Suara.com - Bareskrim Polri baru saja membongkar kedok akal-akalan perusahaan investasi Viral Blast Global. Ternyata, perusahaan yang bergerak di bidang aplikasi robot trading itu ternyata bodong alias ilegal.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Pol Whisnu Hermawan menyebutkan, para pelaku menawarkan investasi bodong robot trading Viral Blast Global yang dalam pelaksanaannya menggunakan skema ponzi atau piramida, beranggotakan 12 ribu orang dengan nilai investasi mencapai Rp 1,2 triliun.
“Para pelaku dari PT Trust Global Karya tidak memiliki izin trading menjalani bisnis investasi robot trading dengan nama Viral Blast,” kata Whisnu di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (21/2/2022).
Total ada empat tersangka dalam perkara ini, tiga tersangka telah ditangkap dan dilakukan penahanan, yakni berinisial RPW, ZHP, dan MU.
Ketiganya berperan memberikan presentasi dan meyakinkan calon member (anggota) bahwa tidak akan rugi berinvetasi di Viral Blast karena ada dana proteksi.
Para pelaku telah menjalankan bisnis ilegalnya itu sejak 2020, selama satu tahun telah memiliki anggota sebanyak 12 ribu orang.
"Modus kejahatan menggunakan skema piramida atau ponzi, di mana hasil kejahatan dinikmati bersama-sama oleh para pengurus Viral Blast dan afiliasi nya,” ucap Whisnu.
Kasus ini mencuat, beberapa waktu lalu setelah sejumlah anggotanya yang merasa dirugikan menduduki kantor aplikasi tersebut di Surabaya, Jawa Timur.
Dari keempat tersangka, satu tersangka lainnya berinisial PW masih dalam pengejaran aparat kepolisian, dan sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Baca Juga: Kerugian Akibat Investasi Bodong dan Pinjol dari Januari hingga Februari Capai Rp149 M
Kasubdit III Bidang TPPU Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Pol Robertus Yohanes De Deo Tresna Eka Trimana menjelaskan, modus operandi yang dilakukan tersangka, bahwa perusahaan tersebut memasarkan produk e-book kepada member-nya untuk digunakan trading.
Member atau anggota yang bergabung diharuskan menyetorkan sejumlah uang sesuai paket yang ditawarkan untuk membeli e-book tersebut. Bonus yang dijanjikan setiap merekrut member baru sebesar 10 persen.
"Bonus untuk perekrutan dengan sistem unilevel dengan total profit sharing 65 persen dari 20 persen keuntungan perusahaan," ungkapnya.
Uang hasil penjualan tersebut dimasukkan ke dalam rekening exchanger yang telah ditunjuk untuk didistribusikan kepada pengurus aplikasi tersebut.
Diduga, pelaku aktif melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan dan membayarkan uang hasil kejahatan tersebut.
Dalam perkara ini, penyidik menyita sejumlah barang bukti di antaranya, uang nilai senilai 1.850.000 dolar Singapura, uang tunai Rp 12 juta, dokumen identitas para tersangka, 12 ATM, token bank, delapan ponsel, tiga mobil mewah yang diduga hasil TPPU.
Penyidik juga melakukan pemblokiran 68 rekening dari beberapa bank dengan nilai sekitar Rp 15 miliar.
Para tersangka dijerat melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 atau Pasal 6 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 105 jo Pasal 9 dan/atau Pasal 106 jo Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dengan ancaman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar.