Suara.com - Sejumlah pihak yang terdiri dari keluarga korban, politikus di DPR, serta sejarawan berharap permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas "kekerasan ekstrem" tentaranya pada 1945-1949 diikuti oleh "langkah konkret".
Salah seorang anak saksi mata dari aksi brutal Tentara Belanda di Rengat, Riau pada 5 Januari 1949 berharap ada "kompensasi moril dan materil" dari pemerintah Belanda.
"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling [di Sulawesi Selatan] dan korban di Rawa Gede," kata Panca Setyo Prihatin saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (18/02).
Oleh sebab itu, sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso mengatakan permintaan maaf Belanda itu harus direspons secara baik oleh pemerintah Indonesia, dengan mengutamakan kepentingan korban.
Baca Juga: Revolusi Kemerdekaan dan Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia
"Pemerintah harus memfasilitasi kalau ada sesuatu yang diinginkan oleh korban. Belum tentu mereka minta (kompensasi) uang, mungkin mereka sudah menerima ini sebagai suratan takdir dan ingin membangun sesuatu yang baik, kita harus mendengarkan mereka," kata Bondan kepada wartawan BBC News Indonesia, Nicky Aulia Widadio.
Baca juga:
- Belanda 'minta maaf mendalam' atas 'kekerasan sistemik' saat 'lembaran gelap' perang kolonial
- Menyoal penelitian sejarah aksi militer Belanda di Indonesia era Revolusi 1945-1950
- 'Indonesia tak bisa menutup mata' - 'Kekerasan ekstrem' tentara Belanda dan Indonesia di masa Revolusi
Sementara itu, Anggota Komisi Bidang Hukum dan HAM DPR RI, Nasir Jamil juga mendesak pemerintah segera merespons permintaan maaf tersebut.
Pada Jumat (18/02), BBC News Indonesia telah menghubungi Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, yang mengatakan pemerintah sedang menyusun respons atas hal ini.
Sebelumnya, PM Belanda Mark Rutte menyatakan "permintaan maaf mendalam" menanggapi hasil penelitian tiga lembaga penelitian berjudul "Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950" yang menyebutkan ada pembiaran terjadinya kekerasan ekstrem.
Baca Juga: Akui Kekerasan Militer Saat Perang Kemerdekaan Indonesia, PM Belanda Minta Maaf
Rutte mengatakan permintaan maaf juga disampaikan kepada orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Permintaan maaf 'tidak cukup'
Panca Setyo Prihatin mengatakan keluarga korban mengapresiasi permintaan maaf PM Belanda, namun "hal itu tidak cukup".
"Saya kira tidak cukup dengan minta maaf, pemerintah Belanda harus melakukan hal kongkret, seperti apa yang dia lakukan terhadap korban Westerling [di Sulawesi Selatan] dan korban di Rawa Gede," kata Panca.
Saat melakukan penyerangan ke Rengat pada 5 Januari 1949, sejumlah saksi mata dan laporan-laporan dari Belanda, pasukan khusus Belanda juga membunuh warga sipil.
Berdasarkan keterangan saksi mata, serangan itu menyebabkan antara 1.500 dan 2.000 orang di Rengat - sebagian besar warga sipil - terbunuh. Adapun dokumen militer Belanda menyebut warga yang terbunuh tercatat 120 orang.
Salah-seorang laskar pejuang yang terbunuh adalah adik dari ayah Panca Setyo. Sang ayah, Wasmad Rads, adalah anggota laskar pejuang Indonesia ketika serangan itu terjadi. Dia selamat setelah bersembunyi di gorong-gorong.
"Kejahatan perang itu tidak bisa berhenti pada permintaan maaf, tapi juga harus dihitung sebagai kerugian moril dan materiil," ujar pria kelahiran 1971 ini.
Sebagai langkah awal, Panca mengharapkan pemerintah Indonesia segera merespons permintaan maaf PM Belanda itu dan mendengarkan tuntutan keluarga korban.
Hal itu dia tekankan, karena khawatir pemerintah pusat tidak mengetahui dampak "kekerasan ekstrem, sistematis dan meluas" oleh Tentara Belanda terhadap keluarga dan keturunan korban.
