
"Seharusnya tidak ada pemisahan antara Hinduisme dan Hindutva. Mereka disatukan, dan merupakan realitas sejarah peradaban. Kita hidup dalam masyarakat pluralistis, dan tidak ada upaya untuk memaksakan ideologi partai pada denominasi apapun," tegasnya kepada DW.
Baca Juga: Muslim India: Keluarga Korban yang Dibunuh Massa Hidup di Tengah Ketakutan
"Hindutva tidak berarti politik yang memecah belah," tambahnya. Anggota BJP Mukhtar Abbas Naqvi yang beragama Islam dan menjabat sebagai Menteri Hak-hak Minoritas di pemerintahan Modi, menyajikan sudut pandang yang berbeda.