"Jadi, saya mengharapkan pemerintah pusat mendengarkan pula tuntutan keluarga korban," ujar dosen sebuah perguruan tinggi di Pekan Baru, Riau ini.
Pemerintah Indonesia harus segera merespons
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Jamil, mendesak pemerintah Indonesia agar segera merespon permintaan maaf pemerintah Belanda atas "kekerasan ekstrem" tentaranya di masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949.
Hal itu ditekankan Nasir Jamil, karena sudah ada tuntutan dari keluarga korban kekerasan itu yang menuntut pemerintah Belanda agar memberikan kompensasi kerugian materi.
"Sekarang tinggal pemerintah Indonesia menyikapi [pernyataan permintaan maaf oleh PM Belanda] itu. Kalau kita diam saja, tidak bereaksi, ya, tentu Indonesia seperti ayam sayur," kata Nasir Jamil kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (18/02).
Dia mengharapkan agar pemerintah Indonesia tidak kemudian berujar seolah-olah "kekerasan ekstrem" tentara Belanda itu sebagai peristiwa "sejarah" belaka.
Lebih lanjut Nasir Jamil meminta pimpinan DPR agar mengundang Duta Besar Belanda untuk menjelaskan pernyataan permintaan maaf PM Belanda tersebut.
"Alangkah baiknya bila DPR bisa merespon permintaan maaf itu dengan cara mengundang Dubes Belanda untuk Indonesia," katanya.
Kehadian Dubes Belanda itu dibutuhkan untuk menjelaskan lebih detil tentang pernyataan permintaan maaf itu.
"Seperti apa pemintaan maaf terseebut dan apa latar belakang sebenarnya," ujarnya.
Dari keterangan Dubes Belanda itu, menurutnya, DPR bisa menyikapi apanya "hanya cukup dengan pemintaan maaf sehingga masalahnya selesai, atau ada hal-hal lain, dan didorong ke pemerintah untuk melakukan tindakan konkret."
Baca juga:
- Pameran 'Revolusi! Kemerdekaan Indonesia' di Belanda dan istilah periode 'Bersiap' yang memantik polemik
- Mengapa film Belanda tentang aksi pembantaian Westerling di Indonesia picu kontroversi?
- Raja Belanda minta maaf atas 'kekerasan berlebihan' di masa lalu tapi tak cakup seluruh masa penjajahan
Fasilitasi kepentingan korban
Menurut Sejarawan Bondan Kanumoyoso, permintaan maaf PM Belanda menunjukkan "itikad baik" untuk melihat "kekerasan ekstrem" pada 1945-1950 secara lebih adil, dengan mengesampingkan kepentingan politik dan mengangkat persoalan kemanusiaan.
Permintaan maaf itu, kata dia, harus segera direspons secara baik oleh Pemerintah Indonesia dengan mengutamakan kepentingan korban.
"Kita menyikapi dengan positif dulu permintaan maaf itu. Nanti langkah selanjutnya tentu arahnya keadilan bagi korban, bagaimana baiknya yang bisa mendamaikan apa yang selama ini jadi luka," kata Bondan.
Bondan juga setuju bahwa pernyataan maaf harus diikuti oleh langkah konkret, berupa kompensasi pada korban. Tetapi terkait bentuk kompensasinya, harus ditanyakan langsung kepada korban.
Sejauh ini, beberapa keluarga korban pembantaian tentara Belanda telah memenangkan gugatan untuk mendapatkan kompensasi, di antaranya keluarga korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan pada 1947 dan di Rawagede, Jawa Barat pada tahun yang sama.
Tetapi, Bondan mengingatkan masih banyak korban di berbagai daerah lainnya yang belum tersentuh, seperti di Rengat.
"Harus ditanyakan ke korban, apa yang mereka rasakan. Kalau mereka merasa apa yang dilakukan (Belanda) sudah cukup untuk (korban) Rawagede dan Westerling, tapi kan di tempat lain belum, masih banyak korban yang belum ditanya," ujar Bondan.
Selain itu, Bondan berharap permintaan maaf itu bisa menjadi titik awal "rekonsiliasi antara korban di Indonesia dengan pelaku orang-orang Belanda".
"Dengan demikian kita bisa bergerak maju, tidak lagi mengingat luka-luka ini," kata dia.